Malam itu aku bosan di kamar. Aku keluar menuju ruang tengah untuk mencari udara segar. Capek juga baca tujuh puluh halaman paper ilmiah. Banyak pakai bahasa tingkat tinggi.
Lalu dari arah dalam kamar Cindy terdengar suara Cindy dan Rina saling bersahutan.
"Aduh!"
"Kenapa?"
"Sakit."
"Makanya jangan gerak-gerak"
"Pelan-pelan dong masukinnya"
"Kamu ini, sensitif amat sih"
"Tapi sakit, nanti luka tau"
"Yaudah ini aku pelan-pelan"
"Aww, sakit! Jangan dalem-dalem"
Glek-
Aku menahan diri untuk menimbulkan suara yang bisa mereka berdua dengar dari kamar yang pintunya sekarang tertutup.
"Nanti nggak kena sampe ujung?"
"Iya sakit tapii ... coba masukinnya sambil dimiringin, dimiringin dikit"
"Dari sini? Gini kah?"
"Nggak enak"
"Trus jadi nggak ini...?"
"Coba ganti, yang satunya, satunya dulu"
Kemudian hening. Beberapa saat kemudian, terdengar suara lagi.
"Kalo ini nggak apa-apa"
"Yaaaa yang ini lumayan enak, seperti biasanya"
"Kamu sih kelamaan ga dicolok-colok"
"Ihihi, geli geli~ mmmmngggngggh" Rina mengerang dengan nada tinggi sambil menahan tawa.
....
"Coba yang satunya lagi, pake minyak"
"Minyak apa?"
"Minyak goreng! Udah kamu diem aja, sini"
"Aaww"
"Jangan gerak-gerak!"
"Takut sakiiit.."
"Nggak, ini udah kukasih minyak"
"Pelan-pelan"
"Iyaaa ini pelan-pelan"
Aku menahan dengan sekuat hati untuk tidak berpikiran liar. Kedua anak itu sedang asyik bersama di dalam kamar, suara erangan ringan sekali-sekali keluar dari mulut Rina membuat otakku yang mendengarnya travelling.
"Aahnnn... HHHHhh shhh"
Aku ragu antara masuk ke kamarku lagi atau tidak. Aku memandang langit hitam berhiaskan bulan sabit remang. Suara hewan malam memecah sunyi.
Pintu kamar Cindy terbuka secara tiba-tiba. Aku melompat terkejut, Rina keluar membawa dua buah cotton bud yang sudah kotor di tangannya, matanya bekas basah berair, dia melihatku, langsung menyembunyikannya dari pandanganku.
Waktu yang bersamaan, Cindy yang masih di dalam kamarnya melihatku dari balik Rina yang menghilang dari pandangan. Dia lalu tertawa kecil dan berkata padaku, "Fino mau dibersihkan juga telinganya?"
Sejak saat itu aku berusaha untuk tidak berprasangka yang aneh-aneh apapun yang tertangkap kelima panca indera ini.
===
"Fino, kamu suka belajar?" tanya Linda.
"Suka," jawabku.
"Tapi nggak seharian kan. Aku heran, kenapa orang seperti Cindy bisa belajar terus menerus sepanjang hari, dari pagi sampai malam. Apa nggak bosen?"
Cindy yang berada di antara tumpukan buku hanya nyengir, membetulkan kacamata bulatnya yang besar, melanjutkan membaca.
"Bukan cuma karena dia Jurusan Kedokteran, impian sih boleh tinggi, tapi kenapa aku nggak bisa seperti Cindy yang bisa betah bertahan membaca berjam-jam."
"Mungkin belum terbiasa saja," kataku.
"Gimana bisa membiasakan? Orang pegang buku lima menit aja aku langsung ketiduran."
Parah banget.
"Semuanya butuh proses. Mengantuk juga bagian dari proses belajar."
Cindy membalik halaman buku tebalnya, melanjutkan membaca.
"Kemauan harus lebih kuat. Kamu maunya apa sih?" kataku.
"Ya nggak tau, ikut aja kuliah kayak yang lain."
"Ya apakah kamu ingin belajar supaya jadi tau, dan mengajarkannya ke yang lain, atau karena penasaran, atau biar bisa bikin bangga."
"Kalau Cindy terpaksa. Bapaknya dokter, ibunya dokter, kakaknya dokter, sepupunya dokter. Bahkan bekas pembantunya kuliah perawat. Tuntutan keluarga ya Cin," kata Rina.
Cindy hanya mendengus. "Itu nggak seberapa dibanding impian-impianku yang tidak bisa disia-siakan begitu saja."
"Terus, kalau impianmu tercapai, kamu bakal kehilangan impian dong, kan sudah tercapai, sudah nggak jadi impian lagi," kata Rina menggoda.
"Bikin impian selanjutnya dong," kata Cindy.
Aku mulai takjub sama orang ini.
"Jangan terlalu tinggi loh Cin, impian itu. Banyak kecewanya. Orang yang tidak mudah kecewa adalah orang yang tidak punya keinginan," kata Rina.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidup orang itu," kata Cindy.
"Jadi, kamu siap kecewa dengan keinginan-keinginanmu itu?" kata Rina.
"Buat apa kecewa selama kamu bisa mencapainya," kata Cindy.
"Tapi kan nggak selalu apa yang kamu inginkan bakal tercapai," kata Linda.
"Selama masih ada waktu dan peluang?" kata Cindy.
"Mana ada waktu. Ga ada waktu buat main," Kata Linda.
"Jangan lupakan tiga moto hidup Cindy, study-hard, play-hard, istira-hard," kata Rina menggodanya.
Cindy menutup bukunya, menyusun dan membawanya kembali ke kamarnya.
Linda berbalik menghadapku, "hati-hati dengan keinginanmu, terhadap kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nosaku: Cowok Penghuni Kos Cewek
General Fiction(13+) Aku menjadi satu-satunya anak kos cowok yang tinggal di rumah kos khusus cewek milik tanteku yang kebetulan berada di kota kampus tempat aku kuliah, sehingga aku menjadi satu-satunya penghuni kos cowok yang tinggal di tempat kos khusus cewek i...