"Selanjutnya, taman labirin!" seru Lita memimpin rombongan kami.
Nggak ada capeknya nih satu anak. Dia masih berlari dan loncat-loncat kayak anak kecil. Dia mengajak Nene dan Rina berlomba untuk bisa keluar dari taman labirin lebih dulu. Lain halnya dengan Linda dan Cindy yang lebih santai sambil jalan anggun.
Labirinnya cukup rumit dan luas, butuh waktu sepuluh menit untuk menemukan jalan keluar.
Tapi sebelum semua bisa keluar terdengar teriakan Rina dari dalam labirin. Aku mendengarnya dekat di balik tembok tanaman lebat. Aku segera berlari mencari jalan untuk mendatangi arah asal suara teriakan.
"Rina, kamu nggak apa-apa?" tanyaku. Rina terduduk miring di plesteran memegangi tumit kakinya.
"Kakiku terkilir," Rina meringis kesakitan. Lita yang sudah berada di sampingnya merasa cemas.
"Aduh, maaf ya Rin, gara-gara aku ajak kamu lari-lari jadi keseleo gini."
"Nggak, nggak apa-apa kok."
"Bisa berdiri Rin?" tanyaku.
Dia mencoba untuk berdiri tapi dia kesakitan dan terjatuh lagi. Mata kakinya kini mulai berubah warna biru kemerahan.
"Sini aku gendong," aku merengkuh kakinya di bagian belakang lututnya, tanganku yang lain memegang punggungnya. Aku mengangkat tubuhnya. HUPPH-... berat oey. Baru kali ini aku angkat orang pake gaya pengantin baru gini. Ternyata susah juga, kakiku gemetaran.
"Pintu keluarnya mana?" tanyaku ke dua orang itu.
"Ya mana tau, aku!" Lita sama-sama kebingungan.
Kita bertiga celingak-celinguk, sama-sama gak tau arah keluar. Akhirnya kita lanjutin jalan ke arah random. Aku berjalan sambil membawa tubuh Rina. Kurasakan semakin lama tubuh Rina semakin berat. Berkali-kali aku membenarkan peganganku ke tubuh Rina yang semakin melorot, membuat langkahku terhambat. Berkali-kali Lita menungguku menghampiri, sambil menerka-nerka jalan keluar yang kita sama-sama nggak tau ke arah mana jalan keluarnya. Bisa-bisa kita cuma muter-muter aja dari tadi. Lita juga bakal merasa bersalah memimpin jalan yang salah muter-muter. Lenganku sudah nggak kuat, sudah mau mati rasa.
"Rin, kamu pegangan ke leher belakangku," kataku sambil menahan nafas. Rina yang melihatku kelelahan dan berkali-kali mau jatuh, akhirnya mengalungkan lengannya ke belakang leherku. Seperti dia mau menciumku aja kalo gini. Romantis ga sih kalo gini.
Tanganku sudah gemetaran, pintu keluar tidak kunjung ketemu. Langkahku semakin berat, tinggal langkah terseok-seok yang tersisa. Energiku sudah habis.
"Ta, tunggu dulu Ta," aku memanggil Lita. Nafasku sesak tersengal-sengal. Aku kehabisan nafas. Lenganku juga sudah mati rasa. Aku menjatuhkan tubuh Rina pelan ke tanah. Keringatku mengucur menetes deras membasahi baju putih Rina. Hah--hah--
"Kok ditaruh Rinanya? Belum ketemu ini jalan keluarnya," kata Lita
"Berat ini weh!" kataku sebal dengan Lita yang nggak ngerti perjuangan mengangkat badan orang lain. Rina yang mendengar, rupanya agak tersinggung dengan kata 'berat', dia menampol pelan kepalaku sebal. Dikiranya aku bilang kalo Rina itu gemuk jadi berat.
"Bukan gitu Rin," kataku meluruskan membela diri, "aku aja yang nggak punya tenaga lagi. Aku yang lemah Rin, bu- bukan kamu yang berat."
Rina meringis entah kesakitan atau sebal. Memang menggendong orang dengan posisi begitu membutuhkan lengan yang macho. Setelah aku beristirahat sebentar dan mendapatkan nafasku kembali, aku kembali menggendong Rina, kali ini aku menggendongnya di punggungku. Aku memutar mengarahkan punggungku ke Rina, lalu dia melingkarkan lengannya ke leherku. Aku memegang kedua pahanya di belakang punggungku. Aku bangkit berdiri, kalau posisi begini terasa lebih ringan. Dadanya terasa menekan di punggungku. Oww.
Lama kita berjalan berputar-putar. Rina mulai kelelahan, lalu dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Nafasnya terasa hangat di telingaku sembari tubuhnya bergoyang-goyang terbawa langkah kakiku. Keringatku yang basah di punggungku semakin terasa lengket.
"Nah ini dia," Lita berseru menemukan pintu keluar taman labirin di depannya.
Di luar sudah menunggu Nene dan yang lainnya. Begitu melihat Lita, Nene langsung berlari ke arahnya.
"Aku menang! Aku yang pertama keluar duluan!"
"Rina kenapa digendong gitu?" tanya Cindy.
"Kakinya keseleo," jawab Lita.
"Omaigad, untung kita punya bu dokter di sini," kata Linda menepuk bahu Cindy.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Nene yang kini khawatir kondisi Rina.
Mereka lalu membeli es untuk mengompres kakinya sementara. Dengan ini kita sepakat untuk menyudahi bermain di taman ria ini. Rina berjalan tertatih dibantu dua orang yang menopangnya di sisa hari itu. Sejujurnya Lita merasa iri dengan Rina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nosaku: Cowok Penghuni Kos Cewek
General Fiction(13+) Aku menjadi satu-satunya anak kos cowok yang tinggal di rumah kos khusus cewek milik tanteku yang kebetulan berada di kota kampus tempat aku kuliah, sehingga aku menjadi satu-satunya penghuni kos cowok yang tinggal di tempat kos khusus cewek i...