Febby menopang dagunya sambil menggigiti kukunya dalam diam. Pandangan matanya menempel papan tulis, seakan semua materi yang sedang dijelaskan Bu Sari sudah menempel semua pada otaknya, padahal tidak sama sekali. Matanya memang memperhatikan, namun ku yakin pikirannya pergi jauh ke mana-mana.
Sepertinya ia sedang memikirkan LCD hpnya yang rusak, yang menyebabkan ia membawa hp nokia lamanya yang butut hari ini. Atau mungkin ia sedang menunggu waktu istirahat tiba? Memang, rencananya ia akan melakukan aksinya saat jam istirahat nanti.
Entah kenapa, tanganku bergerak untuk menepuk-nepuk pundak Febby pelan. Niatnya sih, mau menenangkan. Menenangkan dalam hal apa ya? Entahlah.
Febby menoleh, sedikit terkejut. "Kenapa, Ngga?" tanyanya.
Aku menggeleng singkat, yang hanya direspon dengan edikkan bahu dari Febby. Ia kembali meluruskan pandangannya ke papan tulis, dan kembali menggigiti kuku-kukunya itu. Jorok memang.
Ku perhatikan rupa Febby dari belakang. Sahabatku yang satu ini memang terlihat anggun baik dari depan maupun belakang. Tingkahnya yang bisa polos dan heboh di saat yang bersamaan itulah salah satu hal menarik yang dimilikinya. Bahkan, sifat cerewetnya itu juga termasuk faktor kemenarikkannya. Pipinya yang tirus, senyumnya yang lebar, dan taring panjangnya yang terkadang masih muncul sedikit meski ia menutup mulutnya juga menambah poin kemenarikkannya.
Cowok mana sih, yang bisa menolaknya?
Iya, kecuali Zafran. Ia memang aneh, ia berbeda.
Tiba-tiba, Febby menoleh ke arahku dengan raut wajah yang lesu. "Ngga, nanti lo temenin gue ya.." pintanya.
Mengerti apa maksud dari permintaan Febby, aku mengangguk. "Oke," ucapku yang secara spontan diikuti dengan perubahan wajah Febby yang langsung ceria. "Tapi gue cuma nemenin, loh. Cuma," tambahku dengan penekanan pada kata terakhirnya.
Senyum yang baru saja merekah selama kurang dari setengah menit itu kembali luntur. "Yah.." Febby mendesah lesu.
"Oh, ya udah kalo nggak mau."
Febby menggelengkan kepalanya berulang kali, merespon cepat. "Nggak-nggak, nggak papa kok kalo lo cuma nemenin. Yang penting.." Febby nampak berpikir, sebelum akhirnya menyimpulkan. "Yang penting ditemenin."
Aku mengangguk perlahan, seakan mengerti apa maksud dari kalimat Febby barusan. "Oke.." ucapku.
Bel yang menandakan jam istirahat berdering, bersamaan dengan selesai terlontarkannya satu kata dari mulutku. Febby menghela napasnya, memejamkan matanya, kemudian mengusap wajahnya kasar. Aku hanya memperhatikannya, menunggu sebuah sinyal siap darinya. Anggi dan Hannah sama-sama menunggu sepertiku, namun mereka tampak lebih tidak sabaran.
Febby memasukkan alat tulisnya ke dalam tempat pensil dan menyimpannya di bawah kolong meja. Ia menutup buku paket dan buku tulisnya perlahan, dan memasukkannya ke dalam tas ransel bermotif bunga miliknya.
Febby melepas ikatan rambutnya seraya melirikku. Aku rasa, ia sedang memberikan sinyal siapnya.
"Sekarang?" aku bertanya dengan kedua alis yang terangkat, memastikan apa itu benar-benar sebuah sinyal darinya.
Febby mengulaskan senyum tipis, sebelum mengangguk singkat. "Ayo."
Ku raih hpku yang tergeletak di atas meja, kemudian mengirimkan Zafran sebuah pesan singkat.
Jingga: Lapangan volley, sekarang.
***
Aku dan ketiga sahabatku berjalan menyusuri koridor dengan penuh canda tawa. Kita berjalan pelan, menikmati suasana koridor kelas XII yang cukup ramai. Tak jarang aku, Anggi, maupun Hannah melontarkan gurauan yang terkadang tidak lucu sama sekali untuk sedikit menghibur Febby. Karena kita tahu, walaupun di luar Febby tampak sangat tenang, tetapi di dalam, batinnya sedang berperang sengit melawan perasaan gugup dan gelisah yang sedang mencoba menguasainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intricate
Ficção AdolescenteSemua berawal dari tatapan matamu waktu itu. Tatapan mata yang sulit dideskripsikan. Tatapan mata yang membuat kita dekat seperti saat ini. Semua berjalan baik-baik saja, hingga sebuah fakta datang padaku. Sebuah fakta yang ku akui, menyedihkan. Seb...