Chapter 30

529 30 11
                                    

"Eh-eh liat muka Dika deh! Cepetan!"

"Hahaha, mukanya tablo banget woy!"

"Gila, nggak kuat gue!"

"Eh-eh Fadil arah jam tiga! Cepet!"

"Haha, anjir foto woy!"

Febby dengan tangkas mengambil hpnya yang baru saja selesai diservis, dan segera memotret wajah Fadil yang amat konyol itu.

"Hahahaha, send ke gue!"

"Gue juga!"

"Ya ampun, gue juga, By!" aku pun ikut menyahut seperti yang baru saja dilakukan Anggi dan Hannah.

Di senja yang cerah ini, sebuah Villa milik Bella di daerah Bogor itu sangat berisik dengan keributan kita berempat. Ya, aku, Febby, Anggi, dan Hannah. Hari ini kelasku, XII IPA A sedang mengadakan acara perpisahan kelas yang akan berlangsung hingga besok siang. Ya, kita sudah melakukan Ujian Nasional seminggu yang lalu. Dan seminggu yang akan datang, akan diadakan acara wisuda di sekolah kami.

Hft, sebentar lagi kita akan berpisah. Aku, Febby, Anggi, dan Hannah akan pergi ke universitas pilihan kami masing-masing. Entahlah, aku pasti akan sangat merindukan mereka.

Oh ya, ngomong-ngomong, menertawakan dan memotret wajah-wajah konyol setiap orang adalah salah satu hobi kami berempat. Dan tentu saja, di antara yang lain, Fadil selalu menjadi sasaran nomor satu kami. Entahlah, aku juga tak mengerti mengapa wajahnya bisa sekonyol itu!

Febby, Anggi, dan Hannah masih saja sibuk menertawakan potret Fadil dari hp Febby hingga terpingkal-pingkal. Sedangkan aku sudah tak bisa tertawa lagi. Di samping suaraku sudah hampir habis, aku tak ingin hal ini malah membuatku semakin kangen setengah mati dengan tiga orang gila ini kelak.

Aku tersenyum dalam diam, mengamati wajah teman-temanku satu-per-satu. Dari mulai Febby, Anggi, Hannah, hingga pada akhirnya pandangan mataku jatuh pada dia.

Iya, dia.

Yah, sejak saat itu, aku maupun Febby benar-benar tidak berhubungan apa pun lagi padanya. Aku memang duduk sebangku dengannya, namun aku maupun dia tak akan berbicara sebelum benar-benar ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Dan pasti percakapan itu akan berlangsung dengan amat canggung.

Jujur saja, tak nyaman jika harus seperti itu. Namun pada akhirnya, aku dan dia bertahan dengan situasi itu hingga saat ini.

Tiba-tiba, dia menoleh ke arahku.

Dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat, aku dengan spontan mengalihkan mataku ke cowok yang terletak tak jauh darinya, Fadil.

Tunggu, itu Fadil?

Aku memicingkan mataku untuk memperjelas penglihatanku. Ya benar, itu memang Fadil. Tapi mengapa ia menatap ke arah kami berempat dengan tatapan tajam?

Ah, dia menyadarinya!

"Woy, Fadil sadar bege!" aku memukul karpet yang berada di tengah-tengah kami berempat untuk mengambil perhatian mereka.

"Hah? Mana?!"

"Iya woy! Arah jam tiga!"

"Astaga! Gila lo, cepet hapus!"

"EH QUARTETMI!"

Spontan, aku, Febby, Anggi, dan Hannah menoleh ke arah sumber suara, yaitu Fadil. Dan ternyata, semua pasang mata memandang ke arah kami tanpa kecuali.

Oh ya, by the way, quartetmi itu sebuah sebutan untuk kami berempat yang entah apa artinya. Hannah yang mencetuskannya. Biasalah, otaknya 'kan rada-rada sengklek.

IntricateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang