Chapter 12

586 37 1
                                    

"Jingga?!"

Aku melompat kecil, tersentak. Lalu mengerjap beberapa kali ketika merasakan cahaya lampu ruang makan yang memasuki retinaku.

Setelahnya, aku mengeluh kesakitan akibat kakiku yang terpentok kaki meja ketika melompat kecil tadi.

"Aduh! Sakit banget gile," keluhku sambil mengusap-usap kakiku.

Violet tertawa puas. "Sukurin tuh! Lagian sih, lagi makan malah bengong!"

Aku menatap Violet dengan tajam. Bukannya diobatin, malah diketawain. Dasar adek durhaka.

Tiba-tiba, Ayah bersuara. "Vio, nggak boleh kayak gitu sama kakakmu."

Aku tersenyum mengejek ke arah Vio. "Tuh, denger!" ucapku disertai juluran lidah.

Vio menunjukkan kepalan tangannya. Bunda yang melihat kejadian itu, langsung membuka mulut selebar-lebarnya sambil membulatkan kedua matanya.

Sebelum semuanya terjadi, Bunda harus mencegahnya.

"STOOOOP!"

Aku langsung memasukkan kembali lidahku ke dalam mulut, diikuti dengan Vio yang menurunkan kepalannya.

Aku dan Vio terdiam menatap kilatan marah di mata Bunda. Uh oh..

Sebelum Bunda meledak, Ayah mengambil alih. "Vio, minta maaf."

"Tapi Yah--"

"Min-ta ma-af," ulang Ayah penuh penekanan.

Vio menghela nafas dengan kesal. "Ya udah, maafin Vio!" ujarnya tak ikhlas sambil mengulurkan tangan kanannya.

Aku hanya bisa menahan tawa. Hal ini sudah sering terjadi diantara kami. Kalau aku yang disuruh minta maaf? Giliran Vio yang akan menahan tawa.

"Jingga? Adiknya udah minta maaf, tuh."

Aku mengerjapkan mata dua kali. "Eh? Iya dimaafin," jawabku lalu membalas uluran tangan Vio.

Vio mencengkram tanganku yang sedang menjabat tangannya. Sial, nyari masalah banget nih anak.

Aku menampakkan senyum jahilku. "Aduh, Vio. Jangan dicengkram dong, Kak Jingga 'kan kesakitan," ujarku dengan nada yang dibuat sejijik-jijiknya.

Ayah hanya menggeleng-geleng pelan melihat kelakuan kami, begitu juga dengan Bunda.

"Anak siapa sih ini? Bandel banget," sindir Bunda.

Ayah mengangkat kedua alisnya. "Ck ck.. Ibunya gimana sih ini?"

Bunda yang merasa terpanggil menoleh. Sebelum Bunda mencerocos panjang lebar, Ayah terlebih dulu melanjutkan.

"Pasti cantik banget."

Bunda langsung memukul-mukul paha ayah berulang kali dengan muka yang merah padam. Aku dan Vio tertawa dibuatnya.

"Ayah jangan godain Bunda deh! Ini 'kan lagi ngurusin masalahnya Jingga!" ujar Bunda sambil cemberut yang membuat Ayah menjawil dagunya.

Ayah mengangkat kedua tangannya ketika melihat pelolotan Bunda. "Oke, oke. Silahkan dilanjutkan, Nona."

Wajah Bunda beralih padaku. "Nah, Jingga. Kenapa tadi bengong, nak?"

Aku tergagap. "E-Eh? Bengong? Enggak tuh, Bun.."

"Jelas-jelas tadi Kakak bengong kok! Liat aja, makanan Ayah, Bunda, sama Vio udah abis. Punya Kakak? Baru 2 suap!" cerocos Vio panjang lebar.

Aku mengalihkan pandangan ke arah piring-piring makan yang berada diatas meja. Semuanya tinggal tulang ayam saja! Kecuali, punyaku.

Eh? Apa iya, aku ngelamun selama itu?

IntricateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang