"Fin, mau kemana?" Cindy buru-buru memanggilku dari ujung tangga.
"Mau beli sabun," jawabku dari anak tangga paling bawah.
"Tolong sekalian beliin obat diare ya buat Rina di apotik depan. Dia lagi sakit perut, aku udah tanya tante katanya dia nggak ada obat juga, ya, kasihan dia."
"Oh, iya, iya. Ntar kubelikan."
"Makasih, buruan ya."
Meskipun di luar langit malam gelap, namun awan berat menggumpal terlihat menutupi sinar bulan. Kilatan-kilatan cahaya dari balik awan sesekali muncul. Udara dingin menusuk kulit di balik kemejaku.
"Eh, tunggu Fin," terdengar suara Lita berlari menghampiriku di luar pagar.
"Tolong dong sekalian titip fotokopi kertas ini," wajahnya memaparkan senyum khasnya, memperlihatkan barisan gigi besar-besarnya berbaris rapi diantara bibir tebal. Dia menyerahkan beberapa lembar kertas padaku.
"Semuanya satu kali aja ya, makasih fin."
Kemudian aku berjalan untuk beli sabun, obat, dan memfotokopi.
Setelah selesai kulakukan semua, saat perjalanan pulang mulailah turun hujan. Yah, kok pas banget tadi nggak jadi bawa payung. Air mulai membasahi jalan disertai gemuruh halilintar. Aku bergegas berlari mencari tempat berteduh sambil melindungi kertas fotokopi titipan Lita dengan tubuhku.
Aku berteduh di depan sebuah rumah. Kulihat kertas fotokopi Lita terpercik air sedikit, aku bersihkan dengan lengan bajuku. Kenapa nggak dikasih plastik sih tadi. Hujan langsung turun sangat deras mengguyur.
Obat ini harus cepat aku berikan pada Rina, kasihan pasti dia sedang menunggu. Tapi hujan gini, gimana dengan kertas fotokopi ini? Kalau aku terobos hujan ini, meskipun kertasnya aku masukkan ke dalam celanaku pasti akan tetap basah. Hujan mulai sangat deras, seperti air yang ditumpahkan dari ember dan nampak sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Aku merasakan kehadiran seseorang dari dalam rumah yang aku pakai berteduh keluar dari pintu rumah. Seorang perempuan keluar dengan membawa segerombol kunci di tangannya. Dia memakai piyama berwarna pink lembut. Menyadari keberadaanku di depan rumahnya yang sedang berteduh, dia menghentikan langkahnya, sedikit terkejut. Lalu ekspresi wajahnya berubah dalam beberapa detik.
"Kehujanan ya mas?" dia menyapaku lembut dan sopan.
"Iya, saya numpang berteduh di sini ya mbak."
"Jangan," jawabnya tergesa mengejutkanku. Aku hendak menjelaskan alasannya tapi dia langsung menambahkan, "masuk aja ke dalam."
Sebenarnya aku mau menolak, tapi daripada terus berdiri sampai hujan reda yang entah kapan datangnya, aku menerima tawarannya, walaupun aku tau ini sudah sekitar jam 9. Dia membukakan pagar, aku masuk lalu dia mengunci pagarnya.
Aku duduk di sofa ruang tamu yang hangat. Tak lama kemudian dia datang membawa handuk kering dan teh hangat. Aku mengucapkan terima kasih. Meskipun tidak terlalu basah kehujanan aku mengelap rambutku seadanya.
"Rumahnya di mana mas?" tanya perempuan itu menemaniku duduk. Piyama kasualnya memberi image seperti kami sebuah keluarga sedang mengobrol santai.
"Di situ, di,..." aku agak susah menjelaskannya bagaimana, semoga dia tidak bingung, "di kos Bu Angelica."
"Oh, rumah kos cewek itu? Kamu tinggal di situ? Kok bisa? Kamu kan cowok. Kamu nginep di sana, gitu? Ada saudara yang ngekos di sana? Apa kamu yang ngekos di situ?" pertanyaan bertubi-tubi melayang tanpa henti. Siapapun pasti penasaran dengan keadaan itu.
"Iya, saya saudaranya Tante Angelica."
"Jadi,..." tanyanya masih penasaran, "kamu tinggal bareng sama penghuni cewek gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nosaku: Cowok Penghuni Kos Cewek
General Fiction(13+) Aku menjadi satu-satunya anak kos cowok yang tinggal di rumah kos khusus cewek milik tanteku yang kebetulan berada di kota kampus tempat aku kuliah, sehingga aku menjadi satu-satunya penghuni kos cowok yang tinggal di tempat kos khusus cewek i...