Dua Puluh Tiga : Terkuak

1.3K 74 2
                                    

Dhika membuka kamar Kala yang sejak dua jam lalu ia memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya. Pintu berpelitur cokelat itu menampakkan tubuh yang berselimut tebal di atas tempat tidur. Matanya terbuka, hanya saja tidak ada kegiatan berarti oleh sang empu.

"Kok bengong? Tumben banget nggak main hp?" Dhika bertanya kemudian duduk di pinggir tempat tidur milik Kala. Ia mengelus pelan rambut putri satu-satunya itu. "Papa lihat, belakangan Kala jarang main hp ya? Ada masalah?"

Kala beringsut memeluk tubuh Dhika, ia merindukan ayahnya yang dulu selalu bersedia memeluknya setiap hari. Gelengan kepala Kala menjadi jawaban, Dhika masih berusaha mengulik jawaban dari semua pertanyaan yang sudah ia sampaikan.

"Kala bosen aja main hp. Lagian, sudah nggak ada grup kelas lagi."

Dhika menarik perlahan dagu Kala, memposisikan kepalanya hingga mata mereka saling bertatap. "Kala nyesel pilih home schooling? Kemarin Papa udah yakinin Kala loh ya, baru seminggu tapi kamu sudah muram begini." Helaan napas yang tiba-tiba saja memberat membuat Kala tertunduk. "Bahkan, guru Kala kemarin aja mikir ada apa-apa sama kamu loh."

"Nggak, nggak nyesel. Gurunya baik kok, kalau nggak paham juga Kak Juna masih mau bantuin Kala."

"Tapi kamu kelihatan banget lagi nyembunyiin sesuatu." Dhika tak lagi memaksa Kala untuk menatapnya. "Papa kenal kamu dari kamu lahir loh, sayang."

Kala justru lebih sibuk menenggelamkan wajahnya pada dada bidang ayahnya. Gadis itu bukannya ingin menambah beban pikiran, hanya saja menjauh justru tidak memberikan hasil yang baik bagi dirinya. Terkadang, Kala masih ingin menghubungi Diandra atau Chandra. Bahkan beberapa kali juga, gadis itu mengetikkan sesuatu di grup. Hanya saja, semua pesan itu tak lantas ia kirimkan. Justru ia hapus dan memilih untuk tidak membuka ponselnya terlalu sering.

"Sebenarnya Papa mau sampaikan sesuatu sama kamu. Karena semakin lama di pendam juga ini bukan hal baik yang kamu nggak perlu tahu. Tapi, ngeliat kamu yang banyak pikiran begini Papa jadi bimbang."

Kala menjadi tertarik setelah mendengar penuturan Dhika, ia memfokuskan semua inderanya pada orang yang sedari dulu tulus menyayanginya itu. "Kenapa, Pa? Soal kondisi aku ya?"

Kali ini Kala merubah posisi menjadi duduk menghadap Dhika. Mata lelaki paruh baya itu tak lagi memancarkan percaya diri yang seperti biasanya. Tangan besarnya yang dulu hangat, kini terasa dingin di lengan Kala. Gadis itu seakan paham, sepertinya ini berkaitan dengan kondisi tubuhnya. Ia tidak memungkiri jika ketakutan semakin menggerogoti dirinya, hanya saja Kala berusaha sekuat mungkin menghadapi takdir yang selalu mempermainkannya.

"Pa?" tanyanya sekali lagi setelah tak mendapat jawaban dari Dhika. Matanya menelisik netra legam milik lelaki itu, tatapan menyakitkan dan sedikit kasihan dapat Kala tangkap setelah memandangnya beberapa waktu. "Aku sekarat, ya?"

Seperti menghujam jantungnya, kata-kata yang selalu ia hindari ketika menggambarkan keadaan putrinya saat ini. Dhika tiba-tiba saja menangis, memeluk Kala dengan erat dan berulang kali mengucapkan "Jangan tinggalin Papa." Kala hanya berusaha tegar, ia masih belum tahu keadaan yang sebenarnya. Gadis itu hanya tidak ingin melihat Dhika lebih khawatir dengan keadaannya. Lengan kurus Kala mengusap pelan punggung yang sedari dulu menjadi favoritnya itu.

"Kala masih disini, Pa. Walaupun sekarat, Kala masih ada disini."

Gelengan kepala Dhika semakin kuat, ia tidak ingin mendengar kata sekarat itu. Terlebih, kata-kata itu berasal dari mulut putrinya sendiri. "Papa mohon, jangan bilang diri kamu sekarat. Kamu itu masih seperti yang dulu."

Kala tersenyum, menatap wajah memerah Dhika. "Kalau memang Kala nggak sekarat, Papa nggak mungkin nangis sebegininya."

Dhika terdiam, ia kembali memeluk tubuh kurus Kala. Memberikan kehangatan yang ia sadari sudah lama menghilang. "Kala mau ngaku sama Papa. Tapi, Kala takut kalau Papa bakal jauhin Kala."

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang