Lima : Rupa

2K 104 0
                                    

Sesampainya di rumah, Ariana begitu terkejut melihat Kala yang berjalan dengan bantuan Juna. Perempuan paruh baya itu segera mengamit lengan kiri Kala yang bebas. Ia membantu gadis itu untuk segera masuk ke dalam kamarnya.

"Kok jadi sakit? Kenapa nggak ijin pulang tadi?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ariana dapat Kala dengar, tapi ia merasa tidak punya cukup tenaga untuk menjawab.

"Ma, biarin Kala istirahat dulu aja. Tadi aku mau bawa ke dokter, Kala masih nolak." Juna menjawab seadanya, melihat Kala yang sesekali mengernyit sakit membuat Juna semakin merasa iba.

Ariana mengangguk, ia mengelus puncak kepala Kala dan menatap prihatin pada anaknya itu. "Mama ambilin kompres dulu ya, kamu tidur aja. Nanti Mama bantu gantikan bajunya."

Kala mengerjapkan matanya, kemudian memilih untuk benar-benar memejamkan matanya untuk tidur.

"Buatin bubur juga bisa nggak, Ma? Aku yakin dia belum makan." Ariana tersenyum kemudian mengangguk.

"Iya, nanti Mama buatin sekalian. Mau kasih kompres dulu, kasian itu demamnya lumayan tinggi."

"Iya, Ma. Oh iya, Juna mau izin rapat OSIS di sekolah dulu. Pulangnya agak malam ya," ucap Juna untuk berpamitan dengan Ariana.

"Iya, hati-hati."

Juna tidak lupa jika ia memiliki janji untuk rapat hari ini, ia bahkan sudah berkali-kali dihubungi oleh wakilnya. Satu tahun menjabat, baru kali ini Juna ingkar dengan janjinya. Lantas dengan cepat, lelaki itu melajukan mobilnya untuk kembali ke sekolah. Setidaknya ia sudah lebih tenang jika Kala berada di rumah.

Ariana yang kini tengah berada di kamar Kala tak habis akal untuk membujuk gadis itu agar segera menghabiskan bubur yang ia buat. Baru tiga suapan, Kala sudah tidak ingin memasukkan apapun ke dalam mulutnya.

"Yasudah, Mama taruh disini aja ya. Kalau lapar misscall Mama aja, nanti Mama bantu suapin." Ariana memperbaiki selimut yang menutupi sebagian tubuh Kala.

Wanita itu kemudian memeras handuk yang baru saja ia celupkan ke dalam air hangat. Tangannya dengan cekatan menghapus peluh yang bercucuran di kening Kala. "Muka kamu sejak kapan merah-merah begini? Kamu alergi?"

Kala menggeleng. "Nggak, Ma... Kala bahkan nggak sadar di muka kala ada apa aja."

"Badan kamu sakit semua? Tadi waktu Mama bantu ganti baju kok merah-merah bahkan ada yang biru gitu?"

Kala terdiam, ia tidak tahu menahu tentang sebagian tubuhnya yang lain ternyata ikut memiliki ruam. "Kemarin, Kala coba buat balet lagi."

Usapan Ariana terhenti, ia memanda wajah Kala dengan tatapan yang sulit diartikan. Mata Kala memancarkan kilatan rindu yang begitu besar. "Kamu kangen sama Bunda, ya?" Ariana bertanya kemudian.

Kala mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Kalau sudah sehat, nanti kesana ya. Jenguk Bunda, kalau nggak keberatan nanti Mama ikut juga temani kamu." Sambungnya kemudian, wanita paruh baya itu lantas keluar kamar dan membiarkan Kala berada di dalam untuk beristirahat.

***

Sepulang kerja, Dhika juga masuk ke dalam kamar Kala untuk melihat keadaan putrinya. "Masih sakit?" tanyanya ketika melihat Kala yang sudah terbangun dari tidurnya.

"Udah mendingan kok, Pa." Jawabnya kemudian, Kala memperbaiki posisinya menjadi setengah duduk.

Dhika mengelus wajah kuyu milik Kala dan mengusap puncak kepalanya, setelah itu mengecup sayang dahi milik Kala. "Jangan sakit ya," anggukan yang berasal dari Kala membuat air mata Dhika ingin menetes. Betapa ia merindukan hari-hari dimana Kala masih bisa selalu lelaki itu peluk dan cium setiap waktu.

"Papa harus pergi ke luar kota dua hari lagi, kamu harus cek ke dokter besok, ya?" Kala yang masih berada di pelukan Dhika menggeleng. Wangi stroberi yabg menguar dari rambutnya menggelitik penciuman lelaki paruh baya itu.

"Kala nggak mau ke rumah sakit. Bau."

Dhika tertegun, ia menyadari jika Kala sangat membenci rumah sakit, ia kehilangan ibunya, kemudian beberapa tahun kemudian Omanya pun pergi menyusul ibunya. Tidak tanggung-tanggung Opa juga menyusul ibu dan Omanya ke surga setelah beberapa bulan kemudian. Gadis itu, hampir tidak pernah menjejakkan kaki di rumah sakit setelah bertahun-tahun kehilangan.

"Ya sudah, kalau besok masih belum baikan sekolahnya ijin aja ya? Biar nanti titip surat ke kak Juna." Gadis itu mengangguk cepat, tanpa merubah posisinya sedikit pun.

***

"Ma, aku harus mewakili sekolah. Kali ini ke Sydney." Jian yang kini tengah berada di meja makan bersama dengan Juna dan Ariana membuka pembicaraan.

"Kapan?" tanya Ariana setelah memusatkan perhatiannya apda di bungsu.

"Lusa. Dan harus membawa wali atau orang tua."

Saat bersamaan, Dhika keluar dari kamar Kala dan mendengar pembicaraan yang tengah terjadi di ruang makan.

"Ada apa?" tanyanya tenang, sembari menarik kursi untum segera duduk dan membaur diantara ketiganya.

"Ini, Jian harus ke Sydney dan wajib didampingi orang tua atau walinya."

Dhika mengangguk mahfum. "Kalau ditemani Juna nggak mungkin, karena dia sudah kelas 3 dan harus fokus sekolah. Papa harus ke luar kota dua hari lagi. Kamu harus berangkat kapan?"

Jian menelan sisa makanan yang masih berada di dalam mulutnya. "Dua hari lagi, Pa."

"Sama Mama aja, nggak apa-apa?" Jian mengangguk, Juna hanya memperhatikan dibalik diamnya. "Berarti Juna harus berdua di rumah sama Kala." Lelaki yang sedari tadi hanya menyimpan suaranya di dalam hati itu, kini mengangguk.

"Iya, Pa."

Sebenarnya Dhika tidak mudah membuat keputusan seperti saat ini. Mau bagaimana pun, Juna dan Kala masih perlu dampingan dari orang tuanya. Tetapi masalah perusahaan yang membuat Dhika harus segera turun tangan, membuat ia tidak bisa membagi waktu untuk anak-anaknya. Ariana tidak banyak bicara, wanita itu akan dengan senang hati menemani putranya.

"Ya sudah, ayo lanjut makannya." Dentingan suara sendok dan piring memecah keheningan rumah itu.

Juna sibuk dengan pikirannya sendiri, ia tidak pernah merasa sekosong ini. Papa dan Mamanya kini punya prioritas lain, jauh lebih penting daripada ia dan Kala. Tetapi, Juna juga tidak bisa egois, masa depan perusahaan dan nama baik sekolah yang Jian bawa juga merupakan tanggung jawab yang besar. Ia hanya mampu berdoa, semoga tidak ada kesulitan di depannya.

Mama Ariana

Mama Ariana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Papa Dhika

Papa Dhika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang