Tiga : Daksa

2.9K 126 3
                                    

Arkana Jiandra Putra tidak pernah memiliki keraguan disetiap keputusan maupun tentang hal-hal yang akan ia bicarakan. Namun, belakangan setelah ia memahami situasi yang terjadi di rumah ini, rasanya Jian tidak bisa egois lagi. Ia adalah satu-satunya anak di keluarga Dhika yang memiliki kelebihan atau biasa ia sebut sebagai keistimewaan. Sedari dulu, Jian sudah berhasil membanggakan nama keluarga mereka hingga ke kancah internasional. Ia juga berhasil masuk dalam program akselerasi di SMP. Medali serta piala yang didapat pun sudah menghiasi sebagian ruangan.

Akan tetapi, Jian tidak tahu jika dibalik semua keistimewaan ada saudara-saudaranya yang selalu saja menjadi bahan perbandingan. Jian tidak pernah merasa jika keistimewaannya adalah sebuah kesalahan, sebelum kali terakhir ia mengikuti lomba matematika berskala nasional ternyata mamanya terlalu sibuk membandingkan nilai-nilainya dengan Kala. Anak lelaki itu tidak dekat dengan Kala, tetapi ia cukup tahu dijadikan bahan untuk selalu dibanding-bandingkan itu tidaklah mudah.

"Juna, gimana sekolahnya? Sudah ada rencana mau lanjut kemana?" tanya Ariana ketika ia terlebih dahulu menyelesaikan makanannya.

"Aman, Ma. Tapi Juna harus selesaikan masa bakti OSIS Juna dua bulan lagi, jadi mungkin bakal lebih sibuk dari sebelumnya." Ariana mengangguk, ia tidak pernah meragukan Juna sedikit pun.

"Jadi mau coba kedokteran?"

Juna mengangguk pasti. "Iya Ma, nanti kalau memang nggak lolos Juna pikirin buat tawaran Papa ngelanjutin perusahaan." Dhika hanya tersenyum, kemudian mengelus puncak kepala anaknya yang kebetulan berada tepat di sebelah kirinya.

"Kejar cita-citamu, Jun. Masalah perusahaan Papa masih bisa handle."

Juna yang pembawaannya tenang dan penuh perhitungan tidak pernah mengecewakan orang tuanya. Ada gemuruh yang selalu Kala rasakan ketika ia harus dihadapkan oleh keadaan seperti ini. Gadis itu, tidak pernah mendapatkan medali emas, tidak pernah membawa piala untuk dipajang pada lemari kaca yang berada di sudut ruang tamu, juga tidak pernah berada dalam deretan siswa berperingkat terbaik. Ia hanya gadis biasa, yang kesehariannya hanya berkutat dengan gawai juga buku pelajaran jika ia butuhkan.

"Kala?" tanya Ariana, gadis yang dipanggil namanya hanya mengangguk. Walaupun ia sangat paham dengan apa yang akan Mamanya katakan selanjutnya. "Mama dengar kamu kena remidial pelajaran Fisika, ya?"

Kala mengangguk, ia bukan Juna maupun Jian yang selalu dekat dekat Ariana. Sampai hari ini, Kala selalu merasa Ariana adalah orang asing yang masuk ke dalam hidupnya secara tiba-tiba. Ia berkali-kali mencoba untuk menerima, namun hatinya selalu menolak. "Maaf, Ma." Lirihnya kemudian.

"Coba kamu belajar lebih rajin lagi, contoh Kakak dan Adikmu ini. Mereka punya kesibukan diluar sekolah tapi tetap bisa mempertahankan nilai-nilai akademik. Tidak pernah remidi, tidak pernah dapat nilai pas-pasan."

"Ma-" Dhika berusaha mencegah Ariana untuk berbicara yang lebih menyakitkan lagi bagi putrinya.

"Mas, aku bicara begini juga supaya Kala bisa jadi orang yang lebih baik lagi. Supaya dia bisa mencapai apa yang dia mau. Sampai sekarang, semua jalannya selalu kita bantu. Aku mau Kala bisa berdiri dengan kakinya sendiri, dan punya rasa tanggung jawab terhadap apa yang sudah ia lakukan."

Dhika memperhatikan Kala yang menunduk dalam, istrinya akhir-akhir ini selalu berambisi agar Kala menjadi seseorang yang mirip seperti Jian maupun Juna. "Iya, Papa ngerti maksud Mama. Tapi, itu juga namanya memaksakan kehendak Ma. Ada baiknya kita lihat potensi Kala ada dimana."

Mata yang sudah berkaca milik Kala itu memperhatikan Dhika dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Kepalanya terangkat, kini ia berani menatap mata milik Mamanya. "Maaf, Ma. Kala akan belajar lebih giat lagi."

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang