Epilog (Part I)

471 29 9
                                    

Siang menjelang sore yang dingin di sebuah kota bagian barat daya Jerman, kota Heidelberg. Setelah makan siang, aku menghabiskan waktu luangku di perpustakaan kampus, mencari beberapa ide yang bisa ku jadikan tema untuk tugas essay akhir tahunku.

Aku beranjak dari sebuah bangku di tepi perpustakaan setelah selesai menelusuri isi dari buku tebal bersampul cokelat tua ini. Kakiku menapak perlahan menuju rak berisi buku-buku psikologi untuk mengembalikan sekaligus mengambil beberapa buku dari rak tersebut.

Dengan empat buah buku yang baru ku ambil dari rak, aku berjalan kembali ke tempat dudukku dan menaruh buku-buku tersebut di meja. Ku tarik bangku yang sudah ku duduki selama hampir dua jam ini, kemudian duduk bersandar dengan nyaman, sebelum akhirnya mengambil sebuah buku dan mulai membacanya.

Belum sepuluh menit membaca, telingaku menangkap sebuah suara familiar yang berseru memanggil namaku.

"Jingga!"

Ku turunkan buku yang ada di tangan, dan menoleh ke asal suara. Dari arah pintu perpustakaan, aku melihat sebuah tangan melambai-lambai ke arahku. Tak tahu itu siapa, aku memicingkan mata. Ah, ternyata Joe!

Aku melambaikan tanganku ke arahnya. Namun ternyata sang penjaga perpustakaan terlebih dahulu menyahut dengan tatapan tajam.

"SSSSSHHH!"

Joe meminta maaf dengan sungkan lalu dengan cepat melangkahkan kaki jenjangnya lebar-lebar, sebelum sang penjaga perpustakaan menghampiri dan menghukumnya. Ia menarik kursi yang ada di sebelahku dan menepuk bahuku ramah.

"Hai, Jingga! Pulang sekarang?" tanyanya riang bak anak kecil.

Aku tertawa pelan. "Hai, Joe. Urusanmu sudah selesai?"

Joe mengangguk. "Sudah. Kamu udahan?"

Aku menggaruk kepalaku ragu. "Well, aku baru saja mengambil beberapa buku lagi dari rak dan belum sampai sepuluh menit aku membaca buku ini," ucapku seraya mengangkat sebuah buku yang ada ditanganku.

"Oh, baiklah. Kalau begitu, aku akan menunggumu," Joe berkata, kemudian mengangguk paham.

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, sadar akan ucapanku yang sedikit egois. "A-ah, tidak-tidak. Aku bisa lanjut membaca ini di flat nanti."

"Ah, tidak apa-apa, Jingga. Lagipula aku tak masalah menunggumu. Aku bisa menunggumu sambil membaca beberapa majalah ... atau komik," jelas Joe seraya tersenyum tulus.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan menggendong empat buku tadi di lenganku. "Tidak, kita pulang sekarang, Joe. Apa kau tak lihat sekarang sudah pukul setengah empat sore? Tunggu ya, aku ke Dave sebentar."

Joe hanya manggut-manggut sambil memperhatikan jam tangan hitam di lengan kirinya.

Ah ya, Joe itu temanku. Ia teman satu fakultas, juga satu kelas denganku. Kami bersahabat baik, mungkin karena kami berdua sama-sama orang Indonesia. Walau asli dari Indonesia, Joe tidak mempunyai kulit yang sawo matang serta wajah khas Indonesia sepertiku. Ia pindah ke Jerman bersama keluarganya sejak ia menginjak bangku SMA, dan ia sendiri sudah mempunyai kewarganegaraan Jerman.

Setelah selesai berurusan dengan Dave, sang librarian, aku kembali berjalan ke arah Joe yang tengah merapikan barang-barangku di atas meja.

"Thanks, Joe. Yuk, pulang."

Joe mengangguk. Ia mengambil keempat buku tadi dari lenganku, dan mulai berjalan mendahuluiku. Aku yang tengah memakai mantel hangatku langsung berlari kecil menyusulnya.

"Joe, biarkan aku membawa buku-buku itu sendiri kali ini!" pintaku seraya menyejajarkan langkahku dengannya.

Joe menggeleng tegas. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Jingga. Bisa kamu lihat betapa tebalnya buku-buku ini. Aku tak ingin lenganmu patah, kau tahu."

IntricateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang