"Aduuh gimana nih, perutku sudah nggak terkondisikan," Lita mengadu pada Cindy sambil mencubit besar perutnya di kedua sisinya. Kaos merahnya membentuk gumpalan besar diantara kedua jari. Belakangan dia merasakan perutnya menjadi lebih besar dari sebelumnya akibat terlalu banyak nyemil.
"Diet gagal, nih," kata Nene mengejek dari kejauhan.
Cindy yang bukan hanya ahli gizi, namun juga praktisi pilates, hanya pasrah pada Lita.
"Sudah dibilang jangan suka ngemil malem-malem juga, tetep aja mulutnya itu ngga bisa dikontrol."
"Berarti bukan perutnya, tapi mulutnya yang gak bisa dijaga," sahut Nene yang ironisnya sedang nyemil kotak kedua pocky warna pink.
"Besok pagi temenin aku olahraga yuk!" kata Lita. Cindy berpikir sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum.
"Sama siangnya ntar temenin aku beli celana training baru dong, supaya semangat terus olahraga." Lita melompat penuh semangat.
"Halah, palingan Lita semangatnya cuma bertahan sehari habis beli, setelah itu coba, pasti celana trainingnya tersimpan dengan rapi di tumpukan lemari paling bawah" sahut Rina. Lita cuma balas nyengir dengan bibir melengkungnya.
"Jaga kesehatan biar kalian punya umur panjang," nasihat Cindy di balik buku besar kedokterannya.
"Kamu cita-cita mau hidup sampai umur berapa, Cin?" tanya Lita pada Cindy yang langsung melotot melepaskan pandangannya dari bukunya.
"Hush! Tanya kok gitu! Dasar ngawur," kata Rina.
"Sisa umur nggak ada yang tau, kita cuma bisa memelihara kesehatan sebaik mungkin," kata Cindy.
"Tapii.. Kalau bisa milih, mau hidup sampai umur berapa?"
Kadang Lita tidak akan membiarkan pikiran randomnya terlewat begitu saja. Sekelebat mereka berempat pada saat yang bersamaan memikirkan dalam benak mereka masing-masing, tentang kehidupan. Termasuk aku yang duduk memandang kosong hape yang aku scroll-scroll ga jelas sedari tadi, lebih asik memperhatikan obrolan mereka dari jauh.
Cindy masih agak ragu-ragu mau menjawab. Jangan-jangan perkataan bisa jadi doa.
"Kadang ada orang yang umur panjang, nggak mati-mati, tapi bertahun-tahun menderita mengidap penyakit. Ngga bisa ngapain-ngapain. Kasian juga kan, " kata Lita.
"Kalau gitu nggak ada manusia yang mau hidup ratusan tahun di dunia." kata Nene.
"Kenapa?" kata Rina.
"Daripada mulai umur seratus sampai umur lima ratus sudah renta harus hidup dalam keadaan nggak bisa ngapain-ngapain, sudah kayak bayi lagi harus dituntun, dicebokin, diingatkan terus karena sudah pikun."
Perkataan Nene ada hikmahnya. Semakin bertambah umur manusia, keperkasaan semakin turun, kecantikan semakin luntur, kecerdasan semakin hilang,
"Ada kalanya manusia mengharapkan hidup seribu tahun lagi, tapi ada kalanya beberapa malah mengharapkan kematian ya, seperti kasus kayak itu tadi, kalau sudah terkena penyakit akut"
"Kalau aku sih, kalau bisa hidup ratusan tahun, bakal lebih banyak impian yang ingin aku gapai," kata Cindy berkobar.
"Waow!" Rina tertegun atas pemikiran positif Cindy.
"Begitu banyak impian, begitu sedikit waktu." Cindy menengadah ke atas. "Alangkah baiknya jika waktu berhenti, matahari tak menampakkan diri, malam tak berganti, hingga ku bisa memberi arti hidup ini."
Menanggapi puitis switch mode on Cindy, serentak Rina, Lita, dan Nene bangkit dari duduknya, kembali ke kamar masing-masing. Aku hanya bisa terdiam.
Linda terlihat keluar dari ruang kamar mandi, dengan hanya berbalutkan sehelai handuk putih membuntal tubuhnya yang berkontur. Cindy melotot melihat aku dan Linda yang cukup terbuka dalam satu jarak pandang, matanya berpindah antara Linda dan aku dengan cepat, ingin melindungi Linda dari pandanganku. Aku hanya bisa melongo.
"Linda!" seru Cindy mengingatkan kalau ada Fino, seorang cowok di depannya.
Linda yang mendengar peringatan Cindy menanggapi dengan santai. Dia malah tersenyum kecil. Dia malah berbelok mendekatiku, dan dengan santainya pula dia duduk tepat persis di sebelahku tanpa celah. Aroma tubuhnya yang wangi sehabis mandi memenuhi rongga hidungku. Berani sekali Linda menggoda satu-satunya cowok di rumah ini seperti itu.
"Ada apa Fino? Kamu sudah mandi? Mau mandi bareng? Aku rela loh mandi lagi untuk menemani kamu."
Linda mengalungkan lengannya di belakang kepalaku. Hangat tubuhnya terasa menempel di bahu. Puas melihat pipiku yang sudah memerah, Linda bangkit lalu masuk ke kamarnya meninggalkanku. Cindy mengomel kecil tidak jelas melihat perilaku Linda. Cewek kok nggak ada malunya.
===
"Pasien selanjutnya, silakan masuk!"
Suara Cindy terdengar dari dalam kamarnya. Aku membuka pintu kamarnya, di dalam sudah ada Cindy dengan kacamata bulatnya yang besar, duduk di balik meja. Aku duduk di kursi di seberang mejanya.
"Semalat malam dok," aku menyapa Cindy.
"Iya selamat malam," Cindy melipat tangannya di atas meja, jas putih lengan panjang dan stetoskop di dadanya.
"Ini dok, perut saya sakit."
"Sudah berapa lama?"
"Baru hari ini."
"Ya sudah, saya periksa langsung ya! Silakan berbaring di atas kasur."
Aku berbaring di atas kasur. Cindy memasang stetoskopnya ke telinga. Dia menarik ke atas kaosku hingga memperlihatkan kulit dadaku. Udara malam terasa dingin, tapi lebih terasa dingin lagi saat Cindy menempelkan stetoskopnya berputar mengelilingi kulit dada dan perutku. Cindy mendengarkan dengan seksama.
"Coba tarik napas!"
Cindy melanjutkan memeriksaku. Lalu pandangannya terarah tajam ke mataku. Dia sedikit mengernyitkan dahi sambil tersenyum menggoda. Aku jadi salah tingkah dengan tatapan wajah cantik dengan bibir tipisnya. Dia memiringkan kepalanya, lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku, stetoskopnya yang dingin masih ditempelkan dengan tangannya ke dadaku.
"Buang napas!"
Dekat sekali! Dengan jarak segini, bau napasku akan segera tercium Cindy. Wajahnya sangat dekat denganku hingga saat dia menyuruhku buang napas, aku bisa merasakan hembusan angin dari mulutnya.
Aku membuang napasku sepelan mungkin melalui mulut supaya tidak meniup bibir Cindy yang sudah sangat dekat dengan bibirku.
Cindy terlihat kecewa dan sebal. Tidak sabar, dia dengan sekejap menempelkan bibirnya ke bibirku. Walaupun hanya 0,2 detik, aku masih bisa merasakan lembut bibirnya. Bibirku basah. Jantungku berdegup kencang, kaget, dadaku terasa sesak, pipiku menjadi kaku, tanpa sadar mataku terbelalak.
**
Aku terbangun dari mimpi. Mataku ikut terbelalak, jantungku berdegup kencang. Anehnya dadaku masih terasa dingin stetoskop Cindy hingga sedikit nyeri, ... dan basah. Aku merasakan sebongkah es batu di dalam kaosku. Setelah itu terdengar ledakan tawa Cindy, Nene, dan Lita di belakangku.
"Ahahahaha..."
Lita yang paling dekat denganku, membawa sebuah penjepit dan kotak berisi es batu. Mereka lagi mengerjaiku selagi aku ketiduran nih. Pasti ini otak ide jail si Lita.
Aku dengan perlahan menyingkirkan es batu dari dalam kaosku. Aku cuma bisa senyum-senyum mendengar mereka bersorak puas atas kejahilan mereka terhadapku, dan mimpi absurd sekali lagi di sofa ruang tengah kos ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nosaku: Cowok Penghuni Kos Cewek
General Fiction(13+) Aku menjadi satu-satunya anak kos cowok yang tinggal di rumah kos khusus cewek milik tanteku yang kebetulan berada di kota kampus tempat aku kuliah, sehingga aku menjadi satu-satunya penghuni kos cowok yang tinggal di tempat kos khusus cewek i...