Enam : Alasan

1.9K 112 0
                                    

Gadis dalam balutan jaket merah itu tengah menangis memeluk nisan yang terlihat kusam. Air matanya belum berhenti sejak tiga puluh menit yang lalu. Embusan angin menggelitik wajah, anak rambut yang terlepat dari ikatannya menari-nari seakan menemani Kala di pemakaman yang terasa sepi sore itu.

Pusara di hadapannya terlihat terawat dengan rumput hijau rapi yang menutupi tanah. Nisan berwarna hitam itu baru saja selesai ia bersihkan dari debu yang menempel. Bunga lili yang ia bawa kemudian diletakkan di atas pusara ibunya.

"Bunda..." Kala berucap sembari mengusap nisan yang bertuliskan nama ibunya. "Kala kangen."

Semilir angin sore yang masih berembus seakan menusuk tubuhnya yang terasa ringkih. "Bunda apa kabar?" tanya Kala, seakan pusara di hadapannya bisa menjawab pertanyaan yang ia lontarkan.

"Kala baik-baik aja kok. Semuanya baik, Papa, Mama, Jian dan Kak Juna." Kala bercerita, dan tidak meminta jawaban apa pun. "Jian lagi pergi lomba, Bun. Dia makin pintar, Mama sama Papa selalu bangga sama Jian. Kak Juna juga, sudah kelas tiga sudah tau mau kuliah jurusan apa. Selalu masuk kelas unggulan, Bun. Tapi, kenapa Kala biasa-biasa aja ya? Padahal Mama sama Papa selalu kasih les yang sama. Kala kapan sih bisa banggain Bunda? Bisa banggain Mama sama Papa juga?"

Helaan napasnya terdengar berat sore itu. "Kalau Bunda masih disini, Kala mau dipeluk ya. Sudah lama, Kala hampir lupa pelukan hangat Bunda. Kadang, Kala suka tanya Bun ke Tuhan. Kapan ya Kala bisa ketemu sama Bunda lagi? Rasanya..." ucapannya sedikit terputus karena air mata yang tiba-tiba terurai dari pelupuk matanya. "Rasanya Kala sudah kangen banget sama Bunda. Pengen nyusul Bunda, tapi kapan, ya?"

Kemudian hening. Tidak ada pembicaraan yang keluar dari mulutnya. Seakan diam adalah cara ia berkomunikasi dengan ibunya. Tangannya terus bergerak mengusap nisan dengan lembut. Matahari hampir menggelincir ke ufuk barat, ponselnya sudah berdering sejak lima menit lalu. Ia melihat layarnya dan mendapati tiga panggilan yang barusan ia abaikan.

Kak Juna

Sedikit tersenyum ketika Kala ingin menelepon kembali, Juna lebih dulu melakukan panggilan. Tak menunggu lama, Kala menggeser ikon berwarna hijau di ponselnya.

"Halo," gadis itu membuka percakapan terlebih dahulu.

"Dimana?" Suara dari seberang terdengar khawatir. Kala belum pernah mendengar nada bicara seperti ini sebelumnya.

"Di makam Bunda." Helaan napas lega terdengar menggelitik di telinga Kala.

"Tunggu disana, Kakak jemput sekarang." Kemudian ponselnya menggelap. Kala tersenyum sumir, lagi-lagi mengusap pelan nisan di hadapannya.

"Kala pulang dulu ya, Bun. Kak Juna mau jemput. Besok-besok Kala datang lagi."

Gadis itu lantas beranjak meninggalkan pusara yang mendengar keluh kesahnya hari ini.

***

Sepanjang perjalanan, Juna dan Kala tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Juna pun tidak berusaha untuk berbicara pada Kala, ia tidak marah hanya sedikit sebal karena gadis itu tidak izin jika akan pergi. Betapa terkejutnya Juna, ketika ia sampai di rumah dan mendapati seluruh ruangan kosong. Lelaki itu kini menanggung beban untuk memastikan gadis yang kini masih berada di samping kemudi itu selalu baik-baik saja.

"Maaf," gadis itu berucap, ia tahu jika sebenarnya Juna tengah khawatir karena aksinya yang pergi ke makam tiba-tiba.

"Lo punya HP, kan?" tanya Juna, tatapannya masih fokus ke jalanan. Ia melirik sekilas Kala yang tengah mengangguk takut di sampingnya. "Menurut lo gunanya buat apa?"

Kala mengulum tangannya yang terasa berkeringat. Degup jantungnya tak karuan, Juna memang dingin, tapi ia bahkan tidak pernah memarahi Kala sekali pun. "Buat... ngasih kabar," jawabnya tertunduk dengan suara yang nyaris berbisik.

"Kalau sudah tahu, dilakuin!"

"I-iya."

Helaan napas kasar, kemudian terdengar di telinga Kala. Gadis itu memperhatikan wajah Juna yang terlihat kusut dan lelah. Perasaan bersalah kemudian menjalar lebih besar lagi setelahnya. "Maaf Kak, aku nggak bakal ulangin lagi."

Juna hanya mengangguk, kemudian melajukan mobilnya menuju rumah. Retina Kala menangkap beberapa bungkus makanan siap saji di bagian belakang tempat duduknya. Tetapi ia tidak banyak bicara dan membiarkan keheningan menguasai atmosfer sore ini.

Sesampainya di rumah, Juna mengambil makanan yang berada di jok belakang mobilnya, membiarkan Kala berjalan menuju pintu rumah dan membukanya agar mereka bisa masuk.

"Bersih-bersih badan dulu, abis itu makan disini." Juna berucap setelah menaruh bungkusan makanan di atas meja. Kala hanya membalas dengan anggukan kemudian memilih untuk masuk ke dalam kamar.

Tak berselang lama, Juna dan Kala sudah berada di kursi makannya masing-masing. Juna hanya memperhatikan wajah Kala yang terlihat semakin kuyu.

"Lo masih sakit, tapi sudah jalan-jalan," ucapan Juna mengalihkan atensi Kala pada sebagia tubuhnya yang terasa nyeri.

"Maaf," cicitnya kemudian, Juna mengeluarkan nasi serta lauk pauk yang sudah ia beli, lantas memberikan pada Kala terlebih dahulu. "Makasih kak," lanjut Kala ketika ia mendapati Juna yang tengah sibuk di depannya.

"Makan yang banyak, Papa sama Mama titipin lo ke gue."

"Iya kak," Kala melanjutkan makan tanpa bersuara. Manik matanya menangkap Juna yang juga tengah menikmati hidangan di depannya tanpa mengeluarkan suara. Betapa sunyinya rumah ini, bahkan ketika seluruh keluarga berkumpul pun tetap terasa sunyi.

Tidak ada pembicaraan berarti bahkan setelah mereka menyelesaikan makan. Langkah Kala terhenti di depan pintu kamar karena panggilan dari Juna yang tiba-tiba menginterupsi pendengarannya.
"Kalau butuh apa-apa hubungi kakak, ya." Kala hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian ia masuk ke dalam kamar setelah melihat punggung Juna menghilang dibalik daun pintu berpelitur cokelat itu.

Kak Juna waktu manggil Kala sebelum masuk kamar

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang