Dua Puluh Empat : A Beam of Light

1.1K 79 4
                                    

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Kala, jika hari ini akan terjadi. Hari dimana tak ada satu pun yang menganggapnya ada di rumah ini. Dua hari berlalu sejak Arjuna memilih untuk keluar dari kamar Kala. Ia berdalih jika ingin fokus belajar karena ujian masuk universitas sudah di depan mata. Namun Kala pun sadar jika semua hanya sebuah omong kosong, nyatanya Arjuna tidak benar-benar belajar. Pemuda itu bahkan menghabiskan waktunya di depan televisi atau bercengkrama dengan Jian.

Jika berpikir Kala tidak berusaha mendekatkan diri, tentu saja salah. Ketika Kala mendekat Arjuna dan Jian diam tidak lagi berbicara. Atau jika Kala menanyakan perihal sesuatu mereka hanya menjawab seadanya. Lebih-lebih ayahnya yang bahkan tidak mengajaknya bicara sama sekali. Hanya saja, Ariana yang melihat Kala prihatin, wanita itu masih sering mengajak Kala bicara tapi intensitasnya mulai berkurang. Kala sadar akan semua kesalahan yang ia buat, namun di lubuk hatinya memberontak. Seakan berkata apa ia memang sepantas itu untuk mendapat perlakuan yang seperti ini. Pertanyaannya tidak terjawab hanya perlakuan yang membuat Kala semakin merasa bersalah.

Ponselnya bergetar ketika ada satu pesan masuk, sudah lama sekali rasanya Kala tidak mendapat pesan dari orang lain.

Omar
Besok mau keluar? Ada yang perlu aku bicarain.

Kala
Jam berapa?

Omar
Jam 5, mataharinya sudah nggak terik

Kala
Oke

Omar
Aku jemput besok

Kala
Oke

Terhitung sudah lebih dari sepuluh kali Kala melenguh karena tubuhnya demam malam ini. Ia sudah berusaha meminum obat hingga menaikkan dosisnya. Hanya saja, tidak ada pengaruh yang positif di tubuhnya. Mungkin terlalu banyak pikiran hingga membuat daya tahan tubuh Kala menjadi semakin lemah. Tidak berselang lama, mata Kala memberat, ia tertidur atau bahkan pingsan di malam yang sepi ini.

Nyatanya Kala masih menemukan dirinya bergulung di dalam selimut ketika membuka mata, gadis itu bersyukur karena demamnya sudah turun. Walau menyisakan linu di bagian kakinya, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan keluarganya. Walau tertatih dan nyaris terjatuh, Kala berusaha mencapai pintu toilet untuk membasuh wajahnya. Sinar matahari yang masuk dari celah jendela membuatnya enggan membuka tirai. Ia masuk ke dalam toilet dan memperhatikan wajahnya yang sedikit membengkak.

"Kala, sudah bangun?" Suara dari luar menyadarkan Kala di lamunannya.

Ariana mengetuk pintu kamar Kala, mengajak anak gadisnya untuk berkumpul di ruang makan. "Sudah, Ma. Sebentar!" Kala sedikit berteriak ketika menjawab, alhasil tenggorokannya cukup sakit.

Lagi-lagi Kala menemukan meja makan yang sudah kosong. Hanya ada Ariana yang menunggu Kala di tempat itu. "Yang lain sudah berangkat ya, Ma?"

Kala duduk di kursi dengan perlahan, ia mencoba berjalan senormal mungkin agar Ariana tidak bertanya tentang kondisinya. "Iya, tadi Kak Juna juga pamit ke toko buku dulu. Mau beli buku soal katanya."

Gadis itu mengangguk, melihat hidangan yang diberikan padanya. Bosan. Jika mengakhiri hidup tak berdosa, Kala pasti sudah meyakinkan diri untuk segera pergi dari dunia ini. Semua makanan yang masuk ke mulutnya terasa hambar, ia tidak bisa menolak maupun rasanya sudah begitu mual karena rasa makanannya yang selalu monoton. Ariana sudah beranjak meninggalkan Kala sendiri di meja makan. Tanpa disadari, air mata Kala menetes. Ia merasa kesepian dan rasa bersalah semakin menyelimuti dirinya.

***

Seharian hanya Kala habiskan di dalam kamar setelah selesai belajar, gadis itu tidak ingin berinteraksi pada semua orang di rumah ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30. Kala dengan segera bangkit dan bersiap untuk datang ke tempat dimana Omar menunggunya, Kala meminta agar pemuda itu tidak menjemputnya di depan rumah. Gadis itu mengabaikan rasa tidak nyaman yang mendera sejak tadi. Ia lebih memilih untuk mencari pakaian yang akan digunakan. Setelah selesai, Kala dengan segera keluar dari kamar. Nasibnya mungkin sedang tidak mujur, Ariana berada di ruang tamu bersama dengan Jian juga Juna. Melihat Kala berdandan rapi, tentu saja mengundang pertanyaan.

"Mau kemana?" Pertanyaan itu tentu saja dari Ariana, Arjuna dan Jian hanya memperhatikan gerak gerik Kala.

"Mau ketemu temen, Ma."

Ariana mengangguk, ia pun sejujurnya kesal dengan sikap Kala yang tidak memikirkan kesehatannya. Tetapi ia juga tidak punya hak mengurung Kala di rumah. Ia juga ingin Kala berinteraksi dengan dunia luar, apalagi pasca gadis itu memutuskan untuk home schooling emosi Kala seperti tidak bisa dikontrol.

"Jangan makan yang aneh-aneh, ya." Ariana hanya berpesan, tetapi Kala merasa tatapan Jian dan Arjuna sama sekali tidak bersahabat. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban atas peringatan yang diberikan Mamanya.

"Temen siapa juga? Bukannya lagi nggak punya teman, ya?"

Langkah kaki Kala terhenti, ia baru beberapa langkah meninggalkan ruang keluarga. Namun, rasanya omongan Arjuna menusuk hingga hati Kala menjadi sakit. Gadis itu memilih untuk tidak menjawab, ia berhenti selama beberapa detik menunggu kira-kira siapa yang akan membelanya. Tapi harapannya pupus, tak ada satu pun yang bersuara. Kala kembali berjalan, kali ini lebih cepat dari yang sebelumnya. Berusaha menulikan telinga juga memupuk kepercayaan dirinya kembali.

Omar terlihat menunggu di bawah pohon yang berjarak dua rumah dari kediamannya. Ia memberikan senyum ketika Kala datang dengan wajah yang terlihat suram. Jika boleh jujur, Omar merindukan gadis yang sekarang tengah mengatur napasnya. Bibir pucat yang sekarang tengah tertutup liptint tak menyembunyikan gurat lelah Kala.

"Gue harusnya emang jemput lo di rumah, kan?"

"Nggak, gue cuma abis dikejar kodok."

Omar tertawa, ia bahkan tidak memperhatikan wajah Kala yang terlihat lebih suram. "Yaudah, yuk naik aja."

Gadis itu mengangguk, ia hanya ingin menjauh dari rumah yang sekarang tak ada bedanya dengan penjara. Walau tidak seutuhnya Kala dikurung, hanya saja suasananya tidak membuat Kala nyaman lagi.

Omar berhenti di sebuah taman bunga, wajah Kala yang sebelumnya muram kini terlihat sedikit lebih ceria. Ia dengan semangat berlarian kesana kemari memotret bunga-bunga yang tengah mekar. Bucket hat-nya melindungi dari matahari di sore ini.

"Ntar capek, yuk duduk dulu disana." Omar menunjuk satu bangku yang berada di bawah tiang berhias bunga. Kala mengangguk antusias, ia bahkan lupa jika sebelumnya tengah bermusuhan dengan pemuda ini.

Setelah beberapa saat, Kala yang membuka pembicaraan. "Maaf." Helaan napasnya terdengar cukup berat di telinga Omar. "Maaf gue selalu jadi orang yang egois. Gue nggak pernah sadar kalau kalian selama ini selalu menjaga gue."

Omar menatap manik mata Kala yang terlihat lelah, tak ada ragu di matanya. Bahkan sejak saat itu, saat mereka tahu bahwa Kala selama ini berbohong. Omar merasa ia ikut andil dalam hancurnya Kala, ia tidak pernah membenarkan hal yang terjadi. Pemuda itu justru mendukung dan membantu dalam pelaksanaannya.

"Gue juga seharusnya minta maaf sama lo, gue ngerti kalau kita emang kecewa. Tapi dengan ninggalin lo, sebenernya nggak ada keuntungan buat kita, ngeliat lo menderita jujur gue ngerasa sedih dan ikut sakit juga. Apalagi setelah lo mutusin buat keluar dari sekolah, gue ngerasa kehilangan teman yang sejalan sama gue."

Kala tertegun mendengar penuturan Omar. Ia sangat jarang mendengar pemuda ini bicara panjang lebar seperti ini.

"Jadi kita baikan ya," Kala mengangguk senang, ia menaitkan jemari pada kelingking Omar.

Bagi Kala, satu orang yang kini berada di sisinya begitu berarti. Ia tidak ingin Omar lagi-lagi menjauh, walaupun tak sampai hati ia berbicara tentang Arjuna dan keluarganya. Gadis itu seperti menemukan seberkas cahaya di ruang gelap miliknya.

----
19 November 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang