Sembilan : Sembilu

1.9K 101 2
                                    

Kepulan asap yang kali ini tidak berasal dari cangkir kopi milik Dhika, melainkan batang rokok yang entah sudah berapa banyak ia habiskan semalaman ini. Pikirannya terlalu kalut, ia tidak lagi memiliki semangat untuk menjalani hari. Menit demi menit berlalu, ketika sebelumnya ia menerima panggilan masuk dari Ariana istrinya itu mengabarkan jika dalam waktu sepuluh menit akan segera sampai di rumah sakit. Penampilannya cukup acak-acakan, tetapi ia berjanji untuk tidak lagi sedih setelah ini. Bagaimana pun kehidupan harus tetap berjalan.

"Pa...," Jian yang terlebih dahulu memeluk tubuh Dhika. Aroma segar yang terpancar dari tubuh putra bungsunya itu membuat dirinya sedikit tenang. Ia lantas mematikan separuh puntung rokok yang belum habis ia hisap.

Ariana melihatnya dengan iba, lelaki itu tidak pernah lemah kecuali untuk keluarga. Dulu diawal pernikahan mereka, Arjuna pernah jatuh sakit. Dhika tengah berada di luar kota dan Ariana dengan sengaja menutupi keadaan Juna agar lelaki itu tidak panik. Tetapi gagal, niat hati Dhika ingin memberi kejutan bagi keluarganya namun malah sebaliknya. Ia dengan kesetanan membawa mobil menuju rumah sakit setelah menemukan rumah dalam keadaan kosong, dan segera menelpon istrinya. Wanita itu tentu tahu, jika keluarga ini adalah rumah bagi Dhika.

"Mas...," ucap Ariana mendekat, Jian dengan cepat melepaskan pelukannya dan membiarkan Mamanya menenangkan lelaki yang sudah membesarkannya itu.

Dalam pelukan Ariana, Dhika terisak. "Aku harus bagaimana? Lupus bukan penyakit yang akan sembuh dalam waktu satu atau dua hari." Pernyataan itu terdengar seperti lantunan frustasi dari Dhika.

"Tapi banyak orang diluar sana yang berhasil bertahan hidup. Berhasil gapai cita-cita mereka, dan berhasil punya keturunan. Tugas kita hanya berusaha untuk yang terbaik, Mas. Tuhan selalu punya hikmah dibalik setiap kejadian."

Dhika hanya diam menahan isaknya, ia tidak pernah menyangka akan ada hal seperti ini di dalam hidupnya. Sudah cukup, dulu ia kehilangan istrinya. Tidak lagi, kali ini Kala harus bersamanya. Biarkan Dhika egois untuk kali ini.

Merasa tidak ada perlawanan, Ariana memeluk Dhika semakin erat. Ia mengusap lembut pucak kepala lelaki yang selalu sedia melindungi dirinya dan keluarga itu. Laki-laki yang tidak pernah mau terlihat lemah di depan semua orang, tetapi semua runtuh karena satu tubuhnya sudah tak lagi sempurna seperti dulu kala.

"Kamu boleh merasa sedih dan terlihat putus asa begini, Mas. Tapi ingat, bagaimana nanti Kala akan bertahan jika kamu seperti ini? Keluarga adalah benteng utama bagi dia, Mas."

Benar. Kala akan jauh merasa lebih sulit jika melihatnya sedih dan terpukul seperti ini. Dhika mengusap wajahnya kasar, memperhatikan raut wajah Arian yang terlihat juga memancarkan kesedihan. Jian yang sudah menangis tersedu-sedu melihat dirinya yang sangat bersedih. Seperti pukulan keras, ia harus tahu jika masih ada tiga kepala lainnya yang selalu membutuhkan pundak dan peluknya.

"Ayo kita cuci muka dulu, setelah itu temuin Kala."

***

Sejujurnya Kala sudah bisa menebak, dengan bekal gawai yang ia miliki dan mesin pencarian otomatis ia sudah tahu jika tubuhnya memiliki kelainan. Tetapi ia tidak tahu jika akan separah ini. Tangisannya pecah ketika Dhika mengatakan bahwa ia pengidap lupus. Cita-citanya mungkin memang harus berhenti. Demi apapun, Kala sudah berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis, tetapi air mata itu kembali menetes saat mendengar vonis pada dirinya.

Dokter baru saja keluar dari ruangannya, gadis itu mendapat wejangan untuk menjaga tubuhnya, memperhatikan pola makan dan olahraga, dan yang paling penting adalah ia tidak bisa lepas dari obat-obatan. Ia tidak lagi bisa makan dan minum junk food sesukanya seperti dulu. Ia harus menahan ego agar bisa hidup selama mungkin.

Ariana mendekat ketika menemukan wajah murung Kala. Ia memeluk anak gadis satu-satunya di keluarga itu. Memberi sedikit kekuatan yang walaupun wanita itu tahu jika tidak bisa secara utuh menggantikan posisi ibu kandungnya.

"Nanti Mama yang masakin makanan Kala ya. Mama juga mau makan yang sama kayak Kala, kita olahraga bareng, ya nak."

Gadis itu menatap manik mata Ariana, tidak ada keraguan yang tergambar darinya. Dengan ragu, Kala mengangguk. "Maafin Kala ya, selalu buat kalian susah."

Jian yang pertama kali mendekat untuk mendekap saudara dan ibunya itu. "Kak, lo nggak pernah buat susah kita." Tangisan yang terdengar setelahnya adalah milik Arjuna, sejak tadi ia hanya diam memperhatikan namun tidak sanggup lagi untuk menahan isak.

"Kamu itu sama aja kayak kita, normal. Cuma sekarang kamu spesial, jangan anggap diri kamu nyusahin. Kita ini saudara, kita keluarga Kala."

Arjuna, masih dengan suara paraunya ia memberikan kekuatan lagi pada gadis itu. Mungkin selama ini Kala selalu melihat keluarganya dari sisi yang tidak utuh, tetapi tanpa ia sadari keluarga ini sangat berbeda dan saling menyayangi satu sama lain dengan caranya sendiri. Gadis itu tahu, yang terluka bukan dirinya saja. Tetapi semua orang juga, tatapan mata seluruh keluarganya tidak bisa berbohong. Seperti mendapat suntikan semangat, walaupun terlalu banyak sembilu yang menusuk di tubuhnya.

Omar, Chandra dan Diandra tiba-tiba datang sepulang sekolah, seragam hari Rabu masih melekat di tubuh mereka. Bulir keringat dan napas yang tersengal menandakan jika ketiga remaja itu berlari menuju ruangannya. Kala tersenyum senang melihat ketiga sahabatnya hadir. "Lo sakit apa sih? Kok tiba-tiba masuk rumah sakit gini," cecar Diandra ketika baru saja dipersilahkan duduk oleh Dhika dan Ariana.

"Gue sudah beda sama kalian." Walaupun ia mulai menerima keadaan, bukan berarti Kala mampu mengatakan yang sejujurnya pada ketiga temannya. Ia takut hanya menjadi beban bagi mereka. 

"Beda gimana? Kita masih sama-sama makan nasi." Diandra masih berusaha mengeluarkan pendapatnya. Omar dan Chandra hanya terdiam, berusaha menghentikan Diandra namun sia-sia.

Helaan napas berat dari Kala kemudian memecah keheningan. "Gue lupus."

Dua kata yang meluncur dari mulut Kala membuat Diandra jatuh bersimpuh, ia tiba-tiba saja menangis. Chandra yang berada di sebelahnya lantas dengan cepat menenangkan gadis itu. Bukannya Omar dan Chandra tidak kaget mendengar berita itu, tetapi mereka sadar pasti keluarga Kala jauh lebih sedih dan saat ini yang mereka butuhkan adalah dukungan moril dari mereka. "Udah, Di."

"Lo bilang udah? Kala itu sahabat gue!"

"Diandra!" Omar mulai kehilangan kesabaran, menegur gadis itu dengan nada yang sedikit tinggi.

"Udah, gue nggak apa-apa. Gue cuma jadi beda sama kalian."

Kali ini tatapan Omar melembut. "Lo nggak beda, lo sekarang itu spesial. Mau gimana pun lo tetap sahabat kita, jangan menghindar. Jangan pendam apa yang lo rasain, biar kita tahu. Biar kita bisa rasain sama-sama," ucapan Omar membuat mereka terdiam. Diandra memeluk Kala dengan erat, disusul dengan Chandra dan Omar yang juga memeluk dua gadis itu dengan erat.

Tidak ada satu pun yang boleh pergi dari kita.

Omar

30 Maret 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

30 Maret 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang