Tiba-tiba seluruh kamarku terasa bergoyang. Seperti ada yang menggoyang-goyangkan lantai yang keras ini dengan kuat, aku melihat semua yang bergelantungan terombang-ambing, kain baju yang tergantung, lampu, semua bergoyang. Setelah itu terdengar teriakan-teriakan panik para penghuni kos yang lain di masing-masing kamarnya.
"Weh, weh, weh! Gempa? Gempa?! GEMPA!! GEMPAA!! Kyaaa!"
Semua penghuni kos membuka pintu kamarnya dengan terburu-buru lalu berlari keluar.
Saking paniknya, mereka tidak peduli dalam keadaan apa mereka berlari keluar.
Nene yang sedang berbaring santai di kasurnya langsung melompat dari kasurnya. Lita yang sudah mau tidur di malam itu langsung hilang kantuknya dengan adrenaline rush dari goyangan gempa.
"WAAA!"
Semuanya berlarian keluar. Lantai terasa bergoyang semakin keras hingga sulit berdiri dengan tegak. Aku harus menekuk lutut untuk tetap bisa berdiri menahan goyangannya. Rak dan lemari bergetar, gantungan jemuran dan lampu bergoyang melambai ke kiri dan ke kanan. Suara gemuruh dari dalam tanah sayup terdengar, gesekan tanah, bangunan, lemari dan benda apapun yang saling berbenturan. Listrik meredup karena kabel utama bergesekan, debu-debu di atas plafon yang bertahun-tahun menumpuk, jatuh bertebaran memenuhi udara.
Rina dan Lita bertemu dan berpelukan saling menenangkan diri satu sama lain. Nene mendului berlari turun ke bawah dengan gesit. Rina dan Lita lalu menyusulnya.
"Ayo cepat, cepat, keluar!" Lita menarik tangan Rina berlari ke luar rumah.
Wajah mereka panik. Setelah mereka berdua menghilang dari pandangan, aku yang masih belum turun mendengar suara dari dalam kamar mandi.
Sedetik kemudian pintu bilik shower terbuka dan terlihat Cindy yang sedang mandi belum sempat mengenakan bajunya melompat keluar dengan posisi setengah terjongkok dan berpegangan pada tembok menahan goyangan gempa. Sisa sabun masih menempel di sebagian besar badannya. Wajahnya penuh ketakutan dan panik. Tapi setelah melihatku di ujung tangga, Cindy buru-buru berbalik masuk ke bilik shower mengambil handuk untuk menutupi badannya. Cindy sudah ingin menangis dengan keadaan seperti itu. Dalam panik, dia tidak bisa membuntalkan handuknya dengan baik, meskipun begitu, apakah Cindy akan berlari ke luar rumah dalam kondisi yang seperti itu.
Dalam kondisi genting yang seperti ini, kita perlu berpikir dengan pikiran yang tidak gegabah.
"Cindy, kamu tetap di dalam saja! Semoga tidak terjadi apa-apa," aku berteriak pada Cindy yang sedang panik. Dia sudah setengah menangis merasakan goncangan gempa ini. Aku berpegangan pada rail tangga dan merasakan goyangan bumi yang masih konstan berharap untuk tidak menjadi lebih besar, dan bangunan rumah ini bertahan terhadap goncangannya. Aku tidak ikut berlari keluar karena mengkhawatirkan Cindy yang aku suruh tinggal di dalam. Kalau ada apa-apa dengan dia, aku ikut merasa bersalah. Terdengar dari kejauhan di luar rumah sudah ribut orang-orang yang saling berlarian dan berteriak histeris.
Setelah sekitar satu menit penuh berlalu dari goncangan pertama, gempa ini berangsur-angsur mereda. Meskipun mereda, akan tetapi masih ada sedikit getaran yang terasa, tapi tidak sampai membuat sulit berdiri seperti waktu goncangannya besar, kini kaki sudah bisa berdiri tegak tanpa takut ambruk meskipun masih terasa getaran kecil dari tanah.
Merasa gempa sudah mulai mereda, Cindy yang menahan panik daritadi di kamar mandi tiba-tiba membuka pintu kamar mandi, memekik mencari seseorang untuk menenangkannya.
"Hiiiiiie!"
Mata Cindy berair setengah menangis, dia berlari menghampiriku dengan memekik. Awalnya dia ragu waktu awal melihatku, tapi dia sekarang sedang butuh seseorang, siapa saja untuk menenangkannya. Nafasnya sesak berat. Dia memelukku hanya dengan memakai handuk terbuntal.
===
Setelah menenangkan diri, kami semua bergotong royong membereskan semua yang berserakan karena goncangan gempa yang sudah berlalu. Mulai dari piring pecah, rak roboh, serpihan debu yang jatuh di lantai, meja yang pindah posisi.
Sambil membereskan kekacauan yang terjadi, kami semua menceritakan kembali dengan seru detik-detik awal terjadinya gempa tadi.
"Tadi aku kaget banget," cerita Lita sambil memegang sapu, "lagi enak-enaknya rebahan sambil main hape, tiba-tiba, loh, kok goyang-goyang. Kukira ada yang nendang-nendang kasurku."
"Iya, sama. Terus aku lihat bajuku di gantungan, kok goyang-goyang," Nene menimpali tak kalah seru. Semuanya masih merasakan ketegangan yang sama saat mengingat-ingat kejadian tadi.
"Kalo kamu Cindy, tadi lagi ngapan pas gempa," Lita bertanya pada Cindy yang sedang berlutut menata buku di raknya kembali. Cindy dengan tiba-tiba berdiri, melirik Lita dengan ujung matanya.
"A-aku sedang mandi..." Cindy ragu-ragu menjawab, berharap tidak diinterogasi lebih jauh.
"APA? Tadi kamu lagi mandi? Bahaya banget tuh! Kamu nggak apa-apa?"
"Iya ngga apa-apa."
"Terus kamu nggak lari?"
"Nggak"
"Tapi gimana mau lari, coba? Orang lagi mandi. Ya malu lah kalau lari telanjang gitu" kata Nene memahami situasi.
"Tapi kamu panik kan di dalam kamar mandi" lanjut Lita.
"Ya panik lah, panik tapi nggak bisa keluar" Cindy berpura-pura tegar.
"Kalau kamu Fino, tadi ngapain" Nene menanyaiku. Cindy memandangku dengan tatapan tajam, supaya tidak bercerita terlalu detail atas kejadian tadi.
"Aku kaget juga sih"
"Iya tadi ceritanya gimana kamu? Kok nggak ikut keluar" desak Lita.
Aku tidak akan menceritakan dengan detail. "Ya tadi aku di kamar, kurasa nggak perlu keluar juga sih."
"Berani sekali kamu." kata Lita heran.
Setidaknya aku menjaga perasaan Cindy supaya tidak bertambah malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nosaku: Cowok Penghuni Kos Cewek
General Fiction(13+) Aku menjadi satu-satunya anak kos cowok yang tinggal di rumah kos khusus cewek milik tanteku yang kebetulan berada di kota kampus tempat aku kuliah, sehingga aku menjadi satu-satunya penghuni kos cowok yang tinggal di tempat kos khusus cewek i...