Dua Puluh Satu : Choice

1K 68 0
                                    

Kala menjalani hari seperti biasanya, ia tak lagi mempedulikan sahabatnya yang masih tak mau bersua. Tak juga menanyakan kabarnya setelah hampir dua minggu tak hadir di sekolah. Tidak membantunya dalam menyelesaikan tugas dan ulangan harian yang tertunda. Kala sedih jujur saja, tetapi ia berusaha baik-baik saja. Belum lagi orang tuanya selalu berpesan agar ia tak banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting. Walaupun menurut Kala, urusan sahabatnya itu semua penting.

Pagi ini seusai upacara bendera, semua siswa harus mengumpulkan sampah di area sekolah. Tidak ada pemberitahuan jika jam kosong hari ini, dengan semangat yang tipis semua warga sekolah mengumpulkan sampah yang mereka temui di area sekolah.

"Dih, panas banget. Mana harus keliling sekolahan."

Kala mendengarkan saja, ia pun merasa demikian tetapi berkat obat yang ia konsumsi belakangan berdosis sedikit tinggi membuatnya tidak selemas biasanya. Walaupun dengan berat hati, Kala memang harus menghindari matahari semampu dirinya.

"SEMUA SISWA BERKUMPUL DI LAPANGAN UPACARA MEMBAWA SAMPAH YANG SUDAH TERKUMPUL."

Suara yang berasal dari pengeras suara itu membuat atensi seluruh siswa teralihkan, berbondong-bondong semua siswa menuju lapangan upacara membawa sampah-sampah yang sudah dikumpulkan dalam kresek.

Agenda hari senin ini adalah pilah sampah. Setelah mengumpulkan sampah, kala beringsut mundur untuk mencari tempat yang lebih teduh. Kakinya sudah sedikit lemas, karena tenaganya lumayan terkuras ketika mencari sampah tadi. Ia sengaja duduk di pinggir lapangan, sesekali menyeka permukaan dahinya yang penuh dengan keringat.

"Ih kasihan banget, dia sekarang dijauhin sama temannya. Mungkin gara-gara penyakitan."

Kala mendengarnya, tetapi gadis itu memilih diam dan menebalkan pendengarannya saja. Giliran Kala maju untuk memilah sampah. Ia melihat Omar berdiri di barisan penerima sampah yang dapat di daur ulang, tanpa menoleh dua kali, dengan cepat Kala menyelesaikan pekerjaannya kemudian segera kembali ke dalam kelas.

"Kal...," tidak salah mendengar, kali ini Omar bersuara. Mungkin ia merasa iba oleh Kala yang lemah dan sendirian. Kala tidak mempedulikan panggilan pemuda itu, lantas mengambil langkah besar untuk segera pergi.

"Mau kemana?" tanya seorang temannya yang melihat Kala terburu-buru meninggalkan lapangan.

"Mau ke kelas aja."

Gadis itu dengan cepat berjalan tanpa kembali mendengarkan jawaban dari temannya. Langkahnya berhenti tepat di tempat ia pernah melakukan kesalahan, gadis itu memilih duduk dan merasakan semilir angin yang membelai wajahnya. Menertawakan kebodohannya sendiri sehingga membuat teman-temannya tak lagi percaya pada dirinya.

***

Kala tak merasa senang lagi ketika ia berada di sekolah, tidak ada yang menghibur dirinya ketika hatinya tengah gundah. Maupun gurauan sahabatnya yang kini hanya ia mampu nikmati dari jauh. Jika ada yang lucu, Kala mati-matian menahan tawa agar tidak terlihat memperhatikan. Ketika suapan ketiga sudah ia telan, tekadnya bulat untuk berbicara pada kedua orang tuanya.

"Pa, aku mau pindah sekolah boleh?"

Pertanyaan Kala cukup membuat semua orang yang kini berada di meja makan terkejut. Pasalnya mereka tidak tahu alasan gadis itu meminta untuk pindah sekolah karena apa, semuanya terlalu tiba-tiba.

"Kenapa? Bukannya kamu udah senang ya sekolah disana?"

Kala diam, ia tidak ingin bercerita tentang renggangnya hubungan persahabatan mereka. "Mau aja, aku malu semua orang tahu aku sakit terus jadi sering dipandang sebelah mata."

"Kamu jadi mau home schooling aja?" Ariana yang kini lebih dulu bersuara.

"Boleh?"

Ariana dan Dhika berpandangan, menyisakan tanda tanya yang besar. "Yaudah kalau kamu mau begitu, mulai besok Papa ke sekolah buat minta surat pengunduran diri."

Arjuna dan Jian tidak bersuara sama sekali, mereka tidak ingin membuat suasana hati Kala menjadi lebih suram.

"Makasih, Pa." Kala kembali menunduk setelah menjawab. Ia memperhatikan makanan di depannya dengan tidak berselera.

"Yakin kamu nggak menyesal sama keputusan ini?"

Kala diam, sejujurnya ia tidak mau. Tetapi untuk apa selama ini juga ia harus bertahan sendiri di sekolah. Lebih baik ia yang menghindar daripada tersiksa. Gadis itu mengangguk kemudian menatap kosong piring yang masih menyisakan separuh hidangan.

Mati-matian Jiandra mengalihkan perhatian Kala, sedari tadi bungsu dari keluarga mereka sibuk mengajak gadis itu bermain. Mulai dari monopoli hingga mengajak Kala untuk bermain petak umpet. Walaupun diluar ekspektasi Jian, gadis itu justru memilih bermain catur. Tanpa bicara, seolah Kala berpikir padahal ia menjalankan asal pion catur itu.

"Kak! Aku udah menang lima kali loh, ini mainnya beneran nggak sih?" gerutu Jian, bukannya senang justru merasa sebal karena melawan Kala tidak ada perlawanan sama sekali.

"Oh iya, selamat ya. Kakak capek, mau istirahat, boleh?"

Jam belum menunjukkan pukul sembilan, tetapi Kala sudah memutuskan untuk mengistirahatkan kepalanya. Jian tidak terlihat senang, pasalnya ia merasa sia-sia sudah berusaha menghibur Kala malam ini.

"Yaudah deh, aku keluar ya Kak. Kalau ada apa-apa bisa telpon, kan?"

Kala tersenyum tipis kemudian mengangguk. Gadis itu bahkan sudah lupa dimana ia menaruh benda segiempat yang dulu tak pernah luput dari genggaman. Ia merebahkan tubuhnya kemudian mengawang, segala pikiran tentang teman-temannya membuatnya tak tenang sama sekali. Kala selalu berpikir jika ia adalah beban untuk teman-temannya, ternyata semuanya benar. Ia adalah beban, terlebih untuk seluruh orang terdekat.

"Berisik!"

Kala berbisik, memukul kepalanya yang terasa berisik. Membiarkan tubuh lelahnya tenggelam dalam tangisan yang belakangan sering menemani malamnya.

Tangisnya pecah, Kala dengan sekuat tenaga menahan agar isakannya tak terdengar dari luar, terlebih untuk kamar yang berada di sebelah yaitu kamar Arjuna dan sialnya setelah Kala divonis sakit, tak ada lagi peredam suara yang terpasang di kamarnya. Gadis itu menahan isak walaupun sesak, menenggelamkan wajahnya dalam selimut kemudian menggigitnya berusaha agar tak mengeluarkan suara. Tapi salah, Arjuna justru sudah berdiri di depan pintu kamar Kala. Pemuda itu berjalan menuju tempat tidur adiknya dan menggenggam tangan Kala yang terasa begitu dingin juga gemetar.

"Kal! Kenapa kok teriak-teriak? Ada yang sakit?" Kala tidak menjawab ia semakin terisak, matanya terbuka hanya saja tatapannya kosong. Arjuna kembali mengusap lengan dan puncak kepala Kala yang terlihat sedikit. Dengan paksa, Arjuna membuka selimut yang menutupi sebagian wajah Kala.

"Kenapa? Kamu kenapa?" tanya Arjuna kemudian membawa Kala dalam pelukannya. Gadis itu menangis, kali ini tanpa suara hanya isaknya yang keluar memenuhi ruangan.

"Maafin aku, Kak. Aku memang beban buat kalian."

"Kenapa sih, Kal? Beban apa? Kita ini sama aja, Kakak, kamu atau Jian sekalipun. Nggak ada beban buat keluarga, kalau kamu merasa malu dan minder pergi ke sekolah, nggak apa-apa sekolah di rumah. Nanti kakak bisa bantu ngajarin kalau kamu kesulitan, tapi kakak mohon cerita Kal. Kakak nggak bisa nebak apa yang ada di pikiran kamu."

Kala hanya menumpahkan air matanya di dada Arjuna. Ia tidak segan membasahi baju abu-abu yang kini Juna gunakan. Arjuna bisa menebak jika Kala dan sahabatnya tengah bertengkar, karena pemuda itu begitu paham tabiat teman-teman Kala. Ketika gadis itu sakit saja tidak ada satu pun yang menjenguk, hanya Omar yang beberapa kali menanyakan keadaan Kala lewat dirinya. Arjuna sangat ingin tahu alasan sebenarnya, tetapi bibirnya tak kunjung mengeluarkan pertanyaan. Akhirnya Arjuna hanya diam tanpa banyak bertanya, menurutnya mungkin kali ini diam adalah pilihan terbaik.

19 September 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang