Lima Belas : Masa Depan

1.1K 72 0
                                    

"Ngomong-ngomong kalian udah mikirin mau kuliah apa?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Diandra membuat Kala terdiam. Semenjak ia divonis penyakit auto imun, tak sedetik pun ia memikirkan tentang masa depan. Sepertinya Kala sudah memendam semua cita-citanya.

Seharian ini ia tak berminat untuk melakukan apapun, ketika sampai di rumah pun ia tak menutup mata sedetik pun. Pikirannya terus menerus berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Ia mengusap gusar wajahnya, kemudian memilih untuk duduk di atas tempat tidurnya. Ia lantas melangkahkan kaki ke kamar yang berada tepat di sampingnya. Kamar Arjuna. Sudah berhari-hari pintu pelitur cokelat itu tertutup rapat. Kala tahu jika ujian memang sudah di depan mata dan kakaknya itu selalu berusaha menjadi yang terbaik.

Ia mengetuk pelan pintu kamar Arjuna. Hingga tiga kali ketukan, akhirnya pemuda dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya itu membuka pintu sembari memberikan senyum padanya.

"Kenapa?"

"Mau main, di kamar kakak boleh?" tanya Kala setelah ia menerobos masuk kamar Arjuna.

Lelaki itu menggeleng, ia tidak keberatan sama sekali. Hanya saja, heran pada Kala yang baru meminta ijin tetapi sudah menerobos masuk kamarnya. Arjuna memilih duduk di kursi belajarnya, sedangkan Kala ia sudah memonopoli tempat tidur Arjuna yang sebelumnya terlihat rapi.

"Kak... kira-kira aku bisa jadi apa ya?" pertanyaan yang sudah mengganggunya sejak tadi akhirnya terlontar begitu saja.

Sembari menatap langi-langit kamar Arjuna matanya mengawang. Lelaki itu menatap Kala, menyingkirkan setumpuk buku yang membuatnya muak. "Kamu bisa jadi apa aja, yang sesuai sama mau kamu."

"Kakak keren banget, mau masuk kedokteran."

Arjuna tersenyum miris, tanpa terlihat oleh Kala. "Kan belum pengumuman."

"Tapi, Kala yakin kakak bakal lulus."

Ia mengacak pelan rambut Kala, kemudian menatap manik mata cokelat milik gadis itu. "Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"

Kala mengembuskan napasnya, ia merasa tidak akan bisa melanjutkan hidup ke depannya. "Aku sakit kak, jadi apa mungkin punya cita-cita?"

"Mungkin aja. Semua orang berhak punya cita-cita, kan? Kata pepatah, gantungkan cita-citamu setinggi langit."

"Kalau jatuh sakit kak, lagian aku bukan bidadari yang jatuh dari langit."

Senyum Arjuna terbit begitu saja. "Ya bukan begitu maksudnya, kamu berhak punya cita-cita yang setinggi langit. Cara mencapainya itu usaha, setiap usaha kita bagaikan tangga supaya kita bisa mencapai cita-cita itu. Kalau misal kita gagal, kita nggak jatuh sampai bawah. Kita masih jatuh ditangga-tangga yang kita buat. Kita nggak akan terpuruk."

Mata Kala kini berganti menelisik pada wajah Arjuna yang justru terlihat suram. "Kak... tapi jatuh di tangga bisa buat cedera loh."

Arjuna sedikit terhibur karena pertanyaan Kala yang tidak pernah ia duga sebelumnya. "Ya nggak apa-apa cedera sedikit yang penting nggak langsung pasrah kalau kamu bakal gagal."

"Aku tadi ditanyain sama Diandra, udah mikir tentang kuliah atau belum. Sampai hari ini, aku cuma mikir apa besok masih bisa buka mata? Apa besok aku masih bisa lihat keluarga aku? Atau... justru besok adalah hari terakhir aku hidup?"

Mata Arjuna melebar, ia merasa sedih atas pemikiran adiknya itu. "Kenapa kamu nggak pikirin yang baik-baik aja?"

"Karena pikiran baik cuma jadi harapan buat aku kak."

Lelaki itu lantas mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu di mesin pencarian otomatis. "Nih, kamu pasti tau kan dia siapa?"

Kala mengangguk ketika melihat wajah Selena Gomez ditampilkan pada ponsel kakaknya itu. "Tau."

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang