Epilog (Part II)

630 34 8
                                    

-Previous Part-

"Aduh, No.. Gue nggak bisa lama-lama beneran deh.. Di flat udah ditungguin--"

"Udahlah, Ngga. Ayo duduk dulu sini, gue kenalin ulang orang-orang ini," Vano menarik sebuah kursi dan menyuruhku duduk. "Nih, ada Haris. Masih inget, 'kan? Haris sama pacarnya. Ada Nathan juga, tapi dia masih jomblo. Terus ada Zafran, sama pacarnya juga!"

Tunggu.

TUNGGU.

ADA ZAFRAN SAMA PACARNYA JUGA?!!

***

Aku memusatkan pandanganku pada sepasang lelaki dan perempuan yang ditunjuk Vano. Mataku lebih dulu menangkap sang perempuan. Ku akui, ia cantik. Kulitnya putih bersih, iris matanya cokelat muda, tulang pipinya timbul, bibirnya merah semerah apel, ditambah dengan rambut cokelat tuanya menggelombang indah hingga punggung. Sekilas, ia tampak seperti model-model majalah fashion yang banyak beredar di kampusku.

Ia sungguh berbanding terbalik denganku yang tampak seperti ikan buntel berkulit cokelat. Ku akui, selera Zafran memang sangat bagus. Mana mungkin ia mau denganku.

Kini mataku beralih ke lelaki di sebelah perempuam bak model tadi. Tak banyak yang berubah darinya. Rambutnya yang dulu berantakan, kini semakin berantakan. Dan juga kacamatanya yang semakin tebal.

Tanpa aku sadari, ternyata ia sedang menatapku aneh dengan alis terangkat satu, seakan bertanya, 'kenapa liat-liat?'. Sial, sepertinya ia sadar aku memperhatikannya!

FIX, AKU HARUS PULANG SEKARANG.

"Sorry, No. Gue beneran mesti pulang."

Selesai berkata seperti itu, aku langsung berdiri dari kursi dan berjalan sedikit cepat keluar dari kafe. Jantungku berdetak melebihi ritme normalnya. Tanganku mengepal keras, siap meninju siapapun yang ada di depanku.

ZAFRAN SAMA PACARNYA?! TERNYATA DIA PLAYBOY BANGET YA. UDAH BERAPA KALI YA DIA GANTI PACAR SELAMA DUA TAHUN INI?!

Ergh. Kenapa gue jadi baper gini sih? Dia 'kan masa lalu. Dan gue udah berhasil ngelupain dia.

Tapi sekarang kenapa lo harus muncul lagi?! Sama pacar lo pula!

"Jingga!"

Aku berhenti melangkah. Itu suaranya, suara Zafran.

Ia kembali menyahut. "Buku lo nggak mau dibawa?"

Ku tepuk jidatku pelan sambil merutuki kebodohanku. Bisa-bisanya aku melupakan buku-buku itu? Kau malah mempersulit keadaan, Jingga Bodoh.

Mau tak mau, aku membalikkan badanku sambil menunduk. Begitu aku mendongak, ternyata Zafran sudah ada di hadapanku. Tangan kanannya bertumpu pada lutut, sedangkan tangan kirinya sibuk menggendong buku-bukuku.

"Jalan lo cepet juga," ia menyeletuk di sela napasnya yang tersenggal-senggal. Tunggu, dia habis lari?

Aku sempat terdiam sejenak, terkejut. Sebelum akhirnya memasang muka jutek dan membuang muka.

"Makasih," aku berkata singkat, lalu hendak mengambil buku-bukuku itu dari lengan Zafran. Namun, Zafran lebih dulu membawa buku-buku tersebut ke dekapannya.

Ia menatap mataku dalam sebelum menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa buru-buru banget?"

Aku mendengus seraya membuang mukaku kembali, mencari alasan. "Udah ditungguin. Mau ngerjain tugas juga," ucapku jutek.

"Ditungguin siapa?" ia kembali bertanya sambil terus menatapku. Membuatku semakin tidak berani menoleh ke arahnya.

Aku mendesis. "Kenapa lo mau tau banget?"

IntricateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang