03

26.9K 2.2K 169
                                    

Keesokkan harinya, Andrew menghampiri kakaknya, Aidan yang akan berangkat ke sekolah. Dia tak lupa untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuk Aidan.

"Kakak!" Andrew menyapa. "Kakak mau berangkat?" lanjutnya.

"Iya. Ada apa, Adik?" ucap Aidan menoleh ke arah Andrew yang berdiri di tepat di pintu rumah.

"Aku mau mengatakan sesuatu!" Andrew berlari ke arah kakaknya.

"Hm?"

"Selamat ulang tahun, Kakak! Aku minta maaf kemarin tidak mengatakannya. Aku ingin mengatakannya saat itu, tetapi ...."

Aidan menepuk kepala adiknya itu, "tidak apa-apa. terimakasih, ya?"

***

Andrew melambaikan tangan ke arah mobil yang mulai keluar dari pagar. Dia tersenyum melihat Aidan membalas lambaian tangannya.

Tak ada yang aneh dengan hubungan Andrew dan Aidan. Aidan tak seperti Willie yang selalu memperlakukan Andrew dengan buruk. Aidan justru memperlakukannya dengan baik dan sudah menganggapnya sebagai adik kandungnya.

"Kenapa kau berdiri saja di sini?" Willie tiba-tiba datang mengejutkan Andrew.

"Ah, Ayah ... Aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuk kakak."

Willie merapikan dasinya lalu menatap Andrew dengan tajam, "kau sudah selesai mengucapkannya, kan? kalau begitu, masuk dan kerjakan pekerjaanmu!"

Andrew mengangguk. "Baik, Ayah!"

"Ngomong-ngomong, buku-buku di meja belajarnya Aidan berantakan. Rapikan dulu itu, lalu kerjakan pekerjaan lain setelahnya. Ingat! Sebelum jam enam sore, semua tanaman harus disiram."

Andrew mengangguk sebagai jawaban mengiyakan. Dia kemudian masuk dan menutup pintu rumah.

"Akhirnya bisa sarapan!" Andrew menatap meja makan. Dia mulai mengolesi selai kacang pada selembar roti tawarnya, lalu memakannya. Setelahnya, dia langsung membersihkan meja makan dan mencuci piring-piring kotor itu.

***

Terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah bertepatan setelah seorang wanita yang mengenakan baju tidur selesai menggosok gigi. Wanita itu kebingungan. "Siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini? Lagipula, ini sedang hujan."

Pintu diketuk sekali lagi. Wanita bernama Linda itu mencoba mendekati pintu dan mengintip dari lubang pintu.

"Adena?" Linda terkejut saat melihat Adena–Sahabatnya itu sedang berada diluar rumah dengan keadaan basah kuyup. Dia segera membukakan pintu untuknya.

"Adena? Kenapa kau kemari malam-malam begini? Astaga, kamu basah sekali! Ayo, masuk! Di sini dingin." Linda segera menarik lengan Adena, tetapi berhenti sesaat ketika melihat Adena membawa sebuah koper.

"Aku diusir." Adena berterus terang. Dia kemudian memeluk Linda dan menangis.
"Aku diusir suamiku! Aku ... kehilangan anakku! S-sebentar lagi akan ada pengadilan. Dia pasti akan mendapatkan hak asuh atas Johan, Lin!"

Linda berusaha menenangkan sahabatnya yang sedang menangis itu. Sedangkan Adena sudah tak tahan lagi, air matanya benar-benar tumpah saat itu.

"Kejadian 3 bulan lalu ... gara-gara Willie yang menggodaku dan kini aku mengandung anak haram ini! Dan jika bukan karena Willie yang membongkar identitas janin ini, semua ini pasti tidak akan terjadi!"

Linda langsung menatap Adena dan menggoyangkan tubuh Adena.
"Kau gila?! Tidak ada anak haram! Janin yang ada di rahimmu, adalah anugrah dari pencipta! Jangan katakan bahwa calon bayimu adalah haram!"

"Dia adalah haram!" Adena memeluk Linda. Sedangkan Linda hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, lalu membawa Adena yang basah kuyup itu masuk ke dalam.

"Keringkan badanmu, lalu ganti bajumu. Nanti kamu terkena flu. Aku akan siapkan teh hangat." Linda pergi ke dapur. Sedangkan Adena masih mematung di ruang tamu. Dia bergeming ... Kedua lengannya memeluk erat perutnya.

Haruskah? Haruskah ia melakukan itu?

***

Andrew kini menuju kamar Aidan setelah selesai mencuci piring. Dia merapikan buku-buku yang berantakan di meja lalu menyusunnya dengan rapi di sebuah rak buku kecil di kamar Aidan.

Dia tak sengaja menjatuhkan sebuah buku di lantai dan segera mengambilnya. Andrew terkejut. Bukankah ini buku gambar Aidan?
Seminggu lalu, Aidan meminta bantuan padanya untuk menggambar sesuatu di buku gambarnya.

"Dik, kau pandai menggambar, kan? Aku punya tugas di kelas seni. Bantu aku menggambar, ya? Minggu depan di serahkan soalnya."

Andrew tahu, hari ini adalah kelas seni bagi Aidan. Sekarang Aidan dalam masalah. Dia melupakan buku gambarnya! Apa yang harus Andrew lakukan?

Andrew berlari menuruni tangga. Dia ingin menemui bibi, dan mendapati sosok bibi sedang mencuci baju di kamar mandi.

"Bibi!"

"Iya, An? Ada apa?"

Andrew jongkok untuk bisa berinteraksi dengan sang bibi. "Apa bibi bisa menyelesaikan cuciannya dengan cepat?"

"Tentu saja! Ini tinggal dibilas, kok!" jawab sang bibi.

"Apa nanti bibi bisa mengantarkan buku gambarnya Aidan ke sekolah? Soalnya buku gambarnya ketinggalan."

Si bibi langsung berdiri. Dia mencuci tangannya yang penuh dengan busa sabun.
"Sungguh? Bibi pasti akan mengantarkannya. Nanti Aidan-nya kena masalah."

Andrew mengangguk, "kalau begitu ... Andrew bisa ikut bibi ke sekolah?"

***

Adena berlari ke dapur. Linda yang sedang menyeduh teh terkejut saat melihat Adena yang langsung mengambil pisau dapur.
Linda benar-benar panik saat Adena akan menusuk perutnya dengan pisau itu.

"Apa yang kau lakukan? Jangan lakukan hal yang tidak-tidak!"

"Aku ... Aku ingin melenyapkan janin ini! Walau harus kehilangan nyawa bersamanya, ini lebih baik daripada harus menanggung penderitaan bersamanya!"

Linda tak berani mendekat. Karena melangkah sedikit saja, Adena mungkin akan menusuk perutnya.

"Ad, kau harus berpikir jernih! Tenangkan dirimu ... Jangan ambil keputusan seperti ini!"

"Keputusanku sudah bulat, Lin!"

Linda menggeleng. "Jangan melukainya. Dia juga anakmu ... kau punya tanggung jawab menjaganya!"

"Lalu, apa aku yang harus menanggung semua malu untuk ini?"

"Kau memang harus menanggungnya, Adena! Kau dan Willie yang melakukannya! Seharusnya, kamu menerima akibatnya."

"Bagaimana dengan Willie?! Apa dia membiarkanku menanggung semua rasa malu ini?!"

"Adena, tenangkan dirimu! Berpikirlah sekali lagi ... Kita ini perempuan! Kita bisa menanggung semuanya tanpa harus memiliki laki-laki di samping kita!" Linda mendekat perlahan, dia ikut menangis melihat kondisi sahabatnya yang sekarang.

"Setidaknya, jangan lukai dirimu. Aku masih ada bersamamu!" lanjutnya.

Mendengar perkataan yang baru saja Linda ucapkan, Adena gemetar. Dia menjatuhkan pisau ke lantai lalu segera memeluk Linda.

T. B. C.






Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang