Chapter 23

506 34 3
                                    

Matahari mulai terbit dari ufuk timur bersamaan dengan udara segar khas pagi yang mulai memasuki rongga hidungku. Membuatku kembali meringkuk ke dalam selimut besar merah mudaku. Hari ini hari Jum'at, ya? Oh ya, sekolah. Lagi.

Aku tidak ingin berangkat ke sekolah hari ini. Entahlah, akhir-akhir ini aku menjadi sangat malas pergi ke sekolah. Mungkin faktor terbesarnya adalah curhatan Febby yang itu-itu saja setiap harinya. Ya, aku bosan. Sangat bosan.

Maksudku, Febby itu curhat untuk mengungkapkan isi hatinya dan untuk mendapatkan solusi dariku, bukan? Tapi mengapa solusi yang sudah ku berikan sejak seminggu yang lalu tak juga ia coba lakukan?

Itulah yang membuatku malas pergi ke sekolah belakangan ini.

Aku melirik jam bulat yang menempel di dinding kamarku. Pukul 04.35, sudah waktunya aku bersiap-siap sekarang.

Aku beranjak dari kasurku menuju ke kamar mandi yang terletak di dalam kamarku untuk segera membersihkan diri. Tidak lama kemudian, aku sudah duduk di atas kursi makan sambil mengunyah nasi goreng buatan Bundaku.

"Tuh, Ayah udah siap. Berangkat gih, entar telat loh," kata Bunda sambil menuangkan air ke dalam gelas dan kemudian meminumnya.

Aku menoleh ke arah pintu kamar Bunda-Ayah, tampak Ayah di depannya lengkap dengan setelan kemeja dan celana panjang hitamnya dengan rambut yang sudah disisir rapih. Kepalanya ia miringkan ke kiri, mengajakku untuk segera berangkat.

Aku mengangguk singkat kepada Ayah, kemudian berdiri dan mencium pipi kanan Bunda lembut. "Jingga berangkat dulu ya, Bun!"

Bunda mengangguk lalu memberikan sebuah kotak makan berwarna biru kepadaku. "Iya, hati-hati ya, Ngga."

"Siap, Bos!" ucapku, tersenyum, dan mengambil kotak makan tersebut dari Bunda. Setelahnya, aku berjalan menuju mobil dengan sedikit berlari.

***

Sekolah masih tampak sepi--eh, kosong pagi ini. Semua ini karena Ayah akan ada pertemuan dengan direktur utama hari ini. Jadi, mau tak mau aku diantar sedikit lebih pagi dari biasanya.

Setelah turun dan berpamitan dengan Ayah, aku segera berjalan melintasi area lapangan, lalu memasuki koridor. Baru 3 langkah aku berjalan di atas lantai koridor, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang memanggilku.

"Jingga!"

Aku menoleh, mataku menangkap mata dari seorang malaikat ganteng berkacamata yang tadi memanggilku. Tunggu, malaikat?

Aku memejamkan mataku erat sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku kembali membuka mataku pelan setelah membuang jauh-jauh pikiran aneh--super, aneh ku tadi.

Tenang, bukan malaikat kok, cuma Zafran. Entahlah, sepertinya otakku sudah benar-benar konslet dipenuhi dengan curhatan-curhatan Febby yang memuakkan.

"Hoy!"

Aku melompat kecil, terkejut, kemudian memukul lengan Zafran dengan refleks. "Kaget, Odong!"

Zafran tertawa kecil, membuat jantungku berhenti berdetak sejenak karena ketampanannya. Eh? Tuh 'kan, beneran konslet.

"Sorry-sorry, lagian 'kan serem lo tiba-tiba bengong gitu setelah merem dan geleng-geleng nggak jelas," jelas Zafran.

Aku menatapnya sinis. Namun, dengan cepat ku palingkan pandanganku karena tak mampu menahan pesona yang diberikan Zafran. Eh, konslet lagi 'kan.

"Hm, jadi kenapa lo manggil-manggil gue?" tanyaku masih dengan nada sinis.

"Nggak apa-apa, ayo ke kelas bareng," ucapnya.

IntricateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang