05

21.9K 1.8K 61
                                    

Adena menatap Willie dengan tatapan kosong. Dia mengerti ... semua ini adalah permainan. Dia duduk lalu diam mematung, sementara Willie mulai keluar dari bar tersebut.

Permainan ini benar-benar menyiksanya dan mungkin akan membuatnya dalam posisi sulit. Dia menggenggam erat gelas beer lalu mengangguk. "Tidak akan terjadi apa-apa."

Adena sekarang tahu ... Willie hanya bermain-main. Dia bahkan mengaku sudah mempermainkan belasan wanita sama sepertinya. Hampir dari mereka semua mengakhiri janin dalam kandungannya, dan beberapa lainnya bunuh diri.

Apakah Adena akan melakukan hal yang sama seperti yang lain? Janin dalam perutnya ... tidak bersalah.

Tetapi jika ia tidak melakukannya, dia akan hancur jika Willie membongkar identitas bayi itu kepada suaminya.

Sungguh, dia kebingungan. Harusnya dia tidak melakukan ini dari awal.

"Tes DNA bisa dilakukan saat kandungan sudah tiga bulan."

***

Andrew mengetuk pintu kamar Aidan. Segera Aidan membukakan pintu untuk adiknya itu. "Ya? Kenapa, Adik?"

Andrew menggeleng. Terlihat bajunya basah, seperti habis disiram air. Dia tersenyum getir menatap Aidan.
Air matanya tak bisa dibendung lagi. Dia langsung memeluk kakak lelakinya itu.

"Ayah ... ayah menyiramku dengan kopi panas. A-aku membuatkannya kopi, tetapi aku lupa kalau ayah tidak suka kopi dengan gula."

Aidan hanya diam. Dia sudah sering mendengar tangisan Andrew dalam pelukannya. Dia memeluk Andrew sesaat. Membiarkan semua tangisan adiknya berakhir.

"Sudah selesai menangisnya?" tanya Aidan mengusap air mata Andrew, seusai Andrew menumpahkan isi hatinya padanya.

Andrew mengangguk. Dia tersenyum. "Sudah, Kak. A-aku ... merasa lebih baik."

"Jangan menangis lagi, ya? Menangis tidak akan membantumu. Ngomong-ngomong, Kau mau belajar lagi bersamaku?" Aidan membawa Andrew masuk ke dalam kamarnya.

Andrew mengangguk sekali lagi. Dia tersenyum senang. "Tentu saja aku mau! Terima kasih, Kak!"

Ya ... Andrew memang tak disekolahkan oleh Willie. Akan tetapi, Aidan mencoba mengajarinya membaca dan menulis. Walau Andrew masih buta huruf, tapi semangat belajarnya cukup besar.

"Keringkan dulu dirimu. Sementara itu, aku akan melanjutkan PR-ku." Aidan melempar handuk. Andrew segera menangkapnya.

"Ngomong-ngomong, Kak. Apa aku boleh bertanya? Apa itu ... 'Anak Haram'?"

***

"Ayah ...." Aidan masuk ke kamar ayahnya. Terlihat Willie yang sedang menatap layar handphonenya dengan cukup serius. Bukan serius karena ada masalah, tetapi dia sedang serius menonton Review Film di YouTube.

Willie yang melihat Aidan datang, langsung mematikan ponsel genggamnya. "Ada apa, Aidan?"

"Ayah ... ayah barusan menghukum Andrew, ya?"

"Dia memberitahunya padamu?"

"Aku kakaknya. Dia tentu akan memberitahunya padaku, Ayah."

Willie menggeleng dan menepuk-nepuk dahinya. "Ayah kan sudah bilang. Dia bukan adikmu. Dia hanya anak yang menumpang di rumah ini. Dia itu hanya sekedar pembantu, kau tahu?"

"Aku tidak peduli. Andrew sebenarnya siapa. Entah dia anak haram, atau anak kandung ayah ... atau hanya anak yang menumpang di sini. Aku tidak peduli! Yang aku tahu, Andrew adalah saudaraku. Bagiku, dia adalah adikku, satu-satunya."

Ruangan hening ...

Suara tepuk tangan terdengar setelahnya.

"Aidan, sayang ... kau terlalu baik, Nak. Kalau kau menganggap pembantu kecil itu adalah adikmu, maka apa kau akan berterima jika ayah menganggap bibi yang bekerja di sini sebagai isteri ayah?"

Aidan bergeming. Dia masih sangat kecil untuk berdebat dengan ayahnya. Lagipula, pertanyaan Willie barusan membuat Aidan kebingungan menjawab.

"Bagaimana, Sayang?"

"Aidan hanya ingin ayah tidak memperlakukannya dengan buruk. Ayah tahu, saat ia menangis ... aku dapat merasakan sakitnya."

Willie berdiri lalu mendekat ke arah Aidan. "Tidurlah! Jangan memikirkan tentang Andrew atau anak tidak berguna itu. Kau harus pikirkan tentang dirimu sendiri. Bukankah nilai ulanganmu hancur? Apa kau tidak bisa meraih peringkat pertama di semester ini? Belajar dengan fokus! Kau akan mendapat hukuman juga jika tidak dapat meraih peringkat pertama semester ini."

Aidan mengangguk kepada ayahnya, tetapi sebenarnya hatinya hancur.

"Andrew bukan anak haram." Aidan mengatakan itu dengan suara kecil. Namun, Willie dapat mendengarnya.

Willie berbisik, "dan kau tak perlu ikut campur tentang anak haram itu."

***

Esoknya, Aidan kembali bersekolah seperti biasa. Sebelum Aidan berangkat, Andrew segera menemui kakaknya itu dan menunduk. "Kak, aku minta maaf soal kemarin malam."

Aidan bingung. "Minta maaf? Kemarin malam? Apa maksudmu?"

"Kakak kemarin membela Andrew, dan itu membuat kakak punya masalah dengan ayah."

Aidan menepuk kepala Andrew dan tertawa, "tidak ada masalah."

"Jangan pikirkan soal kemarin malam. Hah, seharusnya kakak harus menghukummu karena berani mengintip pembicaraan kemarin malam!" lanjut Aidan.

Andrew menarik kedua telinganya. "Andrew minta maaf. Andrew berjanji takkan melakukannya lagi, Kak!"

"Heh, sudah! Lupakan soal itu. Sekarang, kakak mau berangkat ke sekolah. Jaga dirimu baik-baik!"

"Baik, Kak. Kakak juga, ya!"

***

Anak Haram? Kata itu selalu terngiang-ngiang di kepala Aidan. Ayahnya, Willie, tak berhenti membentak sang Adik dengan memanggilnya 'Anak Haram'. Itu membuat Aidan merasa sangat kasihan pada Andrew.

Dia kurang paham tentang asal usul Andrew, tetapi dia mengerti kalau sebutan 'Anak Haram' itu menyakitkan.

Di sekolahnya, pernah ada siswa yang bunuh diri hanya karena disebut-sebut Anak Haram.

Aidan berharap, hal yang sama tidak akan terjadi pada Andrew. Dia akan melindungi Andrew, walaupun dia sendiri sekarang dalam masalah.

Klik!

Dia mengetik sesuatu di ponselnya, dan mencari apa arti dari kata Anak Haram itu. Mobilnya hampir tiba di sekolah saat ia menemukan sebuah website yang menjelaskan tentang semuanya.


T. B. C.




Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang