Chapter 20

457 35 19
                                    

Sudah hampir 2 minggu Febby menjauhiku. Kalau dulu ia masih membalas sapaanku, kini ia terang-terangan untuk berpura-pura tidak mendengar dan membuang muka terhadap sapaanku. Dan ini membuatku kesal.

Selama hampir 2 minggu ini, aku menjadi lumayan dekat dengan Kiera dan Rissa. Mereka berdua juga mengenalkanku kepada beberapa temannya, agar aku tidak merasa kesepian. Well, mereka memang sangat baik. Namun, tentu rasanya berbeda antara mengobrol dengan teman yang baru, dengan teman lama.

Ya, teman lama.

Tapi sungguh, aku benci sikap Febby yang sekarang. Aku tidak marah jika ia bosan denganku. Aku juga tidak masalah jika ia ingin berteman dengan yang lain. Itu memang bukan hal yang patut dipermasalahkan, bukan?

Masalahnya, kenapa ia menjauhiku? Kalau ia bosan denganku, kita bisa membicarakan ini baik-baik, bukan? Dan kalau dia ingin berteman dengan yang lain, memangnya ia tidak bisa mengajakku juga? Maksudku, alasannya apa? Tidak jelas.

Aku sudah mencoba untuk mengajaknya ngomong baik-baik lewat bbm. Namun hasilnya tetap saja, nihil. Ia tidak membalas bbmku, atau kalau pun membalas paling ia hanya mengatakan kalau hpnya sedang low-battery. Lalu ketika ia muncul di grup bbm kelas dan aku menyuruhnya untuk membalas bbmku, ia akan mengatakan kalau personal bbm chat-nya sedang error.

Jangan suruh aku untuk mengajaknya ngomong secara empat mata. Sudah cukup sekali aku melakukannya, dan sudah cukup sekali aku diabaikannya. Namun, memang tidak ada cara lain yang lebih efektif selain mengajaknya berbicara langsung.

"Halo, Jingga!"

Aku mendongak, mendapatkan Kiera yang sedang duduk manis di kursinya. Aku tersenyum sekilas lalu melambaikan tanganku. Aku berjalan menuju kursiku yang berada tepat di sebelah Kiera, lalu menaruh tasku di atas meja. Kemudian, aku duduk dan menyenderkan punggungku pada sandaran kursi.

Aku memejamkan mataku perlahan. "Hm, ngantuk," gumamku pelan.

"Kebo dasar!" Kiera mencibir. Setelahnya, aku dapat mendengar suara tawanya yang membuatnya terlihat kekanak-kanakan.

Aku tersenyum kemudian terkekeh pelan, masih dengan mata yang tertutup. Aku sama sekali tidak berniat untuk membuka mataku. Aku masih amat-sangat ngantuk.

Ketika aku sudah hampir tiba di alam bawah sadarku, sebuah suara gelak tawa dari luar kelas membuatku kembali tersadar. Suara gelak tawa itu. Suara gelak tawa yang sudah tidak pernah mampir lagi di kehidupanku.

Suara gelak tawa seorang Febby.

Ku akui, aku merindukannya. Aku merindukan saat-saat kami bersama. Aku merindukan saat-saat kami bercanda, tertawa. Aku merindukan saat-saat Febby sibuk mengoceh tentang Zafran. Aku merindukannya, aku merindukan Febby.

Aku mengangkat kedua kelopak mataku ketika suara gelak tawa Febby terdengar semakin jelas, diikuti oleh suara derap langkah kaki mendekat. Tak lama, Febby muncul dari balik pintu bersama Anggi dan Hannah. Mereka bertiga tampak amat akrab, dan itu membuatku iri.

Aku menunduk dalam. Sungguh, kenapa sekarang aku jadi merasa bersalah? 'Kan bukan aku yang menjauhi Febby, Febbylah yang menjauhiku.

Entahlah. Tapi aku ingin meluruskan masalah ini secepatnya. Se-ce-pat-nya.

***

Entah ini perasaanku saja atau apa, tapi aku merasa bahwa sedaritadi Zafran terus memerhatikanku. Dan hal tersebut tentu membuatku menjadi sering salah tingkah.

Hari ini aku menjadi seperti orang bodoh yang sedikit-sedikit bengong. Hari ini juga, aku menjadi sangat ceroboh. Beberapa kali, aku menumpahkan minumku. Tak hanya itu, aku juga tanpa sadar berbicara sendiri. Dan itu membuatku sangat takut, jikalau aku malah ngomong yang tidak-tidak.

IntricateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang