Dua Puluh Tujuh : Harapan

1.2K 88 3
                                    

Kaki Arjuna lemas bukan main ketika melihat adiknya tengah berjuang di IGD. Tadinya Arjuna sudah pamit pulang untuk melihat keadaan Kala di rumah, namun kebetulan sekali ponselnya berdering dan menampilkan nama Omar di layar. Tangannya tidak berhenti bergetar sejak tadi, ia memutar kembali ingatan saat pagi tadi Kala terlihat tidak baik. Ia membenci realita jika dirinya ikut andil membuat keadaan Kala memburuk.

"Kenapa bisa?" Omar baru saja duduk di sampingnya sembari menyerahkan satu botol air mineral, tetapi pertanyaan Arjuna lebih cepat dari dugaannya.

"Bukannya gue yang harusnya nanya, ya Kak?" Manik mata Juna meredup, ia mulai menghakimi dirinya sendiri.

"Tadi gue panik, Jian kecelakaan."

Omar menghela napas kasar. "Tadi Kala nelpon gue, dia cuma bilang tolong. Suaranya bahkan udah nyaris nggak kedengeran." Mata Omar terpaku melihat pintu IGD yang masih tertutup. "Gue baru mau masuk kelas, ulangan nggak mungkin pergi tiba-tiba. Tapi gue berpikir kalau pasti ada lo Kak."

Arjuna tertunduk, ia menyesal tadi membuat ponselnya kode senyap. Panggilan dari Omar berkali-kali pun ia tak sadar. "Gue nggak tau bakal begini."

"Siapa yang bakal tau sih, Kak? Gue tadi sampai rumah lo manggil-manggil nggak ada yang keluar. Gue sempat ngira kalau Kala cuma iseng, tapi gue coba panggil dan telepon dia berkali-kali nggak ada jawaban. Jadi sorry banget, pintu rumah lo gue dobrak Kak. Pintu kamar Kala juga." Arjuna mengangguk ia paham betapa Omar khawatir terhadap adiknya.

"Waktu lo temuin dia, Kala gimana?"

Lagi-lagi helaan napas lolos dari bibir Omar. "Gue nggak bisa lihat Kala kayak tadi lagi Kak. Asal lo tau, muka dia pucat banget, tangan sama kakinya dingin. Bahkan gue ngira tadi sudah terlambat dan yang gue temuin cuma jasad Kala." Mata Omar memerah ketika menceritakan betapa kagetnya ketika ia melihat Kala seperti itu. "Lo harus beruntung, Kala nggak mudah menyerah. Dia masih bisa respon panggilan gue walaupun lirih. Bayangin Kak, lo lagi sakit tapi nggak ada orang yang peduliin. Dia sendirian, gue udah cukup menyesal ninggalin Kala saat dia butuh gue."

Dua pemuda itu masih duduk bersebelahan, walaupun salah satunya hanya mampu tertunduk dan mengusap matanya berkali-kali. "Gue nyesel."

"Ya emang harus nyesel. Lo sendiri yang ingetin gue kemarin soal Kala, tapi lo sendiri juga yang sekarang harus lupa. Jadi Kala itu susah, dia lihat semua orang makan enak tapi dia nggak bisa. Kala lihat semua orang makan fast food tapi dia nggak bisa. Mungkin kemarin dia buat kesalahan karena dia muak setiap hari harus makan makanan yang nggak dia suka."

Rasanya tenaga Omar cukup terkuras setelah meluapkan emosi pada Arjuna hari ini. Ponsel miliknya pun tak berhenti berdering, menampilkan nama Diandra disana. Ia memilih untuk mengabaikannya, dan membalas pesan yang masuk di grup.

Diandra
Kemana mar? Mau masuk nih, ulangan kalau lo lupa.

Omar
Ijinin gue, bilang aja ada urusan keluarga mendesak.

Chandra
Lah bocah, nikmat banget bilang ijan ijin

Omar
Gue lagi di rs, kala kolaps

Diandra
Kala masih punya keluarga kalau lo lupa

Omar
Gue nggak lupa, cuma keadannya nggak bisa gue tinggalin sekarang.

Diandra
Terserah lo aja, Kala tuh nggak bakal kenapa-kenapa kan dia emang yang paling iya

Omar memilih untuk tidak membalas, sekarang ia bahkan membolos sekolah. "Lo balik aja ke sekolah lagi."

"Udah telat, mending gue ikut susulan aja daripada kena marah guru-guru karena gue kabur."

Keduanya kembali terdiam, menatap kapan pintu itu kembali terbuka dan menampakkan raut lega dari dokter yang menangani Kala.

***

Kondisi Kala jauh dari kata baik. Satu-satunya hal yang dapat Arjuna syukuri adalah, adiknya tidak menyerah. Walaupun tadi sempat terjadi henti jantung, dokter berhasil membuat Kala bertahan. Arjuna tidak tahu betapa sulitnya hidup yang Kala jalani, ia hanya berpikir ikut menghakimi adalah hal yang pantas Kala dapatkan.

Dhika dan Ariana baru saja Arjuna beri kabar ketika Kala sudah pindah ke ruang ICU. Mereka berdua tampak kaget, tapi Arjuna masih merasa ada yang berbeda. "Pa, tadi Kala ditemuin pingsan di rumah. Omar yang bantuin Kala sampai disini. Juna juga sudah minta tolong satpam komplek untuk panggil tukang baikin pintu."

Lelaki dewasa itu dudum kemudian memijat pangkal hidungnya pelan. "Kala habis ngapain lagi, sih? Kok papa perhatiin dia nggak bisa jaga diri."

"Pa..." Juna tak habis pikir, ia mengira Dhika akan khawatir seperti biasanya. Namun, reaksi ini diliar dugaan, Dhika terasa begitu dingin dan kesal ketika melihat Kala kembali berjuang di rumah sakit. "Kala tuh, pasti banyak pikiran."

"Dia yang buat salah, dia juga kan yang ngerasa sakit. Papa pusing banget lihat Kala belakangan ini."

Juna diam, bagaimana pun ia menemukan raut yang berbeda dari Dhika. Sedangkan Ariana tidak banyak bicara, ia hanya memperhatikan tubuh Kala yang tengah terbaring lemah dibantu dengan banyak alat-alat di tubuhnya. Bernapas saja Kala masih belum mampu.

"Jagain Kala ya, Papa mau ngecek keadaan Jian dulu. Terus ganti baju ke rumah, kalau ada apa-apa kabari Papa." Juna yang mendengar penuturan Dhika hanya mengangguk, kepalanya diusap oleh orang yang menggantikan ayahnya sejak dulu itu memang selalu hangat. Hanya saja, Arjuna ingin menampik perasaan aneh yang ia rasakan ketika Dhika berbicara tentang Kala.

Omar dan Chandra terlihat datang dengan membawa sekantong nasi bungkus. Mereka sangat yakin jika Arjuna pasti melewatkan jam makan malamnya. Keduanya melihat Kala dibalik kaca pada pintu yang ada disana. "Nih, makan dulu. Lo pasti nggak mau lihat Kala sedih karena kakaknya sakit gara-gara nungguin dia."

Arjuna menatap nasi bungkus yang berada di pangkuannya tanpa minat. Tapi dirinya setuju jika Kala pasti akan sedih, hanya saja perasaan Arjuna campur aduk ketika melihat keadaan adiknya tak kunjung memberikan respon positif.

"Gimana kata dokter?" Chandra lebih dulu bertanya, ia dengan sengaja menghubungi Omar untuk menemaninya menjenguk Kala.

Arjuna menaikkan bahunya secara bersamaan. "Gue bingung, keadaan Kala jauh dari kata baik. Dokter tadi bilang, nanti kalau keadaan Kala sudah baik dan dia sudah sadar harus cepat ngelakuin cuci darah."

"Sebentar deh, kenapa sampai separah itu? Kala harus cuci darah?" Omar ikut menimpali karena ia cukup terkejut dengan penuturan Arjuna.

"Iya, sejak dia di rumah sakit waktu itu dokter sudah punya indikasi gagal ginjal. Makanya setelah papa tau dia makan sembarangan papa marah banget sama Kala."

"Maaf ya, Kak. Harusnya kita lebih perhatiin Kala waktu di sekolah." Chandra ikut menjawab. "Kita beneran nggak tau kalau Kala diam-diam sering makan junk food."

Arjuna hanya tersenyum, ia tak lagi mau membahas tentang itu. Lagipula penyakit Kala memang berpotensi besar akan merusak organ-organ tubuh lainnya. "Udah, mending kalian bantu doa biar Kala cepat sadar dan membaik." Rasanya terlalu banyak harapan yang ia gantungkan untuk Kala hari ini, untuk sikap Dhika, untuk kesembuhan Kala. Ia tidak bisa melakukan apapun selain berdoa dan berharap, bukannya manusia memang selalu menggantungkan harapan pada apapun? Arjuna sadar, ia adalah pendosa dan belum tentu doanya dengan mudah diterima. Hanya saja, ia dan Kala tidak memiliki apapun selain harapan pada sang pemberi nyawa.

----
1 Desember 2022

Heiyooo! Hehe spesial banget hari ini double update ya. Masih berharap cerita ini bisa nemanin kalian, walau masih banyak kurangnya. Kritik dan saran terbuka banget ya, boleh komen atau dm. Terima kasih banget buat yang baca cerita ini, nggak pernah ngebayangin sebelumnya ternyata ada yang mau menikmati ceritaku ini.

Last but not least, may happiness always be yours ya. Semoga bulan ini banyak berkah buat kita semua.

-love, sunflowind

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang