Dua Puluh Enam : Feeling

1.2K 84 0
                                    

"Oma, Kala kangen banget." Gadis itu mengusap nisan berwarna hitam milik neneknya. Sudah lebih dari lima tahun sosok hangat itu menghilang dari kehidupan Kala. Air mata Kala tiba-tiba saja meluruh, ia tidak berusaha mengusapnya. Namun, gadis itu justru memeluk pusara neneknya dengan sayang. "Kala mau cepat-cepat nyusulin Oma, Opa sama Bunda. Kala mau kumpul sama kalian."

Pagi buta, gadis itu melangkah meninggalkan rumah. Nyaris semalaman ia tidak bisa tidur, pikirannya penuh dengan segala kondisi yang mungkin bisa memburuk di rumah itu. Setiap adegan yang terputar di otaknya tak ada yang membahagiakan. Semua orang memojokkannya dan tidak ada yang melihat Kala dari sisi lainnya. Jaket berwarna abu itu sudah separuh bagian kotor terkena tanah. Ia seperti melepas rindu pada orang-orang yang lama tak ditemui.

Kali ini Kala berada di samping pusara ibunya. Ia tidak bicara sama sekali, hanya mengusap pelan nisan yang bertuliskan nama perempuan yang melahirkannya. Matanya sayup-sayup terpejam karena kantuk yang menyerang. Air mata tiba-tiba saja meluruh, entah darimana perasaan rindu itu terus mendesak. Ia pun tak bisa lagi membendungnya. "Bunda... bawa Kala sekarang aja bisa nggak?"

"Neng...," suara yang mengusik tidur Kala pagi itu. Penjaga kuburan yang aneh melihat seorang gadis tertidur di samping pusara tentu saja berinisiatif untuk mendatanginya. "Neng, kok tiduran disini."

Kala mengerjap, ia sedikit kaget melihat seorang lelaki paruh baya yang kulitnya terlihat gelap membawa cangkul. "Oh iya Pak, ini saya mau pulang kok."

Terburu-buru Kala pergi dari pusara ibunya, tanpa mengucap salam perpisahan. Gadis itu ketakutan, hingga di pintu gerbang Kala sadar jika bapak tadi adalah petugas yang bekerja di pemakaman itu. "Malah kabur gimana sih, Kala. Sampai belum pamit sama Bunda," racaunya setelah sadar sepenuhnya.

Satu-satunya hal yang Kala sesali pagi ini adalah tidak membawa dompet. Terik sinar matahari sudah terlihat, ia merapatkan tudung jaketnya kemudian berjalan menuju rumah. Lemas sekali rasanya, lelah dan sinar matahari cukup mengganggu Kala. Terlebih gadis itu sudah melewatkan dosis obatnya sejak kemarin malam.

Mata legam Kala sudah berkunang-kunang. Tapi gadis itu patut bersyukur karena ia sudah sampai di rumah. Ia menarik napas dalam, menyembunyikan wajahnya yang sudah pasti memerah. Telinganya mendengar sayup-sayup suara dari dalam rumah.

"Ma! Ini Kala pulang!"

Arjuna yang pertama kali melihat adiknya sampai di rumah dengan keadaan yang tidak terlihat baik. Jaketnya kotor, juga wajahnya yang terlihat memerah. "Dari mana?" Ariana bertanya, nadanya terdengar ketus di telinga Kala.

"Tadi olahraga, Ma. Sekalian jenguk Bunda, Oma sama Opa."

Helaan napas yang bisa Kala dengar dari pemuda yang berdiri di sampingnya. "Kalau kemana-mana tuh minimal bilang. Punya HP, kan? Bisa loh ngabarin keluarga dulu."

Kala hanya menunduk dalam, ia tidak ingin menjawab karena kepalanya cukup pusing untuk sekedar menatap lawan bicaranya. "Maaf."

"Yasudah, ganti baju, sarapan. Jangan bikin mama sama papa pusing mikirin kamu deh. Jangan suka bandel Kala. Untung mama belum sempat kabarin papa, kalau nggak pasti kamu sudah diomelin papa lagi." Ariana yang kini bersuara, gadis itu hanya mampu tertunduk dalam.

"Iya, Ma. Maaf." Ia memilih untuk segera pergi mengganti pakaian dan melakukan apa yang Ariana perintahkan.

Tersiksa. Kala merasa semua makanan yang ia masukkan pagi ini tidak bersisa. Beberapa kali gadis itu mengeluarkan isi perutnya. Sungguh Kala sangat lemas, ia bahkan harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh. Kepalanya berputar karena pusing yang tak kunjung hilang sejak pagi tadi. Perutnya sakit, kakinya juga terasa pegal dan terlihat membengkak. Kala hanya mampu merintih ketika rasa sakit menyerangnya secara bersamaan.

"Kak...," rintih Kala berusaha memanggil Arjuna yang biasanya selalu siaga jika ia tengah kambuh. Namun bukan seperti harapan Kala, sayup-sayup justru gadis itu mendengar suara mobil yang dipacu dengan cepat. Kala seperti kehilangan keseimbangan, beruntung ia terjatuh di dekat tempat tidur. Susah payah ia berusaha untuk kembali berbaring. Karena tidak tahan dengan sakit yang mendera Kala mencoba menghubungi orang lain. Setelah dering ketika, rupanya ia mendapat jawaban. "To...long."

***

Bau menyengat dari desinfektan rumah sakit menjalar di hidung Ariana dan Arjuna. Mereka berlari menuju informasi untuk bertanya dimana ruangan yang akan dituju.

"Mbak, ruangan atas nama Jiandra Putra dimana ya?"

Setelah mendapat informasi ruangan, keduanya segera berlari menuju tempat yang dituju.

"Jian...," Ariana menangis melihat perban yang berada di kepalanya. "Kenapa bisa begini?"

"Ma, Jian nggak apa-apa."

"Maaf ibu." Suara perempuan mengiterupsi pembicaraan Ariana dan Jian. "Saya wali kelas Jian, tadi dia jatuh dari tangga."

Ariana menyentuh pelan kepala Jian, merasakan suhu tubuh putranya yang menyengat kulitnya. "Terima kasih ya bu, sudah diantar ke rumah sakit."

"Iya ibu, saya pamit kembali ke sekolah lagi bu."

Sepeninggal wali kelasnya, Jian kembali tertidur sedangkan Arjuna hanya memperhatikan interaksi ibu dan adiknya tersebut. "Ma, Juna beliin makan dulu ya."

Anggukan Ariana menjawab izin yang diutarakan Arjuna, ia masih menatap wajah pucat Jian. Ketika mata Jian kembali mengerjap, Ariana dengan sigap berdiri dan mendekatkan wajahnya ke pemuda itu. "Ada yang sakit?"

"Nggak, Ma. Cuma masih pusing aja."

Air mata Ariana tiba-tiba saja menetes, ia tidak menyangka bahwa putranya akan terbaring lemah di brankar rumah sakit. "Kenapa nggak bilang kalau sakit, nak?"

Jian diam, ia memang sudah merasakan bahwa tubuhnya tidak nyaman sejak semalam. Tetapi ia masih memaksakan diri, hingga akhirnya ketika tadi ia akan pergi ke perpustakaan kepalanya terasa begitu pening dan menyebabkan dirinya terjatuh di tangga. "Nggak apa-apa, Ma. Jangan khawatir ya."

Ariana mengangguk, mengusap kasar air matanya yang sudah menetes. "Mama mau telepon papa dulu, kamu istirahat lagi aja."

Sepeninggal Ariana, Jian menatap sekeliling ruangan. Ia mencari dimana keberadaan Kala, mau bagaimana pun gadis itu adalah kakak perempuan untuknya. Ketika Arjuna membuka pintu, ekspresi Jian berubah lesu. "Kak, sendiri aja?"

Arjuna hanya mengangguk, kemudian menaruh kunci mobil beserta makanan yang ia beli di atas nakas samping tempat tidur Jian. "Kenapa?"

"Kak Kala kok nggak diajak, apa dia nggak mau jenguk aku setelah beberapa hari aku diemin ya?"

"Nggak, tadi Kala lagi istirahat. Nanti sore ya baru kesini."

Jian hanya mengangguk, ponselnya berdering menampilkan panggilan video dari ayahnya. "Pa!"

"Ya ampun, kamu kenapa? Masih pusing nggak? Mual nggak? Demamnya gimana?" Jian tertawa mendengar pertanyaan Dhika yang bertubi-tubi.

"Satu-satu dong, Pa."

Ariana seketika menyahut sesaat sebelum Jian menjawab pertanyaan Dhika. Ia terkekeh melihat betapa khawatir suaminya itu. "Aku baik, Pa. Masih pusing aja sedikit sama nyeri. Tapi nggak ada keluhan lain kok, demamnya juga sudah turun," tutur Jian setelahnya.

"Kamu itu kalau sudah belajar bisa sampai lupa waktu, padahal mana pernah sih Jian buat mama sama papa kecewa."

Dhika dan Jian masih asik bercengkrama sesekali Ariana ikut menimpali, melupakan eksistensi Arjuna disana. Ada sedikit rasa iri yang menggerogoti dirinya. Ternyata diabaikan sesedih ini, ia mengingat satu adiknya yang berada di rumah. Apakah gadis itu sedang istirahat? Apakah Kala sudah makan? Apakah adiknya sudah meminum obatnya secara teratur? Pikiran-pikiran itu cukup mengganggu Arjuna, melihat interaksi ayah dan ibunya begitu hangat pada Jian membuka pikiran dan juga hatinya yang belakangan tertutup emosi. Ia menekan ponselnya beberapa kali dan tidak mendapatkan jawaban, setelah melihat beberapa panggilan dari Omar pikiran dan perasaannya cukup kacau. Arjuna masih merapalkan doa agar Kala selalu baik-baik saja.

---

1 Desember 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang