Setelah insiden demo jalan tol itu, aku dan Zafran jadi sering banget bbm-an, bahkan tiap hari. Aku udah nganggep dia jadi temen, atau sahabat, atau bahkan lebih dari itu. Aku ngerasa kurang kalo sehari aja nggak chat sama Zafran. Kata-katanya itu loh, selalu saja bisa membuatku melupakan semua masalah-masalahku.
Satu hal, kita nggak pernah ngobrol face-to-face. Aku mau banget mulai duluan tapi rasanya awkward gitu. Dia juga nggak pernah mulai duluan. Agak aneh emang kalo setiap di kelas kita nggak pernah ngobrol, atah bahkan setidaknya satu kata 'hai' aja gitu, nggak. Kalo di kelas paling cuma eye contact sama saling membalas senyum aja. Nggak ada orang yang tau kita deket. Bahkan Febby juga nggak tau, karena kita emang nggak pernah menunjukkan ke'deket'an kita.
Eh? Kok jadi mikirin Zafran sih? Kebanyakan ngelamun kamu, Ngga! Ngapain mikirin Zafran, dia aja belom tentu mikirin aku. Eh? Kesannya kok aku jadi kayak berharap gini ya?
***
Hari ini hari Kamis. Semua berjalan lancar sebagaimana biasanya. Bangun-makan-sekolah-makan-pulang-makan-tidur. Sedari tadi aku sudah terbaring diatas kasurku. Tetapi aku sama sekali nggak bisa tidur. Hal ini jarang terjadi karena aku adalah orang yang sangat amat gampang tidur. Jadi, kejadian ini adalah sebuah kejadian langka bagi seorang Jingga. Aku sudah mencoba memejamkan mataku dan mengosongkan pikiranku tetapi hasilnya tetap nihil. Apa yang sedari tadi menggangguku?
Kalau ditanya seperti itu aku akan menjawab kalau sedari tadi aku merangkai sebuah cerita dipikiranku. Cerita yang sangat amat tidak mungkin terjadi padaku. Cerita tentang seorang Jingga yang menemukan prince charming-nya dan hidup bahagia selamanya bersamanya. Agak jijik emang. And the question is, siapakah prince charming-nya itu?
Mataku membulat ketika menyadari jawaban yang terlintas dipikiranku adalah namanya. Muhammad Hanif Zafran Ardika. Nggak, nggak mungkin. Kenapa dia? Kenapa dia yang selalu muncul dipikiranku?
Apa iya aku mulai menyukainya?
Ah, tidak! Lupakan semua omong kosong ini!
Aku pun langsung membuang jauh-jauh pikiran absurd-ku tadi. Dengan cepat, aku langsung memejamkan mataku erat-erat. Aku hanya memfokuskan pikiranku pada satu hal, tidur.
***
Jum'at pagi. Hari ini aku berangkat pagi, atau malah kepagian. Pukul 05.35 aku sudah sampai di sekolah. Lampu-lampu di koridor masih belum dinyalakan. Aku berjalan menaiki tangga ditengah-tengah kegelapan. Ketika sampai di koridor lantai 3, aku melihat bayang-bayang seseorang. Aku langsung berjongkok takut sambil bergidik ngeri. Ayolah setan, pergilah. Masih pagi juga. Aku memejamkan mataku, tak ingin melihat jenis setan apakah itu. Mungkin kuntilanak, pocong, atau vampir! Hiiiiihh.
Tiba-tiba lampu koridor menyala. "Lah, ngapain jongkok-jongkok neng?"
Kubuka mataku perlahan. Lah? Ternyata bayangan tadi itu cuma bayangan Pak Latief, OB di sekolahku. Huh, dasar pocong jejadian!
"Neng? Kalo kebelet itu toiletnya deket kok!" ujarnya sambil menoel-noel bahuku.
Aku berdiri sambil mendengus sebal. "Hiiih, Pak Latief bikin takut aja!" seruku lalu berjalan menuju kelasku. Bisa ku lihat sekilas tadi Pak Latief hanya menatapku bingung. Huh, biar saja! Lagian ngagetin aja sih!
Aku mendongakkan kepalaku yang sedari tadi menunduk. Aku menatap kelasku yang tinggal beberapa langkah lagi. Namun, aku berhenti melangkah. Aku melihat pintu kelasku sudah terbuka lebar. Ku lirik jam tangan kesayanganku di tangan kiriku. Pukul 05.45. Aku tertegun. Siapa gerangan yang sudah tiba di kelas di pagi yang masih buta begini?
Aku melanjutkan langkahku yang dipenuhi rasa penasaran. Pikiranku melayang memikirkan siapa anak-anak yang rajin datang pagi di kelasku. Well, sudah pasti aku tidak tahu. Aku kan tidak pernah datang ke sekolah pagi-pagi!
Ketika melewati jendela, aku sempat melihat sekilas sebuah sosok lelaki sedang duduk di meja guru. Aku menundukkan kepalaku. Kok mirip Zafran ya? Nggak mungkin lah ya. Ilusi doang kali, gara-gara kepikirannya dia mulu sih!
Ketika berada di ambang pintu, aku mendongakkan kepalaku. Tiba-tiba tubuhku secara otomatis berhenti disertai dengan mataku yang membulat ketika menyadari orang yang berada di meja guru tersebut. Mulutku tertutup rapat. Tote bag-ku yang berisi baju olahraga hampir terjatuh. Dan jantungku sudah berdegup tak karuan. Dia.. tersenyum.
***
Aku tetap berada dalam posisi berdiri mematung di ambang pintu selama kira-kira 5 menit. Aku masih tidak percaya dia yang ada di meja guru itu. Iya, dia orang yang memenuhi otakku terus. Dia yang menjadi pusat pikiranku dalam beberapa hari ini, yang selalu mengganggu tidurku.
Ya, Muhammad Hanif Zarfan Ardika. Dia yang ada disana, terduduk di kursi guru dengan hp di tangannya. Menatap mataku dalam-dalam sambil tersenyum menawan. Oh tidak, kalau begini terus kesehatan jantungku bisa menurun drastis!
Aku membuang muka dan berjalan cepat ke arah mejaku. Aduh, apa yang harus aku lakukan?!
"Tumben dateng pagi," tiba-tiba ia menyapa dengan lembut sambil terus menatapku. Hei jantung, calm down!
Aku menoleh, lalu menguraikan senyuman untuk menutupi kegugupanku. "I-iya kepagian!" ucapku perlahan lalu kembali menunduk. Untung aku orang yang gak gampang blushing! Bisa malu aku!
Aku menaruh tasku diatas meja, lalu duduk di kursiku. Kini aku duduk lurus menghadapnya. Apa yang harus aku lakukan? Ini pertama kalinya kita ngobrol face-to-face bro! Apa aku harus mencari bahan obrolan? Tapi apa?
Aku sering mencuri-curi pandang padanya. Sepertinya dia sedang bingung atau mungkin sedang mencari topik pembicaraan?
Karena merasa keadaan ini sangatlah awkward, aku mengambil hpku dari dalam tas lalu beranjak pergi meninggalkan kelas. Mungkin aku memang harus pergi dari kelas ini agar dapat menetralkan detak jantungku.
Ketika melewati jendela kelas, aku menoleh sedikit dan melihat dia sudah kembali mengutak-atik hpnya. Tetapi aku bisa melihat wajahnya sedikit menampakkan kekecewaan.
Aku berjalan menyusuri koridor lalu berhenti di depan kelas X IPA-3. Aku bersender di dinding balkon koridor sambil menikmati angin sejuk yang berseliwiran. Yah, angin ini lumayan bisa mengangkat beban-beban dipikiranku saat ini. Kecuali peristiwa langka tadi yang terekam jelas di kepalaku. Otakku terus memutar kejadian itu berulang-ulang. Aku sedikit menyesal, kenapa aku tadi meninggalkan kelas? Kenapa aku tidak membiarkan obrolan face-to-face pertama kami berjalan lancar?
"Hai, Jingga! Kok disini?" tanya seseorang sambil menepuk pundakku.
Aku menoleh, melihat Dhisa dengan tas ransel yang masih tersampir di bahunya. "Hai, Dhis! Nggak apa-apa, di kelas masih kosong. Dhisa ngapain disini?" ujarku panjang.
"Hiih Jingga, ini kan kelasku!" ucap Dhisa jengkel.
"Oh iya ya! Hehe," ucapku malu sambil nyengir lebar.
"Ya udah aku masuk dulu ya, Ngga!" ujar Dhisa sambil menunjuk ke arah pintu kelasnya.
Aku mengangguk dan mengangkat jempol kananku. Ku lirik jam tangan kesayanganku, pukul 06.05. Apa aku balik ke kelas sekarang? Pasti sudah banyak orang yang datang, jadi kejadian awkward tadi pun nggak akan terulang.
Aku berjalan kembali menuju kelasku. Berharap sudah banyak orang yang datang dan tentunya berharap ada Febby. Dan luckily, harapanku terkabul.
***
a/n
haihaloo! maaf kalo chapter ini jelek, gapenting banget, dan ga memuaskan semoga kalian suka yaa:) ditunggu votes and commentsnya yaa!
4.7.14
-jenjen
KAMU SEDANG MEMBACA
Intricate
Fiksi RemajaSemua berawal dari tatapan matamu waktu itu. Tatapan mata yang sulit dideskripsikan. Tatapan mata yang membuat kita dekat seperti saat ini. Semua berjalan baik-baik saja, hingga sebuah fakta datang padaku. Sebuah fakta yang ku akui, menyedihkan. Seb...