Bel masuk sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Sekarang, Bu Netty sedang amat bersemangat menjelaskan materi pelajaran yang diajarnya, IPS. Namun, aku sama sekali tidak memperhatikannya. Mataku terkunci pada pintu kelas yang tertutup rapat, berharap tiba-tiba Febby datang dan membuka pintu tersebut.
Semoga Febby masuk hari ini. Bukan karena aku sangat penasaran tentang hubungannya dengan Zafran atau apa, tapi aku juga cemas. Kemanakah dirinya selama satu hari kemarin? Tak tahukah dia bahwa aku, Anggi, dan Hannah sudah hampir gila menelepon dan mem-bbm-nya seharian?
Apalagi kalau ia tidak masuk hari ini. Aku, Anggi, dan Hannah akan benar-benar melakukan inisiatif kita kemarin tanpa ba-bi-bu lagi. Pulang sekolah, kita akan benar-benar langsung pergi ke rum--
"Selamat pagi."
Terkejut, aku kembali memfokuskan pandanganku pada pintu kelas. Dan ya, suara familiar itu, suaranya! Febby datang!
Aku pun langsung menoleh ke arah Anggi dan Hannah seraya menunjukkan senyum bahagiaku dengan beberapa anggukan kecil. Mereka ikut tersenyum dan berkata 'yes' tanpa suara.
Setelah menjelaskan beberapa alasan telat dan tidak masuk kemarin kepada Bu Netty, Febby pun berjalan menuju tempat duduknya. Namun, melihat tempat duduknya ditempati Zafran, ia pun dengan segera mengalihkan langkahnya menuju bangku sebelahku.
Ngomong-ngomong soal Zafran, sekarang ia sedang berpura-pura sibuk dengan pensil dan catatannya. Aku yakin, ia tak berani menoleh ke arah Febby sedikit pun. Entahlah, sepertinya mereka benar-benar putus. Mungkin?
Febby meletakkan tasnya yang tampak sangat ringan pada sandaran kursi, diikuti dengan sapaan hangat yang keluar dari mulutnya.
"Halo, Ngga!" bisiknya, takut mengganggu murid lain yang sedang serius memperhatikan penjelasan Bu Netty. Senyumnya merekah sesaat, namun kembali luntur ketika ku cubit halus lengannya.
"Kemana aja lo kemaren? Gue telponin nggak diangkat, bbm-in nggak dibales. Mau lo apa sih?!" tanyaku dengan emosi yang meluap-luap. Masa bodoh dengan murid lain, masa bodoh dengan IPS, masa bodoh dengan Bu Netty. Aku benar-benar kesal kali ini.
Bisa ku rasakan Bu Netty sedang menatapku sebal. Spidol hitamnya ia ketuk-ketukkan pada papan tulis hingga menimbulkan suara nyaring nan memekakkan telingaku, membuatku menoleh ke arahnya dengan dahi berkerut.
"Sshh! Jingga, Febby, perhatikan!" ucapnya.
Aku mengangguk, memfokuskan pikiranku pada pelajaran, dan meninggalkan percakapanku dengan Febby barusan. Biar kita lanjutkan nanti saja interogasinya, saat istirahat.
***
"Gue ketinggalan apa aja, Ngga? Pinjem catetan kemaren dong!"
"Nggaa.."
"Jingga!"
"Jingga, jawab dong!"
Aku melirik Febby dengan sinis, tanpa berniat menjawab pertanyaan Febby tadi. Membuat Febby merengut dan bertambah dongkol karenanya.
"Ish, serius nih gue!" ucap Febby dengan muka yang dilipat.
"Hm, nggak enak 'kan, didiemin? Nggak enak 'kan, nanya nggak dibales-bales?" ucapku sarkastik dengan sedikit penekanan pada kata 'nggak dibales-bales'.
Febby menghela napas gusar. "Iya deh, maafin gue ya, Ngga."
"Terus, gue?" tiba-tiba, Hannah muncul dan mengangkat suaranya.
Lagi, Febby menghela napas gusar. "Iya, maafin gue ya, Han."
Anggi, yang sedang sibuk dengan dompetnya, terburu-buru datang dan ikut menimbrung. "Gue-gue?" ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intricate
Teen FictionSemua berawal dari tatapan matamu waktu itu. Tatapan mata yang sulit dideskripsikan. Tatapan mata yang membuat kita dekat seperti saat ini. Semua berjalan baik-baik saja, hingga sebuah fakta datang padaku. Sebuah fakta yang ku akui, menyedihkan. Seb...