Tiga Puluh Delapan : Bitter

1.5K 97 0
                                    

Seharian Kala mengikuti kemana pun Arjuna pergi, mulai dari menyiapkan barang bawaan hingga makan. Rasanya gadis itu ingin menghabiskan waktu dengan pemuda itu sebelum ia harus berjauhan.

"Kal, kamu mau ikutin kakak kemana lagi?" Kala tentu saja hanya menyunggingkan senyum setelah Arjuna merasa risih.

"Aku nggak mau jauh-jauh dari kak Juna!" Ia kemudian menarik baju yang Juna kenakan. Kaos berwarna hijau itu bahkan sudah terlihat kusut karena cengkeraman Kala yang kuat.

"Yaudah, tapi ini kakak mau pergi ke toilet. Kamu mau ikut juga?"

Gelengan Kala menjadi jawaban, gadis itu kemudian pergi ke kamarnya sendiri. Setelah Juna menyelesaikan mandi dan bersiap tentu saja pemuda itu akan pergi meninggalkan rumah. "Ah..." helaan napas Kala terdengar nyaring. Ia sedikit mual, sejujurnya sejak tadi pun begitu. Hanya saja ia tidak ingin sedikit pun berada jauh dari Juna.

"Kak! Turun dulu, itu kak Juna udah mau siap-siap." Jian mengingatkannya, setelah sekitar lima belas menit gadis itu tertidur.

Langkah Kala terlihat tidak bersemangat, selain tubuhnya yang mendadak tidak nyaman ia pun tak rela ditinggal Arjuna pergi. Arjuna mendekati Kala yang wajahnya sudah tertekuk karena sebal. "Senyum dong, lagian kakak bakal pulang akhir minggu ini. Sebentar aja, cuma buat ngurusin ospek."

"Aku cuma takut nggak bisa ketemu kak Juna lagi."

Arjuna kemudian memeluk gadis itu dengan sayang, ia terkekeh dan membiarkan Kala merasa nyaman berada di dekatnya. "Kakak nggak bakal kemana-mana." Setelahnya Kala hanya mengangguk.

"Udah! Udah! Kala, lihat tuh kak Juna udah ditungguin sama mobil angkutan. Nanti kak Juna bakal pulang lagi, nggak perlu lebay begitu." Ariana lagi-lagi memperingatkan Kala yang terlihat sangat manja pada Arjuna.

Tentu saja gadis itu tak mengindahkan perkataan Ariana padanya. Dhika hanya melihat tanpa banyak berkomentar. Lelaki paruh baya itu menarik tubuhnya. Menjauhkan dirinya dari Arjuna yang bahkan sudah membawa tas ransel serta ponsel di sakunya.

"Kamu yakin nggak perlu diantar?" Dhika bertanya setelah membantu menaikkan barang.

Pemuda itu mengangguk pasti, ia tersenyum riang. Terlihat sangat tidak punya beban dimata Kala. "Aku bakal pulang satu minggu lagi, diantar juga buat apa?"

Setelah Arjuna berpamitan dan memasuki mobil, keempatnya masuk kembali ke dalam rumah. Kala duduk di sofa ruang tamu sembari meluruskan kakinya yang bengkak, ia masih mual dan mengingat ini adalah jadwalnya cuci darah. "Pa!" panggilnya ketika Dhika berjalan melewati dirinya.

Dhika tidak menjawab, hanya menaikkan kedua abisnya secara bersamaan. Kala mendesak pasrah, ia seperti sudah terbiasa. "Aku hari ini cuci darah, bisa minta tolong temani?"

Lelaki paruh baya itu tidak menjawab, tidak juga mengangguk. Ia melepaskan tautan tangan Kala pada lengannya. Kemudian pergi menuju dapur dan bercerita dengan suara yang terdengar lembut pada Ariana. Kala tersenyum, ia berjalan perlahan menuju kamarnya. Sangat tidak mungkin mengajak Jian, belakangan pemuda itu tengah sibuk mempersiapkan esai untuk lomba internasional.

"Aku bisa sendiri," ucapnya kemudian mengeluarkan sweater dari dalam lemarinya. Mengambil tas selempang kemudian memasukkan dompet serta ponsel yang ia miliki dengan asal.

Matanya berpendar ke penjuru ruangan, sudah tak tampak kedua orang tuanya di dapur. Ia segera keluar rumah dan menutup pagar sebelum mencari tempat berteduh selagi menunggu taksi yang ia pesan datang.

Tak berselang lama, taksi pesanannya pun sampai. Ia membuka pintu dengan cepat karena merasa teriknya matahari sudah mulai membuatnya semakin tak nyaman. Kala hanya menghabiskan waktunya untuk berdiam diri, tidak pula melihat ponselnya yang sejak tadi berdering.

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang