Sepuluh : Activities

1.6K 93 0
                                    

Takdir selalu berjalan tanpa menunggu seseorang siap menerima atau tidak, semuanya sudah diatur dan kita menjalani. Takdir tidak selalu membawa ke arah yang bahagia, namun selalu percaya bahwa diujung derita ada seberkas cahaya yang membawa kebahagiaan abadi. Mungkin itu yang dinamakan berdamai dengan takdir, ketika sudah mampu menerimanya maka kebahagiaan pun akan datang dengan sendirinya.

Seperti itu yang akhir-akhir ini Kala tanamkan dalam pikirannya. Ia terlalu lama meratap dalam kesedihan mendalam, ia tidak pernah melihat bagaimana Mamanya selalu berada disisinya saat titik terendah. Ia tidak pernah tahu jika Arjuna selalu menjaganya dan tidak pernah sadar jika Jian selalu memperbaiki setiap tugasnya. Gadis itu tidak pernah tahu, setiap orang di rumah ini saling menjaga dan menyayangi.

Entah harus bersyukur atau bersedih, satu minggu ia harus di rawat dan membuat keluarganya tidak bisa tidur nyenyak membuat Kala paham. Tidak ada satu orang pun yang pulang ke rumah, mereka menjadikan ruangan Kala adalah rumah kedua. Jian dan Arjuna yang tidur di sofa, Mama dan Papanya yang tidur beralaskan kasur lipat. Tidak pernah sebelumnya Kala membayangkan hal seperti ini terjadi.

"Kala, ini bekalnya dibawa ya. Jangan panas-panasan kalau bisa nggak perlu upacara. Mama sudah telepon wali kelasmu. Obatnya juga jangan lupa diminum ya." Pesan yang terurai dari bibir Ariana membuat hati Kala menghangat. Ia memang sakit, tetapi semua orang memenuhi janjinya untuk menemani derita yang menghampiri dirinya.

"Punya Jian sama Kak Juna mana, Ma? Hari ini apa menunya?" tanya Jian yang tiba-tiba bergabung di meja makan. Lengkap dengan seragam SMP miliknya, begitu rapi.

Belum sempat Ariana membuka mulut, anak tertua di keluarga itu pun bergabung. Dasinya belum terpasang dengan sempurna, wangi peppermint yang menguar dari tubuhnya lebih dulu sampai indera penciuman Kala dibandingkan sang empu. "Nih bekal kalian, hari ini salad ya. Mama kesiangan." Ketiganya mengangguk mahfum.

Arjuna menyambar satu lembar roti dan meminum susu dengan cepat, matanya fokus menatap jam tangan yang melingkar di lengan kanannya. "Yuk berangkat, kakak hari ini tugas."

Kala mengangguk dan segera memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas. "Ma, Kala sama Juna berangkat ya." Arjuna berpamitan dan mencium tangan Ariana. Jian yang masih menikmati sarapannya juga lantas menyodorkan tangannya.

Senyumnya terbit, gigi rapi nan putih itu tersungging ketika didapati wajah masam Juna. "Hati-hati ya!" Kala mengangguk dan mengikuti Juna yang sudah lebih dulu keluar dari rumah.

***

"Kal, jadi lo nggak boleh upacara ya? Enak dong, gue mau juga." Chandra yang baru saja datang lantas mengiterupsi pembicaraan Kala dan Diandra dengan pernyatannya.

Mata Diandra memicing ketika paham bahwa candaan Chandra bisa saja membuat Kala sedih, karena ia tidak bisa beraktivitas lebih seperti orang lain. "Jangan mau kayak gue Chan, penyakitan." Tawa tipis Kala membuat Chandra tersadar bahwa kata-katanya salah.

"Eh, nggak gitu maksudnya Kal." Chandra terlihat kebingungan, tanggannya menggaruk kepala yang tak gatal.

Suara bel tanda masuk sudah berbunyi, untuk menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyapa, Diandra dengan cepat mengajar Chandra untuk segera pergi ke lapangan. Omar yang datang dari kelas lain, berdiri dihadapan Kala setelah Diandra dan Chandra berlari menuju lapangan.

"Loh, itu mereka baru aja pergi." Kala mengisyaratkan dengan jemarinya seolah Chandra dan Diandra masih terlihat.

"Iya, gue mau liat lo dulu." Omar mengatakan hal itu dengan cara yang sangat santai. Senyumannya merekah, dan membuat pipi Kala memanas.

"Hah?" untuk menutupi kegugupannya, gadis itu berpura-pura tidak paham dengan maksud pembicaraan Omar.

"Lo udah sehat, kan? Gue mau lihat lo pakai seragam sekolah, karena terakhir gue lihat lo pakai seragam pasien."

Kala tersenyum, kemudian menanggapi. "Iya, gue udah sehat nih."

"Yaudah, gue tinggal ke lapangan ya."

Hanya berselang beberapa detik saja, bayangan punggung tegap milik Omar sudah menghilang ditelan jarak, begitu pula aroma tubuhnya. Kini yang tertinggal hanya semburat merah di pipi Kala.

Gadis itu sudah diizinkan untuk tidak mengikuti upacara bendera Hari Senin ini, sebagai gantinya ia harus mendengarkan petuah yang diberikan oleh guru pagi itu. Kala duduk di kursi teras kelas yang tepat berada di dekat lapangan upacara. Petuah yang setiap Senin diucapkan tidak berbeda hanya sedikit improvisasi sesuai dengan siapa yang menyampaikan. Masalah tata tertib, kebersihan dan kegiatan belajar tentunya.

Matahari memang tengah terik-teriknya. Beberapa kali gadis itu mencuri pandang melalui celah jendela kelas, melihat betapa banyak siswa yang kepayahan di sana. Belum lagi tandu-tandu petugas PMR yang lalu lalang sejak tadi. Baru sehari, tetapi Kala merindukan banyak kegiatan yang biasa ia lakukan. Tangannya saling meremas setelah merasa hatinya sedikit sesak karena ia tahu keadaannya kini berbeda.

"Gile, hari ini panas banget tau." Diandra yang muncul pertama kali dan ia lantas mendudukkan bokongnya di kursi panjang samping Kala.

"Iya, haus banget sumpah. Gue liat-liat tadi banyak banget yang pingsan. Mana bu Sutami lama banget ceramahnya." Sungut Chandra berapi-api. Ia mengibaskan seragamnya untuk menghilangkan sedikit keringat yang ada. "Liat nih, gue keringetan banget."

"Nih. Daripada banyak omong lo." Omar yang baru saja ikut berkumpul dengan Diandra, Chandra dan Kala membawa sekantong air mineral dingin.

"Lo emang paling baik sedunia." Chandra tanpa aba-aba mengambil satu botol air mineral itu dan lantas meneguknya hingga tandas.

Kala dan Diandra hanya menggeleng pasrah melihat Chandra yang selalu ribut dan berapi-api. "Nih buat kalian." Omar memberikan dua botol air mineral dingin yang masih berada di dalam kantong plastik. Kala menerimanya kemudian ia menggumamkan kata terima kasih.

"Gue denger-denger buat HUT sekolah ntar bakal ada banyak lomba dan wajib diikuti semua siswa." Chandra membuka pembicaraan setelah beberapa saat yang lalu mereka memasuki kelas.

"Tau dari mana?" Diandra yang pertama kali menanggapi.

"Ya gue kan koneksinya banyak. Nggak kayak lo yang nolep." Chandra lantas mendapat pukulan ringan dari Diandra.

"Yang punya kakak ketua osis aja nggak songong kek lo dah Chan." Omar menepuk pundak Chandra sembari tertawa. Diandra dan Chandra adalah paduan tepat untuk menciptakan dunia tanpa kedamaian.

"Gue nggak ada tanya sama Kak Juna sih, tapi mungkin aja. Soalnya Kak Juna rapat tiap hari banget, pulangnya malem terus masih lanjut persiapan ujian. Lagipula ini memang kegiatan terakhir sebelum ganti pengurus, kan?" Kala menerangkan panjang lebar, dan kemudian dibalas dengan anggukan tiga orang di hadapannya secara bersamaan.

"Bener sih, menurut gue juga nggak mungkin kepengurusan tahun ini nggak mau kasih yang terbaik. Lo pada tahu kan, betapa pengurus OSIS tahun ini emang terbaik dari yang sebelum-sebelumnya?"

Chandra terlihat tidak setuju, ia lantas menimpali. "Lo ngomong gitu awas digorok loh Di. Tiap kepengurusan tuh pasti punya nilai positif dan negatifnya masing-masing."

"Gue setuju, karena kita kan nggak tahu gimana pressure di dalamnya." Omar menambahi.

Kala juga mengangguk setuju. "Bener, Di. Jangan banding-bandingin ntar kalau ada yang denger salah paham kan bahaya."

"Padahal gue cuma mau ngebela Kak Juna doang." Diandra berucap kemudian memperhatikan temannya satu per satu.

Tidak ada jawaban yang berarti, hanya sebuah pukulan ringan dari botol kosong milik Chandra yang mendarat di lengannya. "Dasar lo bucin."

04 Mei 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang