Chapter 21

632 33 2
                                    

"Hambar."

Aku menoleh ke belakang, ke tempat Febby berada. Ia menatap kosong ke arah papan tulis dengan wajah lesu yang membuatnya terlihat seperti seorang mayat hidup.

Aku beranjak dari kursiku, lalu duduk di kursi sebelah Febby, kursi Zafran. Entah pemiliknya ke mana, yang pasti pacarnya lagi badmood.

Aku mengguncangkan bahu Febby pelan. "Kenapa?" tanyaku.

Febby menggeleng. Wajahnya tampak frustasi, entah karena apa. Bibirnya melengkung ke bawah, menandakan kalau ia sedang sedih.

"Hey, ada apa?" aku kembali bertanya.

Namun lagi-lagi, Febby menggeleng.

Aku mengerucutkan bibirku. "Iiih, cerita dong!"

"Cerita apaan?" tanya Febby dengan dahi yang mengkerut.

"Itu, 'hambar' maksudnya apa? Kalo ada masalah, cerita aja sama Jingga, By."

Febby menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan kasar. Ia kemudian menoleh, dan menatap mataku dalam.

"Hambar itu hambar. Nggak ada rasanya, atau bahkan pahit," ucapnya.

Aku mengangguk ragu, tidak begitu mengerti dengan kata-kata yang baru saja Febby ucapkan. Ku edarkan pandanganku ke sekeliling kelas yang sepi. Ya, sekarang sedang jam istirahat.

Mataku kembali menatap mata hitam Febby. Tak lagi terpancar sinar keceriaan di sana. Senyum lebarnya pun tak lagi tercetak seperti biasanya.

Aku bertanya. "Jadi, yang tadi lo bilang hambar itu.. apa?"

Febby menggigit bibir bawahnya. Napasnya lagi-lagi ia hembuskan dengan kasar. Bibirnya ia kulum gelisah.

Tiba-tiba, Febby memelukku erat seperti seorang anak hilang yang baru saja menemukan ibunya. Isakannya mulai terdengar, dan air matanya mulai berderai seiring dengan pelukannya yang mengerat.

"Ada masalah apaan sih, By? Gue 'kan nggak bakalan ngerti kalo lo nggak cerita," ucapku seraya membalas pelukan Febby.

Febby tampak tidak menggubris perkataanku. Namun, dapat ku dengar bibirnya mendumal kecil tanda ia sedang kesal.

"Kenapa sih, By? Kalo lo nggak mau cerita, gue pergi nih," ancamku.

Febby menahan lenganku ketika aku ingin beranjak pergi. "Ah, Jingga, jangan pergi dong.."

"Mending pergi aja daripada dicuekin sama orang bete."

"I-iya deh, gue cerita!"

Aku tersenyum puas. Kali ini, pancinganku berhasil!

"Ngg, itu, Ngga. Si.. 'itu'."

Aku mengerutkan keningku. "Itu? Siapa? Kenapa? Ada apa?"

"'Itu' loh, 'itu'," Febby menunjuk ke arahku dengan dagunya, seakan memberikanku kode.

Jari telunjukku ku arahkan pada dadaku. "Gue?"

"Bu-bukan! 'Itu' tuh!"

Ku turunkan jari telunjukku ke arah meja, lalu kembali bertanya. "Meja?"

Febby mengangguk singkat namun dengan cepat menggeleng. "Bu-bukan mejanya! Maksud gue itu yang punya meja--eh, yang duduk di situ--eh, bukan--aduh lo ngerti 'kan maksud gue?"

Aku menatap Febby dengan tatapan bertanya. "Zafran?"

Deg. Tiba-tiba, jantungku berdetak dua--tiga kali lebih cepat dari biasanya. Apa mungkin, perasaan itu.. masih ada?

IntricateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang