Dua Puluh Delapan : Wishful Thinking

1.1K 83 1
                                    

Sudah genap tiga hari Kala masih belum membuka mata. Keadaannya sering memburuk, Arjuna satu-satunya keluarga yang menemani gadis itu. Matanya terlihat lelah dengan lingkaran hitam samar di area matanya. Kemana orang tuanya? Tentu saja ada, Dhika beralasan ia harus mengurus perusahaan sedangkan Ariana menemani Jian yang kabarnya hari ini akan pulang. Arjuna tidak sempat membuka buku untuk persiapan seleksi masuk perguruan tinggi, ia hanya fokus pada kesembuhan adiknya. Persetan minggu depan ia akan mengerjakan dengan mudah atau kesulitan, pemuda itu cukup miris melihat keadaan keluarganya sekarang.

"Kal, bangun yuk. Kamu marah banget sama kakak ya? Kak Juna nyesel udah jauhin kamu. Maafin kakak ya," ucap Arjuna sembari memegang tangan kurus Kala yang bebas. Tidak ada rona ceria di wajah adiknya, bahkan Arjuna sudah lupa kapan terakhir kali ia melihat Kala tertawa.

Fokusnya teralih ketika ia melihat dua orang teman Kala di kaca pada pintu. Arjuna mengusap air matanya yang keluar di pelupuk, ia kemudian berdiri dan menemui dua pemuda di luar.

"Gimana, Kak?" Omar yang lebih dulu bertanya ketika Arjuna sudah berada di hadapannya.

"Masih sama."

Helaan napas ketiganya terdengar. "Kak, lo makan dulu deh. Ini kita beliin tadi, muka lo pucet banget." Chandra berinisiatif memberikan nasi bungkus pada Arjuna. "Lo demam juga, istirahat dulu Kak. Kita bisa bantuin jaga Kala disini."

Arjuna tersenyum, Chandra benar. Tubuhnya memang perlu istirahat, sejujurnya Arjuna pun tidak merasa baik sejak kemarin sore. Kepalanya pusing dan suhu tubuhnya meningkat. Pijakannya sekarang tak terasa, tubuh kurus Arjuna limbung. "Eeh, Kak! Tuh kan, lo beneran harus istirahat kata gue sih."

"Duduk dulu, kita bantu." Omar ikut memapah Arjuna yang lemas. "Badan lo panas Kak, perlu panggil dokter juga nggak?"

"Nggak, jangan. Gue cuma butuh istirahat aja."

Siapa sangka, Arjuna tidak membaik hingga sore. Suhu tubunya semakin meningkat dan kesadarannya juga menipis. Omar dan Chandra dengan cepat membawa pemuda itu ke IGD agar cepat ditangani. Keduanya kini bergantian menjaga Kala dan Arjuna, ada perasaan miris melihat sahabatnya tidak di dampingi keluarga saat sulit seperti ini.

"Lo udah ijin sama bunda belum?" Omar membuka suara pada Chandra ketika akhirnya mereka memilih untuk menginap di rumah sakit malam ini.

"Udah, aman lah. Ini jadi kita di ruang rawat Kak Juna ya?"

Omar mengangguk, ia tengah sibuk menekan layar ponselnya. "Kala di ICU kan nggak bisa kita tungguin. Gue udah titip nomor telepon disana."

Arjuna kini tengah tertidur karena hasil pemeriksaan dokter pemuda itu kurang istirahat dan asupan gizi.

"Kenapa Diandra nggak mau nengokin Kala sama sekali, sih? Emang dia nggak takut kalau... kalau Kala udah capek dan milih nyerah."

Omar menatap Chandra setelah perkataan pemuda itu diselesaikan. "Lo tahu nggak, Kala tuh semangat banget. Dia bisa ngelewatin hari-hari sulit yang bahkan kita nggak tahu mampu atau nggak kita lewatin. Lo jangan pernah mikir kalau dia harus pergi ninggalin kita. Kalau soal Diandra, gue nggak tahu."

Keduanya terlarut dalam hening malam. Mereka memilih untuk keluar dari ruang rawat Arjuna dan mencari udara segar di taman. Namun, mata Chandra berhenti ketika melihat siluet yang sangat ia kenali. "Mar, lihat deh itu siapa?"

Langkah pelan keduanya membawa mereka menuju ruang ICU tempat Kala di rawat. Diandra. Omar dan Chandra melihat satu orang yang selama ini selalu menentang mereka untuk mendekati Kala. Gadis itu terisak, terlihat dari punggungnya yang bergetar dan tangannya yang menutupi wajah. Chandra dengan cepat mendekat, namun Omar lebih dulu menarik lengan temannya itu. Ia menggeleng, mereka memilih untuk diam tentang apa yang mereka lihat malam ini.

***

Kala sadar. Wajah Omar dan Chandra berseri mendapat kabar itu di pagi hari. Arjuna juga sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya, setelah mengurus Kala yang harus pindah ruangan mereka berdua mengisi perut. Membiarkan Arjuna menghabiskan waktu dengan adiknya. Sedikit khawatir karena Kala sedari tadi mencari orang tuanya.

"Mama lagi jagain Jian, kemarin dia demam." Bohong Arjuna ketika Kala menanyakan tentang orang tuanya. "Papa masih ada urusan di luar kota, nanti kakak hubungi biar langsung kesini ya datengin kamu." Kala mengangguk, ia merasa masih lemas karena baru saja sadar dari tidur panjangnya.

"Kak...," Kala memanggil Arjuna yang sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Setelah fokus pemuda itu seluruhnya pada Kala, ia melanjutkan perkataannya. "Maaf ya aku selalu ngerepotin tapi nggak pernah sadar diri kalau aku penyakitan."

Arjuna terdiam, sepertinya Kala masih mengingat kejadian terakhir sebelum ia kolaps. "Nggak apa-apa, maafin kakak juga ya. Nggak pernah ngertiin Kala sebelumnya."

Tangan Kala terangkat mengelus pipi tirus Arjuna. "Kakak kurusan banget,"

Pemuda itu tersenyum kemudian menggenggam hangat tangan Kala yang terasa dingin pagi ini. "Kamu kedinginan?" Gemeletuk suara gigi Kala menyadarkan Arjuna jika gadis itu kedinginan.

"Kak, dingin banget. Kalau aku ikut bunda boleh nggak?"

Arjuna menangis, ia dengan cepat memanggil dokter. Melihat Kala yang kini meracau tidak jelas. "Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana. Disini aja sama Kakak."

"Kangen... bunda."

Perawat dan dokter yang tiba beberapa menit kemudian menenangkan Kala. Arjuna keluar dari ruangan setelah salah satu perawat menegurnya. Omar dan Chandra yang melihat Arjuna menangis dengan cepat mendatangi pemuda itu.

"Kak! Kala kenapa?"

"Nggak tahu."

Berulang kali Arjuna menelepon keluarganya yang saat ini tentu saja berada di rumah. Tapi tidak ada satu pun yang mengangkat. Akhirnya ia meninggalkan satu pesan untuk Ariana.

Arjuna
Ma, Kala sudah sadar tapi barusan menggigil kedinginan. Dokter lagi periksa, tolong kesini bareng Papa.

Memang salah jika manusia berharap dengan manusia. Arjuna tidak mendapat balasan bahkan hingga sore menjelang. Keadaan Kala sudah membaik dan ia kini sudah bisa bercengkrama dengan Omar dan Chandra. Dokter mengatakan jika ada obat yang tidak cocok Kala gunakan, hingga efek alerginya membuat gadis itu kedinginan.

"Kal, lo tidur lama banget. Omar nyaris nyium lo. Barang kali lo langsung bangun kayak putri salju."

Lengan Chandra dipukul oleh orang yang ia ceritakan. Tentu saja Kala hanya tertawa, sedangkan Omar wajahnya sudah merah. "Ngelantur banget sih jadi orang."

Ketiganya tertawa, berbanding terbalik dengan Arjuna yang menatap notifikasi ponselnya berulang kali dengan tatapan marah. "Kita balik dulu ya, besok kesini lagi."

Omar yang mendekati Arjuna kemudian menepuk pundak pemuda itu sekilas. Arjuna hanya mengangguk dan tersenyum. "Salamin buat Diandra ya, sampaikan maaf gue buat dia." Ketiganya terdiam dengan pikirannya masing-masing.

Sepeninggal Omar dan Chandra, Kala memaksa Arjuna untuk membeli makanan, pasalnya ia tidak melihat kakaknya itu makan sejak siang tadi. "Kak, aku nggak mau kalau kakak ikut sakit juga."

Memperhatikan Arjuna makan kini menjadi salah satu pemandangan favorit kala. Ia makan dengan lahap, sesekali basa-basi menawari Kala makanan yang ia nikmati. "Nggak lagi-lagi deh kak, aku makan yang bisa aku makan aja deh."

"Maaf ya, kakak jadi makan sendiri."

Gelengan Kala membuat Arjuna merasa sedikit lega. "Aku yang harusnya minta maaf karena nafsu aja sampai rela ngorbanin diri sendiri." Kala tersenyum, ia menatap manik legam milik Arjuna. "Kakak makan yang banyak, soalnya sebentar lagi ujian masuk PTN, kan?"

Pemuda itu mengangguk, melanjutkan makannya dalam diam. Sedangkan Kala menatap kosong pintu berwarna putih di hadapannya. Ia berharap dari sana muncul keluarga yang sudah ia rindukan kehadirannya sejak pagi tadi ia membuka mata.

----

08 Desember 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang