Sebelas : Misery

1.4K 87 0
                                    

"Jadi, setiap kelas wajib mengirimkan perwakilan untuk setiap cabang lomba." Baru saja perwakilan dari anggota osis selesai menyampaikan perihal lomba di kelas Kala. Satu persatu siswa mulai riuh karena begitu bersemangat mengikuti Pekan osis kali ini. Pasalnya, masa bakti periode Arjuna akan berakhir dalam waktu dekat. Entah bagaimana, hampir seluruh warga sekolah menyukai periode kali ini.

Lamunan Kala buyar ketika salah satu temannya memanggil namanya. "Kal, lo ikut padus bisa? Gue denger suara lo cocok juga."

Lama gadis itu berpikir, tapi ia lantas mengangguk. Ia sangat yakin jika ia mampu melewati latihan demi latihan yang akan dihadapi. Ia tidak ingin menyerah dengan penyakit yang selalu ia idap seumur hidup ini. "Gue mau."

"Lo yakin nggak apa-apa?" Diandra membuka suara setelah Kala menyelesaikan pembicaraannya.

Gadis itu mengangguk, kemudian tersenyum sumir. "Gue sehat."

Dalam hatinya pun ia ingin mengikuti banyak hal, fashion show, dance, dan kegiatan fisik lainnya. Tetapi, karena Kala menyadari betapa banyak kurangnya ia saat ini dan tidak ingin kembali menyulitkan banyak orang ia harus menahan itu semua. Diandra menggenggam jemari Kala yang berada di atas meja. "Gue dukung, asal lo jaga diri." Hanya itu pesan yang Diandra berikan hari ini.

"Mundur aja, Kakak nggak mau kamu sakit lagi." Arjuna mulai kesal ketika melihat nama Kala berada di urutan awal paduan suara kelasnya. Tentu saja, beberapa hari yang lalu adiknya baru saja divonis mengidap lupus. Saran dari dokter, ia harus menjaga dirinya supaya tidak terlalu lelah. Kegiatan ini tentu akan menyita waktu dan tenaga Kala.

"Memang aku punya kesempatan buat sembuh? Setahu Kala, penyakit ini akan terus ada. Obat hanya penunjang supaya nggak sering kambuh, kan?"

Arjuna nyaris kehilangan kata-kata setelah mendengar kalimat pertama yang dikatakan Kala. "Kamu selalu punya kesempatan itu."

"Kakak itu pintar, Kala yakin kalau Kak Juna pun paham apa yang terjadi sama Kala. Lagipula, Kala bisa jaga diri, janji nggak bakal kecapekan."

Wajah memelas Kala yang membujuk Arjuna masih belum bisa meluluhkan hati lelaki yang kini tengah sibuk memegang kendali mobil. "Kita ngomong di rumah aja."

Sesampainya di rumah, Kala tidak lagi bersemangat. Pasalnya setelah ia membujuk Arjuna, lelaki itu justru marah karena menilai Kala terlalu pesimis dan menyia-nyiakan kesempatan yang diberi oleh Tuhan.

"Aku pulang!" bukan suara Kala, melainkan Arjuna yang memasuki rumah dengan cepat. "Ganti baju, terus turun makan." Ia berbicara pada Kala yang masih sibuk melepas sepatu.

"Hm."

Sesampainya di kamar, gadis itu tidak mengindahkan instruksi dari Arjuna. Ia lantas berbaring di atas tempat tidur tanpa mengganti seragam. Matanya tertumbuk pada tumpukan obat yang sejak kurang lebih satu minggu sudah berteman baik dengannya. Hela napasnya terdengar putus asa, bukan ia tidak percaya Tuhan. Hanya saja, ia terlalu yakin jika takdirnya memang semenyedihkan ini.

"Kal..., sudah selesai ganti baju belum? Nanti langsung makan ya, nak." Suara Ariana dibalik pintu menyadarkan Kala ia tengah berada di tengah realita kehidupannya.

"Iya, Ma," ucapnya kemudian, sembari mengganti baju seragam yang memang seharusnya sudah masuk ke tumpukan pakaian kotor.

Makan siang kali ini tidak seperti hari lainnya, makanan yang disajikan tentu saja sayur mayur sesuai dengan ketentuan yang harus Kala makan. Tanpa pembicaraan dari Arjuna yang biasa memenuhi ruangan.

"Kalian marahan?" tanya Ariana ketika melihat kedua anaknya diam dan tak lagi berinteraksi seperti sebelumnya. Perempuan itu menjadi tak biasa melihat peristiwa ini, padahal sudah bertahun-tahun mereka hidup dalam keadaan yang seperti itu.

"Nggak."

"Iya."

Jawaban serempak dari Arjuna dan Kala membuat Ariana menjadi semakin yakin jika ada yang disembunyikan oleh kedua anaknya ini.

"Nggak ma, Kala lagi males ngomong paling." Arjuna menimpali, kemudian memasukkan makanannya ke mulut.

"Kala mau ikut pekan osis, lagian cuma padus. Tapi nggak dibolehin sama Kak Juna." Gadis itu lantas bercerita tentang kekesalannya.

Air mata Kala tiba-tiba saja sudah berkumpul di pelupuk matanya. Ariana yang menyadari pertama kali lantas berpindah posisi di samping Kala. "Loh kenapa? kok malah nangis."

Air mata Kala justru menderas ketika mendengar pertanyaan ibunya. "Mau partisipasi, Ma. Sampai kapan pun Kala memang penyakitan, kan?"

Arjuna memperhatikan adiknya yang tengah menangis, ia pun sedih tapi lelaki itu tak mau ambil resiko untuk kesehatan Kala. "Pulih dulu lah, kalau masih begini mana bisa ikut partisipasi."

"Jun...," Ariana menenangkan putranya yang terlihat emosi. Ia mengusap lembut lengan Arjuna yang berada di atas meja.

"Kapan sih, Kak? Ini badan Kala, Kak. Kala tahu kapasitasnya, Kala bisa berpikir saatnya istirahat itu kapan, lagipula ini nyanyi aja. Kala bukan ngelakuin aktivitas fisik yang berat," tutur Kala tak kalah emosi dari Arjuna.

Napasnya memburu, ia begitu kesal karena Arjuna yang melarang ia melakukan ini dan itu. Remaja lelaki itu memperhatikan Kala, tatapannya melembut. Tak lagi melihat gadis itu dengan luapan emosi. "Maaf," lirihnya kemudian. "Oke kakak setuju, asal kamu bener-bener jaga tubuh kamu."

Kala terisak kemudian, entah mengapa ia begitu emosional hari ini. Rasanya ingin menangis, Ariana mendekati putrinya dan memeluk gadis itu untuk menenangkan. "Ssst, sudah. Itu kak Juna udah minta maaf ya, Kala."

Anggukan Kala menutup pertengkaran siang ini. Walaupun niat Arjuna baik, Kala masih tidak bisa menerima kenyataan itu. Lagipula, selagi ia bisa menjaga diri semua akan baik-baik saja.

***

Mata Arjuna menatap kalender yang berada di atas meja belajarnya. Terlihat dalam waktu tiga bulan ia akan melaksanakan ujian. Netranya menatap tumpukan buku yang sudah selesai ia kerjakan seluruh isinya. Niat hati ingin bersantai, tetapi otaknya tidak berpikir demikian. Lelaki itu lantas mengambil satu buku soal seri terbaru yang tiga hari lalu baru datang diantar seorang kurir.

"Lo bukan Jian. Lo nggak boleh santai Arjuna."

Satu persatu soal ia selesaikan dengan mudah, sudah lebih dari dua jam ia menekuri buku soal itu. Tengkuknya mulai lelah, matanya pun terasa perih dan panas. Ia bukannya tak sayang dengan tubuhnya, tetapi Arjuna takut gagal. Terlalu banyak kata gagal di hidupnya, ia tak mau menghapus keinginan keluarga yang bergantung padanya.

Lagi, ia mencoba satu soal. Namun tak sanggup, pening sudah menguasai kepalanya. Sungguh tubuhnya terasa lelah. Dengan berat hati, Arjuna menutup buku dan merebahkan tubuhnya. Lelaki itu terlelap bahkan tak menunggu waktu lama.

"Arjuna, terima kasih karena tidak pernah menyerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Arjuna, terima kasih karena tidak pernah menyerah. You did well."

29 Mei 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang