Sembilan Belas : Pilu

1.3K 70 2
                                    

Pengumuman jalur undangan penerimaan mahasiswa baru membuat semua orang gugup. Arjuna sudah berada di depan laptop sejak satu jam yang lalu. Kini ia menunggu detik-detik pengumuman di buka. Rasanya jantung Arjuna sudah melorot. Bukannya apa, pemuda itu sudah menyiapkan mental jika saja ia ditolak. Tapi, jauh di lubuk hatinya ia begitu lelah belajar setiap hari dan mengharapkan kata-kata selamat pada portal pengumuman kali ini.

Setelah hari ini mengantar Kala ke sekolah dan melihat gadis itu tidak sesehat biasanya membuat hatinya cemas. Belum lagi kali ini ia harus membuka portal pengumuman, Arjuna rasanya sudah tidak mengetahui cara untuk membuat jantungnya berdegup normal kembali. Saking kerasnya detakan jantung itu sehingga membuat dadanya sedikit nyeri karena tidak terbiasa. Ia mengambil napas panjang kemudian mengetikkan nomor peserta beserta kata kunci pada laptopnya.

Setelah membuka portal ia merasa tubuhnya tak lagi bertulang, lemas bukan main. Warna merah pertanda ia tidak diterima membuatnya frustasi, peringkat satu pararel dan memiliki prestasi akademik tidak membuat pemuda itu lantas diterima oleh perguruan tinggi.

"Juna, sayang."

Panggilan dari Ariana membuat dirinya terlonjak, mungkin ia memang harus berusaha lebih keras lagi.

"Ma, maaf." Arjuna memeluk erat Ariana yang masih mematung di depan pintu. Wanita itu mengusap lembut kepala anak laki-lakinya.

"Nanti coba lagi ya sayang, Mama yakin Juna bisa jadi dokter."

Rasanya beban itu kembali, dimana ia mati-matian mengenyahkan semua rasa yang memberatkan langkahnya. Memang ia harus menjadi dokter?

"Kalau Juna nggak mau jadi dokter gimana, Ma?"

Ariana melepas pelukannya, menatap manik mata hitam milik putranya. "Terus? Kamu mau lanjutin perusahaan Papa?" tanyanya kemudian.

Arjuna menggeleng, ia semakin tidak mau dengan pilihan itu. "Juna mau jadi arsitek, Ma."

Kini wanita paruh baya itu terdiam, lengannya tak lagi mengusap surai hitam Arjuna. "Memang berat ya kalau jadi dokter?"

Rasanya diri Arjuna tidak lagi memiliki pilihan, ia hidup untuk menjadi salah satu yang diinginkan orang tuanya. "Nggak tahu,"

"Coba dulu ya, Nak. Mama tuh yakin banget Juna pasti bisa jadi dokter yang hebat."

Helaan napas Arjuna terasa tidak lega seperti yang sudah-sudah. "Iya, Ma." Pemuda itu memilih untuk mengalah, mau bagaimana pun menjadi anak laki-laki tertua di keluarga ini harus memiliki nama besar seperti yang sudah-sudah.

***

Kala tidak merasa lebih baik setelah menyelesaikan ulangan harian, rasanya semua tulang di tubuhnya tak lagi mampu menopang badan. Ia hanya mampu menelungkupkan kepala di atas meja, bahkan matanya begitu sulit terbuka. Rasa sakit yang menjalar dari bagian atas ke bawah membuat Kala tak mampu membuka mata. Ia masih mendengar ketika temannya memanggil namanya, tapi lama kelamaan suara yang sebelumnya terdengar jelas menjadi semakin samar. Kesadarannya sudah direnggut oleh rasa sakit yang menggerogoti dirinya sejak beberapa hari yang lalu.

Arjuna dan Ariana berlari di koridor rumah sakit saat mendengar Kala tidak sadarkan diri. Raut Arjuna terlihat begitu kalut, pikirannya terlalu penuh untuk memikirkan semua hal yang terjadi. Dari luar ruangan, keduanya dihadang oleh petugas rumah sakit untuk tidak menerobos masuk karena Kala masih dalam penanganan. Tak berselang lama, seorang dokter beserta satu orang perawat keluar dari ruangan dan mengajak Ariana untuk bicara empat mata.

"Bu, keadaan Kala hari ini drop sekali. Kami hampir kehilangan dia karena sempat mengalami henti jantung."

Wanita paruh baya itu tercekat, ia memang melihat Kala yang sakit hari ini dan sudah menasihatinya untuk tidak pergi ke sekolah hari ini. Tetapi Kala memang cukup keras kepala hingga mampu membuat Arjuna dan Ariana tak bisa menolak keinginannya.

"Ja-jadi bagaimana keadaannya sekarang, Dok?"

"Pasien saat ini masih harus kami pantau keadaannya, bu. Kala bahkan belum melewati masa kritisnya. Kita sama-sama berdoa untuk Kala."

Ariana menangis, mengingat bagaimana Kala selama ini sudah bertahan. Ia masih yakin jika gadis itu akan segera baik-baik saja. "Dok, tolong usahakan yang terbaik untuk anak saya."

"Baik bu, kami pasti berusaha semaksimal mungkin. Tapi ini baru indikasi awal, sepertinya Kala mengalami komplikasi."

Wanita itu tak lagi mampu menjawab Dokter yang sudah merawat Kala sejak awal di diagnosa penyakit autoimun ini. Rasanya setiap kata yang terlontar hanya membuat rasa takutnya membuncah. Ariana keluar dari ruangan dan menemukan Arjuna duduk menunggunya di kursi. "Gimana, Ma?"

"Kita doain Kala ya, nak." Ariana memeluk Arjuna dengan erat.

Dari kejauhan terlihat Dhika berlari menuju anak dan istrinya. Raut wajah khawatir serta gurat lelah tak pernah hilang darinya. Jas yang tadi pagi terpasang rapi beserta dasi itu sudah tak terlihat lagi. Kemeja warna hijau itu lengannya sudah tergulung asal. "Ma, Kala gimana?"

Ariana belum bisa bercerita tentang keadaan Kala, terlebih diagnosa sementara yang membuat ia terpukul. Gagal ginjal. Bagaimana pun lupus saja membuat Kala sudah tersiksa bukan main, bagaimana jika diagnosa itu menjadi kenyataan. Anak gadis satu-satunya di keluarga mereka, walaupun wanita itu tahu jika Kala sama sekali bukan darah dagingnya, tetapi ia menyayangi gadis itu dengan seharusnya.

"Pa..., Mama takut."

Dhika yang masih belum mengerti nenilih untuk menenangkan istrinya. "Kenapa, Ma?"

"Kala masih kritis dia masih belum bisa melewati masa kritisnya, Pa."

Usapan pria itu berhenti, hatinya tercabik saat mengetahui putrinya tengah berjuang di dalam sana. Air matanya pun meluruh, ia berkali-kali merapal agar mendiang istrinya tak membawa Kala pergi dengannya. "Dan ada indikasi komplikasi, Pa. Tanda-tanda di tubuh kala menunjukkan..., gagal ginjal."

Arjuna dan Dhika mendengarnya kemudian mereka ikut menangis. Membayangkan betapa tubuh kurus dan ringkih milik Kala harus berjuang melawan penyakit mematikan seperti itu.

***

Setelah dinyatakan Kala dapat melewati masa kritis, semua keluarganya merasa bersyukur. Namun ternyata Kala masih belum ingin membuka mata. Dalam waktu singkat status Kala yang awalnya kritis kini menjadi koma.

Dua hari berlalu begitu saja, Dhika yang paling setia berada di samping putrinya. Ariana tumbang, ia akhirnya memilih untuk beristirahat di rumah, Arjuna bertugas merawat ibunya, sedangkan Jian yang kini tengah sibuk mempersiapkan ujian sekolah tidak bisa selalu hadir di rumah sakit. Pekerjaan Dimas pun banyak sekali yang belum terjamah, bagaimana pun putrinya adalah prioritas.

Prognosis Kala tidak begitu baik, namun saat ia bisa melewati masa kritis saja membuat banyak orang menghela napas lega. Dhika mengusap kepala Kala yang sudah berhari-hari ia biarkan ditempeli berbagai alat bantu pernapasan. Tangannya menggenggam jemari Kala yang terlihat begitu lemah. Dhika benar-benar takut jika ia tak lagi dapat menggenggam jemari Kala seperti ini. Ia begitu takut kehilangan itu kembali menghampiri keluarganya. Air mata Dhika meluruh hingga isakannya beradu dengan mesin elektrokardiograf.

"Papa mohon, bertahan demi Papa."

---
21 Agustus 2022

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang