Dua Puluh Sembilan : Katanya, Darah Lebih Kental daripada Air

1.2K 85 0
                                    

"Besok kamu harus mulai cuci darah, kakak temenin sampai selesai ya?" Arjuna mengelus puncak kepala Kala sembari ia menyampaikan berita yang didapat dari dokter sore tadi.

"Iya kak."

Kala tidak bersemangat, pasalnya sejak pagi tadi ia menunggu kedatangan kedua orang tuanya tidak membuahkan hasil. Bahkan ponsel yang ia genggam sekarang tidak ada yang menghubungi. "Kamu istirahat aja, kenapa malah bengong?"

Kala terlihat gelagapan karena tertangkap basah sedang melamun. "Nggak kok, cuma Kala sedih aja Kak Juna jadi repot banget ngurusin Kala."

Pemuda itu tersenyum, ia berjalan mengitari brankar untuk mencari tempat duduk. "Siapa sih yang bilang Kak Juna tuh repot? Nggak sama sekali."

"Tapi—"

"Udah daripada kamu mikir yang nggak-nggak mending waktunya dipakai istirahat." Gadis itu mengangguk karena ia merasa tidak nyaman membuat Arjuna tidak memiliki waktu belajar.

"Selamat belajar, Kak. Semoga dimudahkan ya."

Bunyi ponsel Kala membuat gadis itu tak lantas memejamkan mata. Pesan dari Chandra dan Omar yang baru saja membuat grup baru. Tetapi gadis itu tidak berminat untuk membalas sekarang, rasanya sungguh sedih ia merasa tidak dipedulikan saat ini. Kala memilih untuk mematikan ponselnya dan memejamkan mata, walaupun ia sama sekali belum mengantuk. Namun keheningan membuat gadis itu akhirnya menyelami alam mimpi.

Pagi ini, Kala terbangun lebih cepat dari Arjuna. Pasalnya ia cukup gugup untuk menghadapi pengobatannya yang pertama. Berulang kali ia mencoba memejamkan mata dan berusaha tidak mengganggu istirahat Arjuna.

"Kal, sarapan dulu ya. Kata dokter tadi mau mulai cuci darah jam sembilan."

Sejak bangun tadi, pemuda itu tak berhenti mengerjakan sesuatu. Mulai dari mandi, membeli sarapan hingga memapah Kala yang ingin ke toilet. Arjuna tidak merasa keberatan dengan keadaan ini, ia hanya takut jika adiknya itu terlalu banyak pikiran hingga stress. Pasalnya hari ini ia harus cuci darah, tanpa dampingan Dhika dan Ariana sebenarnya Arjuna pun ragu.

"Iya, Kak."

Kala mengambil satu sendok bubur hambar di hadapannya. Ia memakan secara perlahan, rasa bubur itu tak jauh berbeda dengan makanan yang ia makan setiap hari. Hanya saja, Kala merasa mual karena ia sudah sangat bosan memakan nasi lembek itu. Karena tidak ingin membuat Arjuna khawatir, gadis itu memilih untuk memakan makanannya secara perlahan.

"Nanti kalau kakak tinggal sebentar, nggak apa-apa ya? Kakak harus ambil buku dulu di rumah."

Kala hanya mengangguk, ia merasa kasihan pada Arjuna yang sama sekali tidak pulang ke rumah hanya untuk menjaganya. "Kalau nanti malam Kakak mau tidur di rumah dulu nggak apa-apa, aku janji bakal baik-baik aja."

Arjuna tersenyum, ia mengusak pelan rambut Kala. "Kakak pasti jagain kamu, makanya cepat sehat lagi biar bisa tidur di rumah. Kamar kamu juga pasti udah kangen sama yang punya."

Setelahnya percakapan mereka hanya seputar kesiapan Kala untuk mendapatkan pengobatan hari ini. Kalau ditanya apakah Kala siap atau tidak, ia akan menjawab tidak. Demi apapun gadis itu tidak pernah membayangkan berada di posisi ini. Terlalu lemah. Dulu, Kala selalu menjadi seorang yang bersemangat. Ia menghabiskan waktunya untuk menyusun rencana yang ia buat. Tapi, Tuhan punya kehendak lain. Saat ini, Kala bahkan tidak pernah membayangkan apakah besok ia masih bisa bertahan atau tidak. Apakah ini adalah hari terakhir baginya? Terlebih ketika penyakitnya sedang kambuh, gadis itu selalu mengingat rasa menyakitkan yang menyiksanya. Hingga membuka mata pun enggan, tidur jauh lebih baik dari pada ia harus merasakan sakit.

***

"Gimana rasanya?"

Arjuna menatap Kala yang baru saja menyelesaikan proses cuci darah untuk pertama kali. Wajahnya pucat juga matanya terlihat sayu.

"Lemes banget, padahal nggak ngapa-ngapain."

Lirih, jawaban Kala yang mampu Arjuna dengar. Pemuda itu masih setia menggenggam tangan Kala, menyalurkan kehangatan pada jemarinya yang dingin. "Kalau ngantuk jangan ditahan, tidur aja. Nanti kakak tinggal sebentar ya. Telepon kalau butuh kakak."

Kala mengangguk sebelum kesadaran direnggut oleh mimpi di siang ini. Helaan napas Arjuna terdengar lelah, senyum yang ia berikan sejak tadi seperti menghilang dalam sekejap. "Kakak tahu, kamu pasti sedih."

Mobil Arjuna baru saja sampai di pelataran rumahnya. Tampak sepi dan nyaman seperti biasa, hanya saja rumah ini tidak lagi Arjuna rasakan kehangatannya. Semuanya berubah, entah sejak kapan.

"Ma?" Arjuna menyapa Ariana yang tengah menyeruput teh manis di ruang keluarga.

"Oh Juna? Kala dimana? Kamu mau makan dulu?"

Gelengan Arjuna menjadi jawaban, pemuda itu sudah cukup kesal. Ia sendiri sadar jika tubuhnya lelah, tidak ingin membuat keributan di rumah siang ini. Langkah pemuda itu kemudian beralih menuju kamarnya untuk mengambil buku-buku yang ia perlukan. Perlahan, Arjuna memasukkan barang yang ia butuhkan ke dalam ransel berwarna hitam. Langkah Arjuna terhenti di tangga ketiga, telinganya menangkap pembicaraan dari dua orang yang tentu saja ia kenal.

"Jadi hari ini mau ke puncak? Tunggu Jian pulang sekolah dulu, ya?" Ariana yang pertama kali pemuda itu dengar berbicara.

"Iya dong, ini kolega Papa yang undang. Jadi ya kita harus datang. Mama nggak punya janji, kan?"

"Nggak ada, Pa."

Arjuna tertawa miris ketika mendengar pembicaraan keduanya. Puncak dan undangan menurutnya bukan suatu hal yang penting, dengan rasa kesal yang memenuhi hatinya pemuda itu lantas menuruni tangga dengan cepat. Ia melewati orang tuanya yang berbicara di ruang keluarga.

"Jun, kok nggak pamit dulu?" Ariana menegur Arjuna yang melewati keduanya tanpa menyapa.

Langkahnya terhenti, ia berbalik kemudian menatap wajah kedua orang tuanya. "Ternyata di dunia ini ada yang lebih penting dari anak ya? Katanya darah lebih kental dari pada air, tapi buktinya Juna nggak lihat di keluarga ini. Papa sama Mama sadar nggak sih, Juna tunggu balasan kalian dari kemarin. Ternyata Mama sibuk menjadi ibu rumah tangga, dan Papa sibuk berurusan dengan koleganya." Arjuna membuang napasnya dengan kasar. "Terserah kalian, jangan lupa tagihan rumah sakit. Juna pergi."

Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, pemuda itu dengan cepat memacu mobilnya. Ia merasa kesal sekaligus marah dengan keadaan ini. Arjuna seperti kesetanan, ia melewati jalanan dengan kecepatan penuh, pada persimpangan jalan pun pemuda itu tidak mengurangi kecepatannya. Nyaris saja mobilnya menabrak tukang sayur yang melintas, demi apapun, Arjuna menginjak pedal remnya hingga decit suara ban yang bergesek di jalanan terdengar nyaring. Ia kemudian menepikan mobilnya dan menenggelamkan kepala pada lipatan tangan di atas setir mobil. Napasnya memburu, tangannya bergetar. "Gue nggak boleh bodoh, Kala bakal sendirian kalau gue mati."

Jantung Arjuna herdegup sangat kencang, ia bahkan tidak mengindahkan caci maki orang di luar sana. Pemuda itu masih sibuk menetralkan semua inderanya yang tegang saat ini. Setidaknya kali ini tidak ada yang terluka, ia membuka minuman yang berada di dalam mobil. Matanya terpejam, tangannya mengepal.

"Aaargh!"

Teriakan pemuda itu sedikit teredam walaupun masih terdengar dari luar. Pertanyaan yang selalu ia pikirkan, seperti memenuhi otaknya. Pemuda itu mengusap wajahnya dengan kasar, emosinya masih menggebu, tetapi Arjuna sadar jika ia tidak sendiri. "Mau sampai kapan?" lirihnya dalam sepi siang ini.

----

14 Desember 2022

Juna nggak apa-apa kok, cuma stress banyak

Juna nggak apa-apa kok, cuma stress banyak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang