Delapan : Cita-cita

2K 125 0
                                    

Kala sadar dan menemukan dirinya sudah berbalut pakaian khusus pasien, lengan kirinya sudah tertancap selang infus. Matanya masih cukup berat untuk bisa terbuka seperti biasanya. Tapi ia merasakan dimana lengan kanannya seperti mendapat beban berat. Ia menemukan Juna tengah terlelap, wajahnya terlihat lelah tetapi Kala memilih untuk tidak mengganggunya dan gadis itu memejamkan matanya kembali.

Bau antiseptik menusuk indera penciuman Kala yang sepertinya baru berfungsi secara normal. Siluet tubuh ayahnya yang begitu ia hapal membuatnya menangis. Juna yang sadar terlebih dahulu lantas berlari menuju dirinya.

"Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Juna kemudian, wajahnya masih sangat terlihat lelah. Lingkaran hitam yang tiba-tiba saja menghias wajah tampannya.

Dhika pun berlari mendatangi putri semata wayangnya. "Kenapa?"

"Maaf aku buat kalian susah." Usapan tangan Dhika pada kepala Kala semakin terasa. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke dahi putrinya.

"Nggak, kamu nggak pernah ngerepotin Papa."

Juna mengangguk juga, ia masih iba melihat keadaan adiknya yang berubah drastis dalam semalam. Kali ini ruam di pipinya terlihat jelas, tidak ada rona bahagia yang sering terpancar di wajahnya. Juna hanya mampu memperhatikan.

"Kak... sekolah."

Lelaki itu masih menggenggam tangan Kala, ia seakan tidak mau melewatkan satu detik pun dengan adik tirinya ini. "Kakak udah ijin."

Kala tertawa, belakangan ia selalu mendengar Juna menyebut kata 'Kakak'. Alih-alih lo. "Kala seneng banget, kak Juna udah mau sayang sama Kala."

Sejujurnya Juna pun tidak pernah merasa membenci Kala. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana cara berekspresi dihadapan orang asing. Ia tidak pernah terganggu dengan kehadiran gadis itu. Hanya saja, ia selalu gengsi untuk memperlihatkannya.

"Kalau seneng, cepat sembuh ya."

***

Dhika terduduk lemas di kursi yang ada di depan ruangan Kala. Mendengar perkataan dokter membuat seluruh tulang di tubuhnya terasa tidak lagi mampu menopang dirinya. Satu-satunya yang tersisa dari mendiang istrinya. Anaknya. Darah dagingnya yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang, kini tengah menderita. Kelainan sistem kekebalan tubuh membuat ia tidak bisa seperti gadis normal pada umumnya.

Lupus. Penyakit yang entah darimana asalnya hingga membuat gadis kecilnya menderita. Air matanya menetes, ia segera berlari menuju toilet dan berkali-kali memukul dadanya. Rasa sesak itu tiba-tiba saja membuncah. Tapi ia tidak bisa memperlihatkan hal itu di depan anak-anaknya. Ia harus menjadi seseorang yang kuat, agar semua orang dapat bersandar di bahunya. Dhika mengembuskan napas berat, kemudian mencuci mukanya yang terlihat lelah. Ia menatap anak rambut yang tidak terlihat rapi seperti biasanya. Semuanya terlalu berantakan, ia tidak pernah membayangkan hidupnya pun akan seberantakan ini dalam semalam.

"Kak, nanti kalau sudah pulang. Kala boleh main ke kamar kakak?" tanya gadis itu sembari melihat ke arah pintu menunggu Papanya tiba.

"Boleh." Juna masih sibuk membolak-balik lembar soal yang ia baru saja ambil dari rumah.

Gadis itu sadar bahwa Juna bukannya tidak suka dengan dirinya, tetapi memang terlalu dingin untuk menghangatkan dirinya.

"Cita-cita kakak apa?" pertanyaan yang entah bagaimana membuat relung hati Juna menjadi hampa.

Lelaki itu lupa. Ia tidak pernah menempatkan cita-citanya diurutan pertama. Tidak seperti Jian yang bisa memilih banyak cita-cita. Tidak seperti temannya yang lain. Ia tidak pernah menanyakan itu pada dirinya, selama ini Juna hanya fokus untuk membuat kedua orang tuanya melihat dirinya. Tidak untuk mencapai cita-citanya.

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang