Enam Belas : Untitled

1K 66 0
                                    

"Hari ini ujian terakhir ya, Jun?" tanya Ariana membuka percakapan pagi itu. Ia memberikan sepiring nasi putih, membiarkan anak lelakinya memilih sendiri lauk yang diinginkan.

Anggukan Arjuna menjadi jawaban. Ia tidak ingin banyak bicara, jujur saja Arjuna tidak merasa baik-baik saja hari ini. Setelah hampir dua minggu ia berkutat dibalik semua buku pelajaran, hari ini adalah final. Walaupun lelaki itu sadari jika perjuangannya belum berakhir hingga nanti pengumuman jalur undangan.

Uhuk... uhuk

Arjuna dengan cepat mengambil air mineral di hadapannya. Ia merasa tubuhnya lemas bukan main, tetapi ia harus baik-baik saja hingga nanti. "Papa antar ya, Jun. Kamu pucat banget," ucap Dhika kemudian telapak tangannya memegang puncak kepala Arjuna yang memang terasa panas. "Kamu demam, ya?"

Ariana tampak khawatir, tak berbeda dengan Kala. Gadis itu pun ikut memperhatikan raut Arjuna yang tidak bersinar seperti biasanya. "Juna nggak apa-apa kok. Tapi Pa, Juna mau dianter hari ini."

Dhika, Arjuna dan Jian berada di satu mobil yang sama. Tidak ada pembicaraan yang terdengar, bukan karena saling marah hanya saja Arjuna tiba-tiba tertidur setelah mereka keluar dari pintu gerbang kompleks perumahannya. Dhika menatap kasihan pada anak sulungnya itu, gurat lelah dan lingkaran hitam pada matanya membuat hatinya berdesir.

"Jun, sudah sampai." Dhika membangunkan Arjuna dengan lembut, ia tidak ingin membuat putranya semakin pusing. Mata indah Arjuna mulai terbuka, sesekali ia menyipitkan mata karena menghalau sinar yang masuk ke retinanya.

"Juna tidur ya, Pa?"

Dhika hanya tersenyum kemudian mengangguk. Arjuna mengamit tangan Dhika kemudian menciumnya. "Semangat ya, nanti kalau sudah selesai Papa jemput."

Arjuna kemudian turun tepat di depan gerbang sekolahnya, Jian sudah turun terlebih dahulu. Ia bahkan tidak menyadari ketika adiknya meninggalkan mobil. Langkahnya sedikit berat, pemuda itu merapatkan jaket yang ia gunakan hari ini. Rasanya setiap embusan angin membuat seluruh tubuhnya terasa linu. Lantas Arjuna mempercepat langkah kakinya agar segera bertemu tempat duduk.

Ruang kelas terasa begitu dingin bagi Arjuna, jaket yang ia tanggalkan sedari jam pertama ujian hari ini membuatnya semakin tersiksa. Matanya memanas mengikuti suhu tubuhnya yang semakin tinggi. Berkali-kali ia menyadarkan dirinya yang nyaris saja memejamkan mata. Susah payah, Arjuna menyelesaikan ujian sekolah hari ini. Mata pelajaran penutupnya adalah Seni Budaya. Ia tidak lagi fokus, dengan cepat mengisi seluruh jawaban dan mengirimkan jawabannya.

"Maaf...," racaunya setelah berhasil mengirim jawaban dan menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangan.

Pusing dan mual sepertinya sedang ingin menyiksa Arjuna hari ini. Ia sudah tidak sanggup beranjak meninggalkan ruangan, seluruh badannya terasa lemas. Berkali-kali Arjuna ingin mengangkat kepalanya, walaupun ia mendengar panggilan dari teman-teman dan gurunya tubuh pemuda itu tidak sanggup merespon. Hingga ia hanya mampu mendengar sayup-sayup orang berbicara.

"Bawa ke UKS dulu, tolong! Tolong ini digendong!"

***

Hal pertama yang Arjuna sadari ketika membuka mata adalah ia tak lagi berada di dalam kelas untuk melaksanakan ujian. Tidak pula berada di kamar tempatnya mengurung diri. Bau desinfektan yang menyengat membuat pemuda itu tahu jika saat ini ia berada di rumah sakit. Tangan kirinya sudah terpasang infus, matanya masih sedikit buram dengan kasar ia mengusap wajahnya menggunakan tangan yang bebas.

Ariana berlari ketika melihat Arjuna membuka mata, ia menghampiri anak sulungnya kemudian mengusap lembut puncak kepalanya. "Masih pusing, sayang? Kamu buat kita semua khawatir."

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang