Chapter 14

553 37 3
                                    

Sudah yang keempat kalinya Febby membongkar tasnya. Semua barangnya berjatuhan ke lantai kelas, menimbulkan suara nyaring yang membuat seluruh orang menoleh dan memperhatikannya.

Akan tetapi, Febby tidak menggubris semua tatapan orang-orang. Pikirannya sudah terfokus pada satu hal.

Buku cetak matematika.

Ya, Febby kehilangan buku cetak matematikanya. Entah itu beneran kehilangan, atau ketinggalan.

"Lo yakin tadi bawa bukunya dari rumah?" Kiera yang sedari tadi sudah geregetan dengan keriweuhan Febby pun membuka mulut.

Febby berdecak sambil terus memeriksa barangnya satu-satu. "Iya. Gue yakin banget, Ra."

Aku dan Kiera hanya diam menatap Febby yang tengah mengobrak-abrik tasnya. Sesekali kami membantu mengangkat barang-barang yang terjatuh ke lantai.

"Kok bisa ilang sih?!" tanyaku yang sudah mulai bete.

Febby mengacak rambutnya hingga ia tampak seperti orang gila. "Gue juga nggak tau, Ngga! Gue bisa gila nih, Bu Sari 'kan galaknya minta ampun.."

Aku melengkungkan bibir bawahku ke bawah, ikut merasakan kesedihan yang Febby alami. Gimana ini..

Febby menjambak-jambak rambutnya frustasi. Sepertinya ia sudah hopeless.

Tiba- tiba, sebuah suara mengejutkanku.

"Beresin tas lo cepetan. Bu Sari udah hampir nyampe. Masalah buku, berdua sama gue."

Aku mencerna ulang perkataan Zafran barusan di otakku.

Berdua sama gue.

Jantungku serasa ditusuk dengan sebuah jarum kecil yang halus.

Sakit.

Tidak usah ribuan jarum, satu jarum saja sudah sakitnya minta ampun.

Aku menunduk dalam, sedalam-dalamnya. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhku. Tangan maupun kakiku menjadi lemas.

Tiba-tiba, Bu Sari muncul dari balik pintu.

"Selamat siang semuanya!"

Aku melompat kecil, kaget. Lalu dengan cepat mengeluarkan buku matematikaku dari dalam tas.

Terdengar bisikan-bisikan kecil dibelakangku.

"Beneran nih Zaf, gapapa?"

"Iya, santai aja kali."

Aku memutar bola mata dengan malas. Memuakkan.

Bu Sari menaruh buku dan peralatan mengajarnya di atas meja guru. "Ayo kumpulkan tugas yang kemarin disini. Satu-satu."

Aku berdiri dari kursiku, hendak menaruh tugasku yang kemarin di atas meja guru.

"Eh, jangan!" seru Febby tiba-tiba.

Aku menoleh ke belakang. Tampak Febby dan Zafran yang sama-sama sedang berdiri memegang tugas masing-masing. Febby mengambil tugas Zafran yang ia genggam.

Febby mengulas senyum tipis yang manis. "Jangan, biar gue aja."

Baru Febby ingin melangkah, Zafran menahan bahunya.

"Eh, enggak papa?" tanya Zafran lalu membenarkan letak kacamatanya.

Febby tersenyum geli. "Iya, santai aja kali."

Apaan sih ini orang berdua. Mesra-mesraan di depan orang. Bikin ngiri aja.

Eh? Salah.

Bikin sebel aja.

Ketika Febby melewati kursiku, aku menahannya. "Eh By, sekalian dong."

Febby mencibir pelan lalu mengambil tugasku. "Huh, dasar!"

Kemudian, Febby berjalan menuju meja guru. Aku menolehkan kepalaku ke belakang, lalu tanpa sadar mataku menangkap mata Zafran.

Aku mengangkat sebelah alisku.

"Kenapa?" tanya Zafran.

Aku mendelik. "Modus, huh?"

Zafran mengangkat sebelah alisnya, diikuti dengan kedua bahunya.

Tiba-tiba, aku merasakan ada yang mendekat. Ya, seperti dugaanku, itu adalah Febby. Aku pun langsung kembali duduk manis menghadap papan tulis.

"Eh Zaf, kayaknya Bu Sari mood-nya lagi nggak bagus deh.. Gue takut--"

"Udahlah, tenang aja. 'Kan ada gue," potong Zafran.

Nyut.

Sebuah jarum kembali menusuk jantungku. Hft, nggak usah dipikirinlah, Jingga.

"Hei, itu kamu kenapa ngobrol?! Dengerin penjelasan saya nggak?!" tegur Bu Sari kepada Zafran dan Febby dengan muka garangnya.

Kini, semua mata terpasang pada mereka berdua. Febby membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia gugup.

"Eh-itu Bu.. S-saya tadi nggak ngerti, jadi saya nanya ke, ngg Zafran.." jawab Febby ragu-ragu.

"Kalau nggak ngerti ya dengerin! Kalo nggak dengerin gimana bisa ngerti!" tukas Bu Sari sengit.

Febby sempat menoleh sekilas pada Zafran, kemudian ia kembali menatap mata Bu Sari yang sudah menyala-nyala.

"Y-ya, Bu, maaf.." jawab Febby terbata-bata.

Pandangan dan suara Bu Sari melembut. "Baik, saya tidak masalah. Jangan diulangi lagi!"

Febby mengangguk kecil. Ia menghembuskan napas lega, untung Bu Sari nggak melihat bu--

"Buku kamu kemana?!" tegur Bu Sari tiba-tiba.

Jeng jeng!

Bu Sari menyadarinya!

"S-saya.." Febby panik. Ia terdiam, yang malah membuat Bu Sari semakin mencak-mencak.

"Ayo jawab! Jangan diam saja!"

Febby menggigit bibir bawahnya. Otaknya sudah berputar-putar mencari alasan yang tepat.

"Kalo nggak bisa jawab, keluar dari kelas saya!"

Febby menggaruk-garuk kepalanya. "Itu Bu.. Buku saya ke--"

"Tinggalan. Buku saya Bu yang ketinggalan. Saya minta maaf." Zafran dengan cepat memotong ucapan Febby.

Febby menoleh kepada Zafran. Matanya melotot, mulutnya melongo, dahinya mengkerut. "Zaf--"

"Kamu, ke depan, sekarang," ucap Bu Sari tegas sambil menunjuk Zafran dengan jari telunjuknya yang kurus. Lagi-lagi, ucapan Febby terpotong.

Zafran tersenyum tulus kepada Febby. Lalu ia berkata 'gue gapapa' tanpa suara kepadanya. Kemudian, ia berdiri dari kursinya lalu berjalan ke arah meja guru.

"Yang lain, kerjakan latihan 11 dari buku cetak halaman 43," perintah Bu Sari.

Febby berdiri. "Tapi Bu--"

"Tanpa suara, semua duduk. Oh, dan tanpa tapi."

Febby kembali duduk di kursinya dengam lambat. Kedua tangannya ia taruh di mulutnya. Bu Sari salah paham.

Aku menepuk pelan pundak Febby disertai dengan senyuman. Aku tau, pasti Febby kaget, panik, bingung, sekaligus sebal. Namun aku juga tau ada sekuntum bunga yang mekar di dalam hatinya. Ya, ia senang karena Zafran membelanya.

Mungkin Febby hanya berpikir bahwa pikirannya itu konyol, tetapi apa ia tahu fakta aslinya?

***

a/n

haloo! maaf gue baru sempet update. tugas gue numpuk bgt ya ampun:(

9.9.14

-jenjen

IntricateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang