Dua Puluh Dua : Cerita Lain

1K 73 0
                                    

"Di, mau sampai kapan lo ngediemin Kala?" Omar bertanya pada Diandra yang kali ini tengah menyeruput es kopi buatannya.

"Nggak tahu."

Omar dan Chandra saling bertatapan, mereka pun sebenarnya tidak ingin menjauhi Kala. Apalagi ketika gadis itu sakit, rasanya ingin sekali melindungi dan menjaga Kala seperti yang sudah-sudah. Rasa kecewa tentu saja masih ada, tapi apa ia harus berteman baik dengan kecewa? Baginya lebih baik memperbaiki yang retak dibandingkan harus memperbaiki yang patah.

"Kemarin dia sakit, kita bahkan nggak jengukin loh."

Diandra mendengus sebal, tatapannya tidak bersahabat. "Ya kalau kalian mau kesana yaudah, nggak perlu lagi sapa gue!"

Omar dan Chandra tidak ingin merusak pertemanan mereka lagi. Kala dan Diandra memiliki tabiat yang berbeda. Kala lebih diam dan pemikir, sedangkan Diandra tipe yang tidak mudah memaafkan. "Santai, Di. Lagian emang kita mau sampai kapan sih begini? Gue perhatiin kemarin Kala nggak pernah lagi ke tempat itu."

"Lo berdua tahu nggak sih, gue waktu tahu dia sakit nangis banget sampai mata gue sembab! Terus pas tahu dia dengan bodohnya ngelakuin itu, kayak..., dia yang punya badan aja nggak mikir. Ngapain gue mikir!"

Omar menghela napas, mengaduk es kopi di hadapannya yang mulai mencair. "Kita bisa ngobrolin ini baik-baik loh, Di."

"Gue juga ngerasa kita keterlaluan." Chandra yang sedari tadi diam, kini mengeluarkan pendapatnya.

"Nggak tahu deh! Kalau kalian masih mau bahas Kala, mending pulang aja!"

***

Omar
Kala sehat, kan?

Arjuna
Iya

Omar hanya menghubungi Arjuna untuk mengetahui keadaan Kala. Ia ingin sekali mengunjugi gadis itu hanya saja, ia masih sedikit memendam kecewa. Ketika ia sakit, Omar sesekali datang untuk melihat keadaan Kala dari luar. Ia tidak memberitahu siapa pun akan kedatangannya.

Pagi ini, Omar sudah membulatkan tekad untuk kembali menyapa Kala. Ia merasa gadis itu terlalu lama menyendiri. Namun, harapan Omar sepertinya sedikit tidak sesuai dengan realita. Kala tidak hadir pagi ini, dan tidak ada keterangan lanjutan. Omar mengeluarkan benda persegi panjang berwarna hitam dari sakunya. Ia mengetikkan pesan singkat pada Arjuna.

Omar
Kala nggak masuk?
Kenapa?

Arjuna
Keluar sekolah, lagi diurus sama bokap

Pernyataan Arjuna cukup membuat Omar terkejut bukan main. Pasalnya ia baru ingin meminta maaf pada Kala karena menjauhinya beberapa waktu yang lalu.

Arjuna
Gue cuma mau tau, kenapa Kala tiba-tiba mau keluar sekolah? Lo temennya, kan?

Omar tidak bisa meneruskan jawaban maupun pertanyaan yang nyaris ia ketikkan. Bagaimana pun ia tidak ingin membuat Kala menjadi lebih sedih ketika keluarganya tahu ia melanggar pantangan makannya.

***

"Diem aja sih dari tadi, minggu depan udah bisa sekolah lagi kok. Mau belajar dulu sama Kakak?" tanya Arjuna ketika melihat Kala hanya membolak balik halaman novelnya.

"Besok aja deh kak belajarnya, Kala lagi males mau ngapa-ngapain."

Kala merebahkan tubuhnya, memperhatikan langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Sedangkan Arjuna duduk di kursi belajar milik Kala. "Yaudah, ingat kata Mama sama Papa. Jangan banyak pikiran. Kamu nggak mau cerita?"

Kala menatap dalam manik mata legam milik Arjuna. "Cerita apa?"

"Kamu sama teman-temanmu kenapa? Kakak tanya Omar dia nggak jawab, kalian janjian ya?"

Arjuna kemudian memilih diam karena tidak ada tanggapan dari adiknya. Ia mengelus puncak kepala Kala, menatap kantong mata yang mulai menghitam. "Jangan kebanyakan begadang, kesehatan kamu jauh lebih penting dari apapun."

Lelaki itu beranjak dari kamar Kala, menatap hasil diagnosa dokter yang bahkan tak ada yang berani menyampaikan. Memikirkan tubuh Kala yang tidak siap mendengar berita buruk itu. Dalam hati Arjuna, ia sangat bersyukur karena Kala memilih untuk home schooling ia jadi mampu mengawasi Kala setiap hari.

"Jun, Mama masuk." Arjuna sedikit terkejut karena Ariana mengetuk pintu. Ia dengan cepat melipat kembali kertas diagnosa penyakit Kala. Ariana tersenyum, ia duduk di samping Arjuna. "Lihat apa?"

Pemuda itu hanya memperlihatkan amplop surat yang barusan ia baca. "Kapan ya, kita siap buat ngomong ini ke Kala?"

"Kayaknya Papa yang mau coba ngomong duluan, kamu tahu kan belakangan emosi Kala nggak terkontrol. Kadang dia nangis, kadang juga melamun, teriak-teriak."

"Iya, Ma. Juna rasa ada masalah antara dia sama teman-temannya."

"Mama juga rasa begitu." Ariana menggenggam lembut jemari Arjuna, ia merasa terlalu lama melepaskan anak lelakinya ini. Dulu tangannya begitu kecil, sekarang sudah sebesar telapak tangannya—bahkan lebih. "Kalau kamu? Nggak ada yang mau diceritain ke Mama?"

Tatapan lembut Ariana seakan menembus relung hati Arjuna, hingga rasanya begitu hangat bahkan hanya sekedar tatapan dan usapan pada jemarinya. "Nggak ada, Ma."

Ariana menatap lembut mata Arjuna, menyalurkan kepercayaan yang sudah lama tak ia berikan. Perempuan paruh baya itu tak lagi mendapat cerita keseharian putranya. Belakangan, ia sadar jika terlalu fokus dengan Jian. Semua tentang Jian, pasti Ariana tahu. Berbanding terbalik dengan Arjuna. Ia terlalu tertutup, bisa dibilang Ariana sendiri yang memilih jalan ini hingga putra sulungnya tak lagi mau percaya dengannya.

"Mama minta maaf kalau kurang perhatian sama kamu, Mama cuma mau yang terbaik buat kamu. Mulai sekarang, apa yang Juna mau lakuin aja. Asal masih sesuai dengan aturan. Kalau Juna merasa terlalu banyak tuntutan Mama, bilang aja nak. Jangan dipendam sendiri, selain Kala di rumah ini kamu dan Jian juga butuh perhatian."

Arjuna tidak membalas ucapan ibunya, tidak ingin menyela atau mengeluarkan pendapatnya yang lagi-lagi kemungkinan akan ditolak oleh ibunya. "Mama sering lihat kamu begadang, kamu belajar sampai subuh. Kamu juga butuh istirahat, nggak apa-apa kalau mau istirahat sesekali." 

"Iya, Ma."

Ariana memeluk putranya. Ia mengusap puncak kepala Arjuna dengan sayang. "Mama selalu memberatkan kamu ya? Maaf kalau ternyata Mama banyak tuntutan ya Juna. Mulai sekarang Juna boleh tentukan mau apa, Mama nggak akan maksa Juna lagi."

Seperti mendapatkan air di tengan gurun, rasa sesak yang selama ini membelenggu Arjuna tiba-tiba saja berkurang. "Kenapa Mama jadi ngebiarin Juna pilih masa depan Juna sendiri?"

"Mama kemarin berpikir, kalau Kala aja bisa minta berhenti untuk sekolah umum kenapa Mama harus tetap maksa kamu? Mama sering lihat gambar-gambarmu di laci meja." Ariana menunjuk laci tempat Arjuna menyimpan gambar. "Maafin Mama ya sayang, Juna boleh cari kebahagiaan Juna sendiri mulai sekarang. Mama pasti dukung, asal anak Mama bahagia."

Tak ada kata lagi yang mampu Arjuna ucapkan, selama ini ia bekerja keras memenuhi keinginan demi keinginan dari Ariana. Tangisnya kemudian pecah, dalam pelukan ibunya, Arjuna menumpahkan segala emosi yang selalu ia berusaha untuk tahan. "Makasih ya sayang, kamu selama ini sudah berusaha."

Hanya sebuah anggukan yang Arjuna beri, ia masih tak mampu berkata-kata. Seperti mimpi, semua ucapan ibunya tidak mudah ia percaya begitu saja. "Makasih, Ma."

---

01 Oktober 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang