Aku mengelap peluh yang menempel di dahiku. Hari ini salah satu AC di kelasku mati. Jadilah kelas ini penuh bau keringat.
"Yang nomor 4 udah dapet belom, Ngga?"
Aku menoleh ke arah Febby dengan gelengan kepala. Hari ini pula, Bu Sari izin tidak mengajar untuk menyambut tamu dari sekolah lain. Bukannya senang, kita justru sebal. Mendingan Bu Sari mengajar, daripada diberi tugas 5 halaman yang susahnya minta ampun begini.
Febby menyuruhku bertukar tempat duduk dengan Zafran, agar aku bisa duduk di sebelahnya. Zafran sendiri meminta Kiera untuk bertukar tempat duduk dengan Vano, agar ia bisa duduk di sebelah Vano dan Kiera duduk di sebelah Rissa.
It's a win-to-win solution, right?
Aku menghela napas dengan gusar. Dari 50 soal, aku baru mengerjakan seperempatnya dalam kurun waktu 1 jam. Ini gila!
Jika saja tugas ini tidak wajib dikumpulkan hari ini, pasti lapangan dan kantin sudah penuh dengan murid-murid sekelasku. Aku lapar sekali!
Aku menelungkupkan kepalaku di atas lekukan lengan. Mengapa soal ini begitu sulit..
"Ngga, kerjain dong.. Lo 'kan pinter."
Aku menggeleng lemah. "Laper."
"Hft, gue juga."
Febby ikut-ikutan menelungkupkan kepalanya di atas lipatan lengannya. Jam pelajaran matematika tinggal setengah jam lagi, sedangkan soal yang masih belum ku sentuh masih banyak sekali.
Aku pun menegakkan punggungku. Aku harus mengerjakan soal ini. Aku harus berjuang!
"Eh, pinjem type-x dong."
Aku mendongak dan mendapati Zafran yang sedang menatapku. Tanpa berpikir macam-macam, aku langsung membongkar tempat pensilku untuk mencari type-x ku.
Ketika tanganku sudah menggenggam type-x biru kepunyaanku, Febby terlebih dulu memberikan type-x merahnya kepada Zafran.
Cus.
Keduluan.
Aku mengedikkan bahu sekilas lalu memasukkan kembali type-x ku ke dalam tempat pensilku. Aku pun kembali terfokus pada soal-soal matematika yang sedaritadi sudah bertengger di depanku.
"Ini, makasih ya, Febby.."
"Bentar, nanggung dikit," kata Febby sambil mempercepat gerakan tangannya di atas buku tulis.
Aku tidak memperdulikan kedua couple itu dan terus berkutik dengan soalku.
Febby meletakkan pulpennya dengan asal. "Hff, masih banyak banget. Eh Ngga, gue udah nih yang nomor empat. Mau--"
"Ini type-x nya.." sela Zafran.
Aku terus menunduk, malas mendongak. Apalagi jika nanti mata teduh Zafran bertemu denganku. Resiko yang amat besar.
"E-eh iya.. makasih--eh, sama-sama.."
Aku bisa merasakan tangan Febby terulur untuk mengambil type-x merahnya. Namun setelah selang beberapa detik, tangan Febby tidak kembali ke bawah atau bahasa gampangnya, tangannya masih melayang di udara.
Tak ada satu pun suara lagi yang dikeluarkan Febby maupun Zafran. Heran? Ya, tentu saja. Namun, kepalaku ini masih enggan untuk mendongak.
Ada 2 atau 3 menit mereka tidak berkutik. Penasaran, aku pun mendongak untuk melihat apa yang terjadi.
Aku menyeletuk pelan, hampir berbisik. "By, ka--"
Ucapanku terhenti kala melihat tangan kanan sepasang couple ini saling menggenggam erat dengan mata yang tidak lepas dari satu sama lain. Aku mengatupkan mulutku serapat-rapatnya ketika Zafran meremas tangan Febby yang sedang ia genggam dengan lembut. Membuat semburat merah tampak di pipi Febby hingga ke telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intricate
Roman pour AdolescentsSemua berawal dari tatapan matamu waktu itu. Tatapan mata yang sulit dideskripsikan. Tatapan mata yang membuat kita dekat seperti saat ini. Semua berjalan baik-baik saja, hingga sebuah fakta datang padaku. Sebuah fakta yang ku akui, menyedihkan. Seb...