"Selanjutnya kita ke Bianglala!" seru Lita.
Antrian bianglala lumayan ramai, seenggaknya ngga ada antrian barbar dorong-dorongan. Setelah beberapa menit saja mengantri, rombongan kita sampai di pintu masuk, mengingat ukuran bianglala cukup besar, jadi jumlah keretanya banyak, bisa menampung banyak orang sekali putar.
Saat petugas mempersilakan masuk kita, Lita memutar tubuhnya ke belakang dengan ekspresi cemas.
"Teman-teman, satu rombongan maksimal cukup cuma empat orang"
Mereka berlima saling memandang.
"Mbak, nggak bisa lima orang?" tanya Cindy kepada petugasnya.
"Nggak bisa mbak, pengunjungnya sudah lumayan padat ini, kita khawatir mesinnya nggak kuat," petugas itu menjelaskan.
Kereta kosong untuk kita sudah datang, kalau tidak cepat terisi, kereta itu akan pergi tanpa penumpang.
"Yaudah, Nene, kamu sama Fino! Fin, kamu sama Nene ya, tolong temenin dia sebentar," kata Lita seenaknya sendiri. Mereka berempat bergegas masuk ke kereta dengan lari kecil.
"Ii~iih, kok aku yang ditinggal," kata Nene berdiri sendirian ditinggal keempat temannya.
Situasi yang canggung. Bagaimana ini. Kalau aku tidak ikut naik, sayang juga sudah antri, tapi kasihan juga Nene kalau naik sendirian, aku tidak tega membayangkan dia naik sendiri. Tapi kalau aku naik berdua saja bersamanya, akan menjadi canggung, kayak orang pacaran aja. Apa aku suruh pengunjung lain dua orang ikut bersama kami ya.
"Silakan kak," kereta kosong berikutnya sudah datang. Petugas mempersilakan kami berdua untuk masuk, tapi tidak untuk orang di belakang kita. Beberapa detik kemudian aku sudah bersama Nene di dalam bianglala berduaan.
Kereta perlahan naik berputar. Aku melihat kereta di atas kita heboh dengan empat orang yang fokus melihat pemandangan dan berfoto-foto. Nene duduk di depanku di kursi seberang. Lengannya lurus kaku di atas lututnya. Beberapa kali dia mencuri pandang ke arahku, diselingi dengan senyum-senyum sendiri.
"Ada apa, kok senyum-senyum sendiri?" tanyaku canggung memecah keheningan.
Nene ragu untuk menjawab, beberapa detik kemudian dia menggeleng kecil. Rambut panjangnya yang diikat poni bergoyang imut.
"Nggak, keinget yang tadi aja pas kita antri didorong-dorong."
Iya ya. Berkat kejadian itu energiku sudah berkurang seperempat bagian untuk menikmati sisa atraksi taman ria hari ini.
"Aku- cuma pengen bilang makasih ya tadi udah melindungiku," wajahnya memerah tersenyum hingga matanya menyipit.
Nggak usah berterima kasih ke aku. Nggak lucu juga kalau badan kecil Nene tergencet lautan manusia tadi. Mbayanginnya aja udah serem.
"Tadi- kalo nggak salah- ada sesuatu yang- mengenai-mengenai-," kata Nene terputus-putus.
Kereta kita naik hampir ke puncak lingkaran bianglalanya. Seluruh taman ria terlihat dari atas sini sampai ke ujung-ujungnya. Nene duduk tepat persis di tengah kursi yang muat untuk dua orang itu. Tas sling bag ceweknya terpangku kursi di sebelah paha Nene. Dari tadi Nene nggak menikmati pemandangan dari atas sini. Dia tetap duduk terpaku. Apa jangan-jangan Nene takut ketinggian? Ataukah nervous karena sedang cuma berdua denganku. Bianglala berputar pelan tapi pasti menemani keheningan kereta kami.
"Kalo nggak cepet-cepet menikmati momen, bentar lagi selesai loh," kataku.
Kereta kita sudah turun. Sebentar lagi kita sudah sampai di bawah. Mendengar kata-kataku tadi, Nene membuka mulutnya.
"Sebenarnya aku-" Nene mencari kata di dalam pikirannya. "Aku... aku kagum sama kamu."
Kagum? Kenapa?
"Kagum?" tanyaku.
Tidak ada respon lagi. Nene hanya tersenyum merasa puas pada dirinya sendiri sudah mengatakan apa yang ingin dia katakan kepadaku.
Akhirnya kita berdua sampai ke darat. Nene berlari keluar mendahuluiku, berkumpul dengan yang lain yang sudah sampai duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nosaku: Cowok Penghuni Kos Cewek
General Fiction(13+) Aku menjadi satu-satunya anak kos cowok yang tinggal di rumah kos khusus cewek milik tanteku yang kebetulan berada di kota kampus tempat aku kuliah, sehingga aku menjadi satu-satunya penghuni kos cowok yang tinggal di tempat kos khusus cewek i...