Aku terbangun dengan suara bisik-bisik di sekitarku. Belakangan ini aku sudah tidak mengunci pintu kamar kalau tidur. Aku sudah percaya pada seluruh penghuni kos, mereka tidak akan mencuri sesuatu, tapi sepertinya aku salah. Mereka mencuri ketenangan awal hariku. Kulihat dari sudut mataku yang terbuka samar, Lita dan Cindy sibuk menata sesuatu di atas mejaku, Rina sibuk membawa masuk nampan dengan beberapa piring di atasnya.
"Oh, hai Fino, kamu sudah bangun," Linda yang membawa bungkusan makanan menyadari aku sudah terjaga.
"Selamat pagi," Lita menyapa penuh ceria, semuanya menoleh serempak kepadaku dengan melempar senyum.
"Kalian semua, ngapan di kamarku?" aku bangkit dan duduk di pinggir kasurku memperhatikan mereka, Rina meletakkan piring yang dia bawa ke mejaku yang sudah penuh dengan makanan dan barang.
"Kita semua hari ini akan melayani kamu sepenuhnya" jelas Lita.
"Kenapa?" tanyaku.
"Karena kita sepakat untuk melayanimu bersama" kata Lita, tidak menjawab pertanyaan.
"Anggap saja kita sedang berusaha mengambil hatimu" kata Cindy sambil mengambil nasi di piring.
Tak disangka mereka bisa bersepakat dan kompak seperti ini.
"Kalian kok nggak ijin dulu masuk kamar orang,"
"Yaelah, ngapain ijin segala, kayak birokrasi aja," kata Lita.
"Cuma hari ini aja nih, ngelayaninya" selorohku setengah bercanda.
"Haha, berani bayar berapa" jawab Linda.
"Fino sayang, nih sarapan dulu yuk" Cindy menyerahkan piring dengan nasi beserta lauknya. Aku mengambil piring dari tangannya.
"Aiiih sayang," goda Lita.
Lucu juga mereka, sambil tersenyum tengil aku berkata "jadi cuma ini yang bisa kalian lakukan, menyuapku dengan makanan."
Lita yang tertantang, menjawab dengan berkacak pinggang, "terus kamu maunya apa, bilang, ayo cepet, bilang!"
Aku menarik diri sambil melahap makananku, kok dia yang nyolot, Rina menahan Lita dari berkacak pinggang, tidak disangka Lita temperamen juga.
"Aku pijitin, ya" Linda ikut mendekat, bersimpuh di dekat kakiku, menariknya dan meletakkan di atas pangkuannya, lalu memijat-mijatnya. Aku melihat berkeliling.
"Nene ga ikutan nih," aku tidak melihat Nene.
"Masih molor, begadang lagi dia," jawab Cindy.
"Nanti nene bakal melayani Fino sendiri," kata Rina.
"Tagih aja nanti ke Nene, orang kita udah sepakat, eh dia sekarang masih molor, enak aja dia," kata Lita.
"Iya, biarin Nene melayani Fino sendiri," sahut Linda.
"Eh, bukannya jadi bahaya nih ntar, Nene, melayani Fino, sendirian" kata Cindy menerawang.
"Wah, wah, Fino jangan macam-macam ya," ancam Linda sambil meremas betisku.
"Enak nih bisa macam-macam sama Nene," kata Rina.
"Tidak akan kubiarkan Nene ternodai oleh Fino," kata Cindy.
"Apaan sih kalian, aku nggak bakal kepikiran aneh-aneh," jawabku.
"Oh iya?" Cindy mendekatkan wajahnya sambil menyeringai, "yang bener, kamu yakin?"
"Iya, bener," aku mengangkat alis.
"Ga mungkin" kata Cindy.
"Salah satu dari kita harus mengawasi Fino 24 jam" kata Lita.
