Suara rintik hujan,
Suara dengung nyamuk,
Suara nyaring jangkrik,
Suara derung mobil,
Suara pergantian detik jam,
Semuanya terdengar jelas, lebih jelas dari biasanya.
Kenyataan bahwa Febby dan Zafran sudah menyandang status pacaran? Jelas.
Kenyataan bahwa aku tidak bisa menerima kenyataan itu? Sangat jelas.
Ibarat kata, Zafran adalah orang, Febby adalah tempat tujuan, dan aku adalah sebuah bis.
Seseorang yang ingin menuju tempat tujuan, memerlukan sebuah bis sebagai sarana atau alat untuk mencapainya.
Tanpa bis, seseorang tidak akan bisa mencapai tempat tujuannya.
Jadi, yang berperan penting adalah?
Ya, bis.
Tetapi jika orang tersebut sudah mencapai tempat tujuannya, apa ia akan tetap mengingat si bis? Apa ia akan tetap mengingat, jasa sebuah bis?
Bislah, yang membuat seseorang itu mencapai tempat tujuannya. Bislah, yang mempertemukan mereka.
Tetapi kenyataannya, seseorang tersebut melupakannya. Melupakan bis yang berjasa.
Sang bis pun hanya bisa menatap orang tersebut dari jauh, setelah ia akhirnya mencapai tempat tujuan dengan bantuannya.
Lalu apa yang akan bis itu lakukan selanjutnya?
Ia pun akan pergi menjauh. Sejauh yang ia bisa, dan akan berusaha untuk tidak kembali.
***
Febby berlari menuju kelas dengan penuh semangat. Begitu sampai, ia menggebrak mejaku dengan keras.
"HOI!"
Aku menatap datar Febby yang ngos-ngosan dengan tas yang masih tersampir di bahunya.
"Apaan?" tanyaku malas, benar-benar malas.
"Gue punya berita penting. Super, penting."
Ya, I know where this thing goes.
"Apa?" tanyaku polos, pura-pura tidak tahu.
Febby menarikku untuk bangkit dari tempat duduk, kemudian ia menarik--menggeretku untuk berjalan keluar kelas. Sebelum Febby menarikku ke tangga ujung, aku lebih dulu berbalik.
Febby menatapku bingung. "Ngga, di tangga ujung aja."
Aku menggeleng. "Di kelas aja, By. Males di sana."
Febby mengerutkan keningnya. "Tapi kalo di kelas bahaya!"
"Udah, di kelas aja. Belum rame kok," ucapku lalu menarik Febby masuk ke dalam kelas. Kebetulan, anak-anak cowok yang sudah datang, pergi keluar untuk bermain bola. Sedangkan anak-anak ceweknya baru dua orang.
Aku menarik Febby ke arah meja guru yang kebetulan ada dua kursi di belakangnya. Aku duduk di salah satu kursi tersebut, kemudian menepuk-nepuk satunya lagi, seraya menyuruh Febby untuk duduk di sana.
"Apaan berita 'super' pentingnya?" tanyaku dengan penekanan pada kata super.
Febby menggengam kedua tanganku dengan erat, yang sempat membuatku meringis sekali sebelum menatap Febby tepat di manik mata.
"Please jangan kaget."
Aku menganggukkan kepala dengan mantap, aku sudah yakin Febby akan membicarakan soal--
KAMU SEDANG MEMBACA
Intricate
Teen FictionSemua berawal dari tatapan matamu waktu itu. Tatapan mata yang sulit dideskripsikan. Tatapan mata yang membuat kita dekat seperti saat ini. Semua berjalan baik-baik saja, hingga sebuah fakta datang padaku. Sebuah fakta yang ku akui, menyedihkan. Seb...