"JINGGAA, BANGUN! MAU BERANGKAT JAM BERAPA SIH?! TELAAT KAMU NANTI!!"
Akibat dari suara teriakan Bunda yang menggema ke seluruh penjuru kompleks ini, aku pun membuka kedua bola mataku dengan terpaksa. Setelah menggeliat, menguap, dan mengucak mata pelan, aku pun menduduki diriku yang masih dalam posisi telentang.
"Iya-iya, Bun, ini Jingga lagi bangun.." aku berkata pelan.
Aku menoleh ke arah nakas, melihat jam mejaku yang menunjukkan pukul 04.13. Ah, sudah waktunya aku bersiap-siap sekarang.
Aku pun bangkit dan berjalan ke arah meja belajar untuk mematikan laptop hitamku yang semalam ku pakai untuk video call-an dengan Alice terlebih dahulu. Setelahnya, aku menyambar handuk hitam-putihku sebelum akhirnya memasuki kamar mandi untuk melakukan ritual pagiku.
Hft, jujur saja, aku masih sangat mengantuk. Ini semua akibat begadang semalaman dengan Alice. Sungguh merugikan.
Begitu selesai mandi dan berpakaian, aku langsung bergegas memakan sarapanku tanpa semangat lalu mencium pipi Bunda sekilas dan memasuki mobil. Aku tak banyak bicara pagi ini. Kalian tahu 'kan, berbicara itu memerlukan tenaga. Ditambah, aku sedang sangat mengantuk pula.
Bahkan saking mengantuknya, aku tak tahu apa-apa tentang kondisi jalanan. Sejak bokongku menyentuh bangku mobil, kesadaranku perlahan hilang. Kata Ayah, di tengah kemacetan jalan raya, aku asyik mendengkur dengan nyaman. Sampai-sampai aku tidak tahu kalau jam pada dashboard mobil sudah menunjukkan pukul 06.28 kala Ayah menginjak rem dan mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolahku.
Dengan segera, ku cium pipi kiri Ayah lalu melesat turun dari mobil. Ku tutup pintu mobil dengan sedikit kencang sehingga sedikit menimbulkan bunyi bantingan, sebelum akhirnya kembali melesat kencang menuju kelasku. Ku tahu, Ayah sempat menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa sebelum akhirnya kembali menancap gas dan melesat menuju kantornya.
Bel masuk berbunyi tepat ketika aku membuka pintu kelas. Aku pun berlari kecil menuju tempat dudukku, seakan mempunyai insting bahwa sebentar lagi Bu Netty akan masuk. Aku duduk, mengatur napas, kemudian melepas tas ransel biru-hitam ini dari tubuhku.
Di sebelahku, Febby sibuk menertawakan mukaku yang memerah akibat nafas yang masih memburu. Sepertinya, sekarang menertawakanku sudah menjadi kebiasaan barunya.
"Apa lo. Bahagia amat," ucapku ketus.
Febby memegangi perutnya yang sedang geli padahal tidak ada yang menggelitiki itu. "Berisik lo, ah. Muka lo nggak nyante banget ish. Geli gue!"
Aku menatapnya malas. "Hm, paham yang sekarang udah bahagia. Paham yang sekarang masalahnya udah kelar."
Febby tak menggubris ucapanku, melainkan tawanyalah yang semakin menjadi-jadi. Bosan, aku menelungkupkan kepalaku pada lengan yang ku lipat di atas meja. Ku pejamkan mataku, namun menajamkan telingaku. Tiba-tiba, terdengar suara pintu kelas yang berdecit, diikuti dengan berhentinya suara tawa milik Febby. Seketika, kelas yang tadinya ribut, berubah hening.
Ya, aku yakin, Bu Nettylah yang baru saja memasuki kelas.
Namun, entah kenapa, kepala ini terasa begitu berat. Dan aku pun tetap menelungkupkan kepalaku di saat aku seharusnya menegakkan kepalaku dan mendengarkan ocehan Bu Netty seperti apa yang lain lakukan. Namun, ocehan Bu Netty malah membuatku pusing, dan melemahkan ketajaman telingaku.
Hingga beberapa menit kemudian, aku pun tertidur.
Ketika aku baru saja memasuki alam bawah sadarku, suara pekikkan seseorang hampir memecahkan gendang telingaku.
"JINGGA SALSABILA! AYO CUCI MUKAMU DILUAR!"
Ya, suara pekikkan Bu Netty telah menghancurkan kesempatan tidurku, dan telah merusak seluruh mood-ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intricate
Teen FictionSemua berawal dari tatapan matamu waktu itu. Tatapan mata yang sulit dideskripsikan. Tatapan mata yang membuat kita dekat seperti saat ini. Semua berjalan baik-baik saja, hingga sebuah fakta datang padaku. Sebuah fakta yang ku akui, menyedihkan. Seb...