"Ogah, ribet banget. Mending aku seret Nene sekarang juga ke sini" kata Linda
"Emang Nene susah banget dibanguninnya?" tanyaku.
"Jangankan dibangunin, ada gempa pun Nene ga bakal bangun," kata Lita
"Yaudah biarin dia sendirian sama Fino" kata Cindy.
"Aku nggak bakal macem-macem kok, tenang aja" kataku.
"Ah, laki-laki mah, gak bisa dipegang ucapannya," kata Lita.
Sebelum aku mau menjawab 'terus apanya yang bisa dipegang', Linda mengangguk, "semua lelaki sama aja"
Aku ingin menolak pernyataan mereka. Aku melabaikan tangan, sambil berusaha mengosongkan mulut dengan menelan makananku.
"Kamu lelaki bukan?" Linda mengeluarkan pertanyaan absurd.
"Lelaki lah"
"Jangan-jangan kamu selama ini pura-pura," kata Linda.
Bicara apa sih Linda. Berapa banyak kejadian yang kualami selama berada di kos ini yang cukup membuktikan pada mereka kalau aku lelaki.
Lita menambahi dengan menyipitkan mata, "jangan-jangan Fino selama ini menyamar, aslinya dia adalah Fina, makanya dia bisa gampang berbaur sama kita-kita, karena dia itu cewek!"
Semua saling setuju. Menurutku tidak juga. Walaupun aku tahu mereka tidak serius, aku ladeni saja mereka.
"Ngapain juga aku menyamar segala buat bisa kos di tempat cewek. Kalaupun aku menyamar, bukannya harusnya sebaliknya, aku harusnya menyamar jadi cewek dong"
"Hmm mencurigakan," kata Lita.
"Iya, mencurigakan." tambah Rina
Semua memicingkan mata kepadaku. Bukannya mereka mau melayaniku, ini namanya pembulian masal. Aku melahap nasi yang mendadak menjadi hambar.
"Kalau kamu beneran laki, coba buktikan ke kita" tantang Lita.
"Iya, coba tunjukkan, mana" kata Rina.
"Tunjukkan?"
"Iya, masa kamu nggak punya sesuatu yang bisa kamu tunjukkan ke kita sebagai bukti kalau kamu itu lelaki?" kata Lita.
Apa ini? Harga diriku kembali terasa dipermainkan. Bukannya mereka sepakat mau melayaniku? Ini pembulian namanya.
"Oke!" jawabku. Aku menarik kakiku dari pangkuan Linda yang sedang memijitnya. Aku berdiri, semuanya memperhatikanku, melihat apa yang akan aku lakukan. Perlahan aku meletakkan kedua tanganku ke pengait celana. Semuanya menunggu dengan ekspektasi. Reaksi mereka tidak sesuai ekspektasiku. Ekspektasiku mereka semua bakal malu dan teriak 'kyaa' lalu menutup muka.
"Beneran nih"
"Iya" jawab mereka kompak.
"Aku buka nih" ancamku untuk terakhir kali.
"Terserah kamu," Linda berkata datar.
Tapi apa untungnya aku melakukannya. Yang ada dikira aku eksibisionis. Derajatku juga akan menurun. Aku kembali duduk dam melanjutkan makan.
"Ach, Fino. Nggak asik" protes Linda kecewa.
"Yaudah, kita semua makan yuk" komando Cindy. Semua mengambil piring dan nasi masing-masing. Mereka menjadikan kamarku sebagai kantin.
"Jangan lupa nanti diberesin, nasi yang jatuh-jatuh dipungutin"
"Ogah" jawab Linda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nosaku: Cowok Penghuni Kos Cewek
General Fiction(13+) Aku menjadi satu-satunya anak kos cowok yang tinggal di rumah kos khusus cewek milik tanteku yang kebetulan berada di kota kampus tempat aku kuliah, sehingga aku menjadi satu-satunya penghuni kos cowok yang tinggal di tempat kos khusus cewek i...