Tiga Puluh Sembilan : Diujung Tanduk

2.2K 99 6
                                    

Kala tahu ada yang tidak beres di tubuhnya. Selain perkara ia meninggalkan jadwal cuci darah, gadis itu sadar warna kulit di bagian perutnya membiru sedikit bengkak dan tentu saja sakit. Dua hari pasca perampokan terjadi Kala masih tetap bersikeras menolak ajakan Ariana untuk pergi ke rumah sakit. Dhika tidak terlalu peduli, ia datang beberapa kali itu saja dengan paksaan Ariana.

"Kal, kalau masih nggak nyaman perutnya kita berobat aja yok. Mama sedih lihat kamu begini."

Perempuan itu tidak tahu jika bagian perut Kala sudah membiru, jika tahu mungkin tanpa kata ia akan menyeret Kala ke rumah sakit.

"Nggak mau, Ma. Bosan di rumah sakit."

Ariana mengembuskan napas beratnya. Terdengar di telinga Kala sepertinya ia mulai frustasi untuk memaksa Kala.

"Oke, ini mama udah buatin bubur. Ayo dimakan dulu."

Kala berusaha duduk dibantu oleh Ariana, ia sedikit mendesis ketika merasakan perih dari perutnya. "Sssh!"

"Loh, coba mama mau lihat dulu."

Tapi Kala dengan cepat menghalangi tangan Ariana yang akan membuka pakaiannya. "Engga, cuma pegel aja. Ayo ma, aku lapar." Bualan Kala kali ini cukup membuat Ariana percaya, ia segera mengambil mangkuk yang terus penuh bubur.

"Anget aja kok, ayo berdoa dulu."

Kala mengangguk, kemudian membuka mulutnya saat sendok besi itu udah berada di depan mulutnya. Suapan pertama cukup membuat Kala senang karena rasa bubur Ariana yang kaya rempah membuat ia lupa dengan rasa tidak nyaman di sekujur tubuhnya. Namun rasanya siksaan tidak berhenti sampai disitu, rasa mual kembali hadir saat Ariana akan memberikan suapan kelimanya.

"Udah, Ma." Susah payah Kala menelan bubur yang ada di mulutnya, ia bahkan sampai menekan kuat tangannya agar rasa mual itu dapat teralihkan

"Loh, baru sedikit Kal. Ayo dimakan lagi."

"Mual Ma, udah ya."

Ariana menaruh mangkuk yang bahkan belum separuh kosong itu di nakas meja samping tempat tidur Kala.

"Ya sudah, ini minum dulu." Dengan sabar Ariana memberikan segelas air mineral pada Kala. Demi apa pun, perempuan itu merasa hutang budi dengan anak gadisnya. "Ini obatnya, mau satu-satu atau langsung semua?"

Bisa Kala lihat obat yang ia konsumsi bertambah setelah ia menolak di bawa ke rumah sakit, Ariana berinisiatif menelepon dokter yang biasa bertugas di keluarganya. Ada sekitar empat pil besar, melihatnya saja Kala sudah bergidik ngeri. "Satu satu aja deh , Ma."

Kala bersyukur ia mampu menelan obat-obatnya tanpa perlu bergelut dengan mual. "Ya sudah, istirahat ya. Mama keluar dulu. Mau siapin sarapan buat Jian."

Kala mengangguk, mata sayunya melihat punggung Ariana. "Ma..." panggilnya sebelum perempuan itu sempat membuka pintu.

"Kenapa?"

"Mau Papa."

***

"Mas, lihat Kala dulu dong. Masa kamu nggak khawatir sama dia? Kasihan tahu, Mas. Paksa ke rumah sakit aja."

Dhika baru sampai rumah sekitar pukul sembilan malam, penampilannya berantakan. Jauh dari Dhika biasanya. Lelaki itu mengakui belakangan terlalu sibuk dengan pekerjaan yang memang bermasalah sejak beberapa minggu belakangan.

"Iya, nanti."

"JANGAN NANTI!"

Tiba-tiba saja Ariana berteriak kemudian menangis setelah mendengar jawaban Dhika. Lelaki itu tersentak karena belum pernah mendengar Ariana menangis sampai seperti itu.

"Kalau bukan karena Kala mungkin aku sudah mati mas. Sudah mati!"

Tangisan Ariana semakin terdengar pilu saat wanita itu menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan.

"Ma, iya sebentar. Aku ganti baju dulu baru ke kamar Kala."

Sambil terisak mata Ariana terlihat memerah dan mulai bengkak. Dhika merasa bersalah, ia pun sadar jika sangat keterlaluan pada Kala. Ia tidak melepaskan putrinya seorang diri, bahkan kemarin saat ia dan Jian berkata pada Ariana untuk membeli sepatu, sejujurnya ia masih mengikuti Kala setelah tahu putrinya hanya melamun di kafe rasa bersalah memenuhi dirinya. Apalagi setelah pulang menemukan keadaan rumah sangat berantakan.

Segera Dhika mengganti baju dan membersihkan diri sebelum menemui Kala. Ia mengembuskan napas sedikit kasar sebelum membuka kamar anak gadisnya itu. Sedangkan Ariana melihat dari pintu kamarnya.

Suasana dingin dan gelap menyapa Dhika ketika ia membuka kamar Kala. Penerangan minim karena gadis itu hanya menyalakan lampu tidur yang berada di nakas. Langkah Dhika tertahan ketika melihat Kala terlelap dengan tidak nyaman. Kernyitan di dahi terlihat dalam, dan gadis itu gelisah.

"Kala, ini Papa nak."

Dhika mengelus kepala Kala yang basah karena keringat. "Engh." Gadis itu melenguh, ia tidak mampu membuka matanya. Terasa berat dan seluruh tubuhnya sakit.

Dhika menyalakan lampu kamar Kala, ia semakin melihat wajah pucat milik Kala. "Nak, dengar Papa?" Lagi, Dhika mengajak Kala bicara.

"Pa..."

"Iya, ini Papa."

Matanya terbuka, segaris tetapi membuat hati Dhika semakin khawatir. Ia melihat di arah pintu Ariana masih terisak sembari ditenangkan oleh Jian.

"Maaf... Pa." Lirih sekali terdengar di telinga Dhika. Napas Kala terdengar putus-putus.

"Papa angkat ya, kita ke rumah sakit."

"Ma...af Pa."

"Iya, Papa udah maafin. Kala harus sembuh lagi biar tahu kalau Papa udah maafin."

Gadis itu mengangguk, air matanya menetes Setelahnya. "Bunda katanya... kangen aku."

Dhika tanpa banyak bicara mengangkat tubuh kurus Kala, ia menyuruh Ariana bersiap menemani Kala di belakang. Sedangkan Jian berada di samping ayahnya. Matanya berkali-kali menatap Kala yang meracau, Ariana bahkan sudah kewalahan untuk menjawab semua perkataan Kala.

"Udah ya, Kal. Nanti Mama ajak kamu ngobrol lagi setiap hari."

"Sssh! Sakit, Ma."

Tangan Kala berada di perut, Ariana mengingat jika tadi saat ia menyuapi Kala pun gadis itu kesakitan. Ia mengangkat baju Kala dengan hati-hati. Air mata Ariana semakin deras ketika melihat ruam biru keunguan di bagian perut Kala.

"Pa! Cepat Pa! Perut Kala memar."

Tangan Ariana bergetar menyentuh bagian tubuh gadis itu dengan perlahan. "Maafin Mama, Kala. Maaf."

Degupan jantung Dhika semakin tak karuan ketika mendengar perkataan Ariana. Ia memacu kendaraannya semakin cepat, menerobos lampu lalu lintas yang tidak seharusnya ia lewati sembarangan.

"Kala... nggak apa-apa, yang penting Papa sudah maafin." Terdengar lirih, namun keheningan di mobil itu membuat semua orang disana mendengar jelas perkataan Kala.

"Iya, Papa maafin. Kamu harus bahagia, capai cita-citamu."

Kala tidak menjawab, ia semakin merasa kesakitan karena tubuhnya sudah kewalahan menutupi semua itu berhari-hari. Hening kembali memenuhi, Dhika fokus menyetir, hingga akhirnya melihat rumah sakit sudah dekat. Sesaat setelah sampai pun Jian dengan cepat memanggil perawat dan meminta brankar karena Kala sudah tidak sadar.

Jian seperti mengingat kembali masa dimana ia menemukan Kala kambuh hingga tidak sadar beberapa hari. Kali ini mungkin lebih parah, pasalnya perut membiru Kala itu terbayang di kepalanya. Pemuda itu menangis, Ariana mengelus puncak kepala Jian dengan sayang. Ketiganya terlihat putus asa, Dhika pun merasa dihukum karena perilakunya belakangan pada Kala. Lelaki itu berkali-kali mengusap kasar wajahnya, pikirannya penuh dan tidak mampu memikirkan apa pun lagi selain Kala.

---
28 Januari 2023

Selamat malam minggu hehe.
Sebentar lagi end nih, semoga lancar-lancar aja dan nggak mandek di tengah jalan.

Happy reading!

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang