Ting tong.
"Alice!" seruku ketika mendengar bunyi bel rumahku yang ditekan. Aku segera berlari menuruni tangga dan membukakan pintu untuk Alice. Begitu pintu terbuka, aku langsung memeluk Alice erat.
"Alice! Kenapa lo lama banget sih?!" tanyaku dengan nada bete.
"Tadi gue nemenin nyokap belanja dulu. Lagian lo dadakan juga, ada apaan sih?"
"Di atas aja ya ngomongnya," jawabku lalu menggeret Alice menaiki tangga.
Aku membuka pintu kamarku yang sudah seperti kapal pecah, lalu duduk di atas kasur. Alice sempat ternganga sebelum kemudian ikut duduk di atas kasur bersamaku.
"Gila, Ngga, lo apain nih kamar?" tanya Alice sambil menatapku heran.
"Gue bom, nggak deng," ucapku asal. "Itu nggak penting, yang penting sekarang adalah lo harus dengerin curhatan gue.
"GUE SEBANGKU SAMA ZAFRAAAAN!" teriakku.
Alice membulatkan matanya. "DEMI APA?! KOK BISA?!"
"Bu Netty sialan emang! Ngapain pake rolling seat segala?! Ngeseliiin!" ucapku bete, lalu menaruh kepalaku di bantal dengan sedikit kencang.
Alice tersenyum miring, lalu mencibir. "Bilang aja seneng, ya nggak?"
Aku membulatkan mataku. "NGGAKLAH! Amit-amit!"
Alice menunjukkan senyum menjijikkannya. "Amit-amit, apa imut-imut?"
"EW! JIJIK, NAJIS TRALALA!" seruku seraya memasang muka jijikku.
Alice tertawa ngakak hingga terpingkal-pingkal, membuatku ingin merobek mulutnya sekarang juga! Orang aku lagi bete gini malah diketawain, menyebalkan!
"Udahan, ketawanya?" tanyaku sarkastik sambil melirik Alice dengan sinis.
"Tunggu bentar, masih geli!" ucap Alice sambil terus tertawa dengan memegangi perutnya.
Aku menegakkan punggungku, lalu menatap Alice dengan bete. "Ini mah banyakan ketawa lo, daripada curhatan gue!" ucapku sambil menopang dagu.
"Oke-oke," Alice menarik napas panjang, berusaha meredakan tawanya. "Silahkan lanjutkan, Nona."
Aku memajukan bibirku beberapa senti. "Gue harus apa, Alice? Ini kabar baik atau kabar buruk buat gue?"
Alice berdeham. "Emang kabar baiknya, apa?"
"Kabar baiknya, gue bisa jadi lebih deket sama Zafran," ucapku, yang langsung diberi tatapan curiga dari Alice. "Bu-bukan seperti yang lo maksud, tapi deket yang gue maksud itu bu-buat ngebantu Febby."
Alice memberikanku tatapan tidak yakinnya. "Oke.. Terus, kabar buruknya?"
Aku mendesah. "Move on gue, apa kabar?"
Alice mengangguk sambil mengetuk-etukkan jarinya di dagu. "Hm, ribet ya.."
Aku berbaring di atas kasur, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selama setahun ke depan, tapi yang pasti tahun ini akan menjadi tahun terburuk bagiku.
***
"Hft, minggu kedua."
Ya, ini minggu kedua aku duduk bersebelahan dengan Zafran. Dan sampai sekarang aku masih menyesali tanganku yang bisa-bisanya mengambil kupon nomor 9.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan Zafran, namun aku benci dengan sikap Febby yang selalu saja bertanya, "Dia ngapain aja, Ngga? Ngomongin sesuatu tentang gue nggak?", karena jarak tempat duduk kami yang terpaut cukup jauh dari Febby. Aku juga benci dengan tatapan tidak suka dari mata Febby setiap detik aku duduk bersebelahan dengan Zafran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intricate
JugendliteraturSemua berawal dari tatapan matamu waktu itu. Tatapan mata yang sulit dideskripsikan. Tatapan mata yang membuat kita dekat seperti saat ini. Semua berjalan baik-baik saja, hingga sebuah fakta datang padaku. Sebuah fakta yang ku akui, menyedihkan. Seb...