Dua Puluh : Hidden Truth

1.3K 68 0
                                    

Doa-doa yang mengiring tubuh koma Kala seperti didengar. Sudah lebih dari dua jam, Kala dinyatakan sadar. Walau tubuhnya terasa lemas bukan main hingga mengeluarkan suara pun tak mampu. Dimas yang berada disana pun tak berhenti mengucap syukur karena Kala kembali membuka mata. Arjuna yang baru ia kabari pun dengan cepat datang ke rumah sakit.

"Nak, ada yang sakit?" tanya Dhika ketika Kala menitikkan air mata.

"Kala? Kenapa? Kalau sakit bilang, jangan begini Papa jadi takut."

Kala masih menangis bibirnya bergetar. Nasal kanul masih bertengger di hidungnya. "Ma—af." Suara seraknya mendominasi.

"Iya, nggak apa-apa. Kamu sehat ya setelah ini."

Anggukan Kala menjadi jawaban, ia kemudian terdiam memandangi kamar yang terasa sepi. "Mama..., ma—na?" terbata Kala mengeluarkan suaranya.

Belum sempat Dhika menjawab, suara pintu terbuka mengalihkan atensi keduanya. Arjuna dan Ariana memasuki ruangan secara bersamaan. Arjuna tampak khawatir tetapi gurat lega terpancar dari wajahnya, sedangkan Ariana masih terlihat pucat karena belum pulih.

"Kala..., lihat Mama nak, ada yang sakit?"

Gadis itu tersenyum dan membiarkan Ariana juga Arjuna mengusap pelan kepala dan lengannya. "Nggak ada, Ma."

"Kalau sakit, lain kali jangan begini lagi ya. Semuanya khwatir sama keadaan kamu."

Anggukan Kala menjadi jawaban atas pernyataan Ariana. Demi apa pun Kala sadar akan kesalahannya, namun keberanian gadis itu untuk mengaku tak sebesar keberaniannya merusak pola hidupnya.

Ariana masih terlihat tidak sehat sehingga Dhika pun menjadi khawatir jika istrinya akan kembali tumbang. Lelaki itu mengajak istrinya untuk pulang, dan menitipkan Kala pada Arjuna.

"Kak, kok masih ngerjain soal? Udah pengumuman, kan?"

Arjuna menatap lekat wajah Kala, gadis itu memang belum tahu tentang dirinya yang gagal mendapatkan kursi di universitas melalui jalur undangan. "Kakak masih belum lulus. Doain abis ini lulus ya, biar nggak perlu buka buku lagi sampe kuliah."

Kala tersenyum kemudian mengangguk, lengannya yang sudah tak seberapa lemas mengusap pundak Arjuna. "Semangat ya Kak, kalau capek istirahat."

"Kamu juga, kalau capek, banyak pikiran dan sakit jangan dipaksa. Kamu tahu nggak kita semua takut kalau kamu kenapa-kenapa."

"Maafin aku kak."

Arjuna mengusap pelan puncak kepala Kala ia kemudian tersenyum menatap adik tirinya ini. "Tidur aja, nanti kalau Jian dateng kamu pasti capek ngeladenin dia."

Memang benar, rasanya mata Kala begitu berat. Ia mengantuk padahal jelas-jelas gadis itu baru membuka mata beberapa jam yang lalu. Ia mengindahkan perkataan Arjuna dan memilih untuk menyelami mimpi.

***

"Kak!" Suara Jian yang nyaring membuat Kala yang tengah tidur pun terbangun. Arjuna tak kalah kaget, hingga coretan di bukunya melebihi yang seharusnya.

"Teriak-teriak kayak di hutan aja." Arjuna menatap Jian dengan kesal, sedangkan adiknya hanya menggaruk kepala karena merasa bersalah.

"Hehe, maaf dong kak. Aku seneng banget tadi dikabarin kalau kakak udah sadar." Jian berjalan mendekati tempat tidur Kala untuk memeluknya.

"Kangen?" tanya Kala menggoda.

Anggukan Jian terasa setelahnya, gadis itu tertawa karena biasanya Jian tak pernah sefrontal ini. "Aku juga takut liat kakak kemarin. Jangan bikin khawatir kak."

Kala tersenyum tipis, kemudian mengusap helaian rambut milik Jian. Pikirannya sedikit melayang memikirkan teman-temannya dan juga keluarganya. Memang gadis itu akui jika dirinya begitu egois, memikirkan kesenangan diri sendiri hingga membuat banyak orang kesulitan. "Maaf ya...," Kala mengusap pelan air matanya yang tiba-tiba mengalir.

Arjuna dengan sigap berdiri dan mengambilkan tisu untuk Kala. "Nggak apa-apa, kita semua sayang sama kamu makanya kita khawatir."

Jian melepas pelukannya dan mengangguk setuju, tak disangka mata Jian pun ikut merah dan berair. Ia menoleh ke arah belakang untuk mengusap air matanya yang tiba-tiba saja mendesak keluar.

Ketiganya menghabiskan sore bersama, dengan berat hati Jian maupun Juna tak ada yang menyampaikan perihal diagnosa komplikasi pada tubuh Kala. Melihat kondisi emosi gadis itu, membuat mereka berdua tak berani menyinggung sedikit pun.

"Temen-temen kakak tuh kok belum ada keliatan sih dari kemarin waktu kakak drop." Jian memang berusaha mengalihkan pembicaraan, tetapi tanpa dua orang itu sadari justru topik inilah yang membuat Kala penasaran sekali.

Kala menaikkan sebelah alisnya. "Oh iya? Mungkin lagi sibuk, ini bentar lagi kan semesteran pasti banyak persiapan deh."

Arjuna dan Jian tak menangkap gelagat aneh dari pernyataan Kala, memang benar sekolahnya itu selalu memiliki kegiatan yang jauh lebih padat ketika menjelang ujian semester. Kala terdiam, ia berpikir apakah semarah itu teman-temannya hingga tak peduli dengannya lagi. Rasa hampa menjalar memenuhi hatinya, jujur ia merindukan teman-temannya.

"Hp aku mana ya?" Arjuna baru mengingat jika ia membawa pulang ponsel Kala bersamaan dengan tas yang ia gunakan ke sekolah.

"Nanti kakak ambilin sekalian antar Jian ganti baju."

Kala hanya mengangguk, ia memejamkan mata guna meredakan pusing yang tiba-tiba melanda. "Kenapa?" Arjuna yang sadar langsung bertanya pada Kala.

"Nggak kok, cuma kayaknya ngantuk lagi." Anggukan Jian dan Arjuna menjadi jawaban pernyataan Kala.

Kemudian hening, Jian fokus pada ponselnya dan Juna kembali bergelut dengan buku soal. Ingatan Kala kembali ke beberapa waktu yang lalu ketika ibu dan adiknya membeli makanan cepat saji, saat ia bernyali besar untuk makan semua pantangannya, dan akhirnya ia tak lagi bertegur sapa dengan sahabatnya.

"Kalian capek nggak sih sama aku?" tanya Kala memecah keheningan, sekaligus membuat dua orang lain di ruangan itu bertatap penuh tanya.

"Kenapa?"

"Aku penyakitan, nyusahin terus sering buat kalian khawatir. Kalau nantinya kalian capek, tolong bilang ya biar aku bisa siapin hati. Jadi, jangan tiba-tiba ngilang gitu aja."

"Kamu ngomong apa sih? Ya nggak mungkin dong kita capek, kita kan keluarga kamu Kal." Juna membalas setiap argumen yang diucapkan oleh Kala. Sedangkan Jian, memilih diam dan tak membalas apapun. Ia pernah merasa terbebani untuk selalu mengikuti kebiasaan makan Kala.

Kala menarik bibirnya memaksakan senyum yang selama ini harus ia buat semua orang susah karenanya, selama ini juga ia selalu berusaha tidak terjadi apa-apa walaupun tubuhnya selalu merasa sakit. Apakah manusia selalu diciptakan untuk membendung perasaannya sendiri? Tidak, tentu saja. Tetapi ada kalanya manusia pun lelah untuk sekedar bercerita tentang dirinya.

"Udah, jangan banyak pikiran. Kamu juga baru sadar. Percaya aja sama Kakak kita bisa lewatin ini sama-sama."

Jian hanya mengangguk sebagai bukti jika ia setuju dengan pernyataan Arjuna. "Selagi kamu nggak merusak kepercayaan kami, kita semua pasti selalu dukung kamu."

Kala hanya mengangguk, walaupun pikirannya melayang tentang beberapa waktu yang lalu. Gadis itu hanya berharap jika tidak ada hal buruk yang terjadi padanya. Semoga saja.

----

06 September 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang