Hujan #b kucing (spinoff)

126 1 0
                                    

Aku memutuskan nekat menerobos hujan untuk pulang ke rumah kos Tante Angelica. Menurutku, kertas fotokopi titipan Lita bisa menungg hingga esok pagi, tapi Rina yang sedang sakit menunggu obat yang aku belikan ini kasihan kalau terlalu lama menungguku. Lagipula ini sudah lewat jam sebelas malam.

Aku menitipkan kertas fotokopian Lita ke Selly, aku akan mengambilnya besok pagi. Setelah berpamitan pada Selly, dia membukakan kunci pintu pagar, tapi sebelum aku melangkah ke luar pagar, Selly seperti hendak ingin mengatakan sesuatu namun urung. Ya sudahlah. Aku mulai berlari di bawah hujan yang sangat deras. Meskipun aku sadar tidak akan ada bedanya dengan aku berlari sekencang mungkin, toh aku akan basah kuyup juga, tapi aku tetap berlari. 

Dinginnya udara malam terasa semakin menusuk tulang dengan air hujan yang mengguyur basah seluruh tubuhku. Baju yang basah lengket menyelimuti kulit semakin menambah dingin terutama saat terkena angin malam. Kilat cahaya petir di kejauhan awan malam menambah ngeri suasana. Dadaku terasa mulai tersengal karena menggigil kedinginan. 

Di tikungan terakhir dari rumah Tante Angelica, aku melihat sebuah kotak kardus di pinggir jalan, Aku hanya heran mengapa ada kardus di pinggir jalan. Aku hanya melewatinya saja. Nafasku tersengal-sengal dan degup jantung yang kencang setelah berlari. suara hujan yang deras mengguyur di dalam gelap malam.

Beberapa saat kemudian kilatan cahaya petir menyilaukan mata, aku tidak bisa melihat apa-apa selama sepersekian detik kecuali sinar cahaya putih yang membuat mata sakit di dalam gelap malam yang remang diikuti suara gelegar guntur bagai genderang raksasa yang dipukul sangat keras memekikkan telinga, hingga aku mengangkat bahuku dan meloncat kaget. Seakan petirnya jatuh tepat di belakangku. Getarannya terasa mengguncang tanah dan dada.

Aku melanjutkan berjalan setelah terkaget dengan petir itu. Tiba-tiba aku mendengarnya suara kucing kecil mengeong, meoong... aku melihat ke arah kerdus itu. Sesaat kemudian aku melihat moncong seekor kucing nongol dari tepi kardus. Moncongnya yang kecil berwarna putih dengan kumis kecilnya, mulutnya berwarna pink mendorong sisi atas kardus. Kubuka kardus itu dan melihat kucing kecil berbulu putih basah kuyup bergetar menggigil kedinginan sambil berusaha melangkah ke luar kardus.

Aku membawa kucing kecil itu di dekapanku menuju rumah Tante yang menjadi tempat kos perempuan, di situ jugalah aku yang pria sendiri ini tinggal. Meski tidak sepenuhnya pria sendirian, Om Agus tidak sepenuhnya bisa dibilang sebagai penghuni karena pulang setahun sekali dari Timika.

Aku menaiki tangga menuju tempat aku menyimpan handukku, lalu membungkus kucing itu dengannya. Lita mendekatiku sambil memperhatikan kucing yang sedang kukeringkan dengan handuk.

"Itu kucing?" tanyanya sedikit heran. "Darimana? Kok kamu lama? Kemana aja? Kenapa basah semua? Kertas fotokopi titipanku mana? Mau diapain kucingnya?"

Pertanyaan bertubi-tubi khas Lita. "Maaf, fotokopianmu akan aku ambil besok."

Sebelum sempat Lita bertanya lagi, Cindy keluar dari kamar Rina. "Ya ampun Fin, kenapa basah kuyup gitu bajumu. Pasienku nanti tambah satu orang lagi deh."

Cindy yang melihatku basah dan kedinginan kemudian mengambil handuknya sendiri dan mendekapkannya ke badanku. Aku bisa mencium wangi sabun khas perempuan dari handuknya.

"Kucingnya kasihan, bisa mati kedinginan loh. Kucing siapa betewe" Lita memperhatikan dari balik sandaran kursi.

"Nggak tau. Tadi aku lihat dia di pinggir jalan, di dalam kardus. Seperti kucing dibuang. Karena kasihan melihat dia kehujanan makanya aku membawanya."

"Awwww, baik banget Fino, sangat berjiwa penyelamat. Mau dong jadi kucingnya." Tiba-tiba Linda ikut nimbrung dari arah kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuknya.

Nosaku: Cowok Penghuni Kos CewekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang