23

15.5K 1.3K 27
                                    

Pria itu mengangkat telepon dari kontak bernama "Putraku, Johan" itu. Ya, sosok pria itu bukan lain adalah Erik. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum memulai percakapan telepon tersebut.

"Ya? Ada apa, sayang?"

"Pah, nanti malam Johan ingin membeli sesuatu! Papa bisa mengantar Johan ke toko nanti malam, kan?" ucap suara yang terdengar dari telepon itu.

"Ya. Tentu saja! Papa akan segera pulang."

"Baik, Pah. Johan menunggu."

***

Sementara itu, kini Aidan sudah dibawa ke rumah sakit. Kondisinya masih belum membaik. Dia kehilangan banyak darah, dan beruntung Olivia mendonorkan darahnya untuk Aidan. Anak itu masih belum sadarkan diri dan ia sepertinya bersusah payah bernapas walau sudah dibantu oleh alat bantu napas.

Olivia tengah duduk di samping ranjang anaknya itu. Dia menggenggam erat tangannya dan membisikkan kata-kata kecil di telinga putranya itu. Sedangkan Andrew berdiri di belakang Olivia dan menatap sendu ke arah kakaknya itu dari tadi.

Keadaan di sana hening.

Andrew berkali-kali meneteskan air mata dan menghapusnya kemudian. Dia saat ini benar-benar ketakutan. Bukan karena takut dibenci ayahnya, tetapi ia takut kehilangan sosok malaikatnya. Dia ingin sekali memeluk kakaknya saat itu, tetapi dia tak bisa mengingat posisi Olivia yang tidak mengijinkan putranya disentuh siapapun.

Andrew merasa sangat bersalah. Dia menunduk sesaat dan berpikir harusnya ia tidak kembali saat itu. Harusnya ia pergi dari sana tanpa harus menemui kakaknya lagi saat itu. Harusnya pria itu membunuhnya saja, dan bukan menyakiti sang kakak.

Andrew menatap buram sekelilingnya. Air matanya membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas.

"Ibu, aku minta maaf." ucap Andrew kemudian pada Olivia. Namun, Olivia tidak menjawabnya. Keadaan kembali hening saat itu.

Tiba-tiba Willie datang. Dia menatap putranya yang masih belum sadarkan diri. Kemudian, matanya beralih pada Andrew yang masih berdiri di sana. Willie dengan kemarahannya langsung mendorong anak itu ke lantai.

Andrew menangis. Air matanya tumpah saat itu. Dia tahu kalau ayahnya akan marah. Jadi, dia membiarkan sang ayah menghukumnya.

"Kau tahu, jika kau tidak kembali saat itu mungkin ini semua tidak akan terjadi!" ucap Willie dengan emosi. Dia meremas kedua pipi Andrew dengan kasar.

"Ayah ... Andrew benar-benar minta maaf." Andrew terisak saat menjawab.

"Kau telah membuat anakku terluka! Kalau kau tidak ada di sana! Kalau Aidan tidak melindungimu saat itu! Semua ini tidak akan terjadi! Kenapa pria itu malah melukai putraku jika kau yang punya masalah dengannya?!" Willie benar-benar sangat marah.

Dia membanting anak itu ke lantai.

"Hentikan itu, Willie!" Olivia mengatakan itu dengan suara kecil.

Willie menghiraukan perkataan istrinya. "Kenapa? Kenapa bukan kau saja yang dibunuh oleh pria itu? Kenapa kau selalu membawa masalah di keluarga-ku?! Sudah kubilang, kau tidak boleh kembali ke rumah kami lagi! Kenapa kau masih belum mengerti, hah? Kau belum puas lahir sebagai anak haram sehingga kau pun menjadi pembawa masalah? Hah?"

Andrew tidak menjawab. Hatinya agak sedikit tergores dengan kata-kata Willie.

"Cepat pergi dari sini!" Willie berteriak.

"Cepat pergi dan jangan kembali! Aku tahu, kau sebenarnya ingin membunuh Aidan! Kau dan pria itu bekerja sama untuk melenyapkan anakku, kan? Jawab sekarang!" lanjut Willie dengan bentakan.

Andrew menggeleng pelan. Kini hatinya semakin hancur saat ayahnya menuduh dia bekerja sama dengan pria tadi untuk melukai kakaknya sendiri.

"Cepat pergi sebelum aku melenyapkanmu! Cepat pergi!" Willie marah dan menendang anak itu.

Andrew merintih. Dia berusaha berdiri lalu berjalan tertatih keluar dari ruangan tersebut. Sebelum menutup pintu, dia menatap sejenak ke arah Aidan, kakaknya.

"Aku benar-benar minta maaf, Kak."

"Jika Aidan kenapa-napa, maka aku tidak akan pernah memaafkanmu!" Willie berteriak lagi. Itu menjadi Andrew ketakutan dan langsung menutup pintunya.

***

"Kau jangan membentak dan memarahi anak itu, Willie." ucap Olivia dengan lembutnya. Dia tersenyum ke arah Willie setelah Andrew pergi dari sana.

Willie menatap Olivia dengan penuh amarah. Ia membentaknya. "Bagaimana mungkin kau setenang ini? Kau tidak dengar kata dokter kalau putra kita tidak akan sadar dalam waktu dekat?!"

"Aku tahu! Aku juga sangat panik!" Olivia menjawab dengan tangisan. "Namun, kita tidak bisa menyalahkan anak itu. Dia tidak bersalah."

Willie tak lagi menatap Olivia. Ia bingung harus mengatakan apa padanya. "Hei. Kau tahu Aidan jadi begini karena anak itu? Kenapa kau berusaha melindungi anak sialan itu, hah?"

"Yang salah di sini bukan anak itu, ataupun pria itu. Yang salah adalah Aidan sendiri." Ucapan Olivia membuat Willie terkejut.

"Apa? Kenapa kau menyalahkan Aidan? Hah? Bukankah Aidan terluka hanya untuk melindungi anak itu?"

Olivia menunduk. Ia menatap punggung tangan anaknya itu. "Jika Aidan tidak berlagak menjadi pahlawan, dia mungkin tidak akan menjadi seperti ini. Seharusnya, Aidan tidak ikut campur dalam urusan anak itu dengan si pria."

Willie terdiam sejenak. Dia memikirkan kata-kata Olivia, dan ingin sekali membantahnya.

"Tapi kau tahu, kenapa Aidan melakukan itu? Kenapa Aidan melindungi anak itu? Itu karena anak itu adalah adiknya. Dan dia sangat menyayangi adiknya itu." Olivia melanjutkan dengan senyuman.

Willie menggeleng. "Tidak! Anak itu bukan adiknya! Dia adalah anak haram yang aku jadikan pembantu di rumah kita!"

"Aidan sudah menganggap anak itu sebagai adiknya. Lagipula, bukankah anak itu adalah anak kandungmu juga? Jika Aidan bisa menerima anak itu sebagai adiknya, kenapa kita tidak bisa menerima anak itu sebagai putra kita juga? Jika Aidan bisa menyayangi anak itu, kenapa kita tidak bisa menyayangi anak itu juga?"

Kata-kata Olivia memang ada benarnya, tetapi Willie dengan tegas menjawab. "Aku tidak akan pernah bisa menyayanginya! Tidak akan pernah!"

Olivia memandang wajah anaknya sesaat. Lagi-lagi ia mengeluarkan senyumannya. "Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Kita tidak perlu memarahi siapapun di sini. Kita hanya harus melakukan satu hal, yaitu menyemangati putra kita."

"Kita harus memintanya agar tetap kuat. Kita harus mencari cara agar putra kita cepat sadarkan diri. Itu saja. Jangan terbawa emosi, Willie." lanjut Olivia.

Willie hanya menyimak kata-kata itu. Dia tak sanggup membantah lagi. Dia sekarang berpikir betapa dewasanya Olivia setelah bertahun-tahun tinggal di rumah orangtuanya. Dulu, Olivia masih sama sepertinya. Sangat emosional dan tidak bisa berpikir positif. Namun, kini Olivia sudah berubah.

Willie kemudian mengangguk paham akan kata-kata Olivia. Dia melangkah dan duduk di samping Olivia. "Kau benar. Kita hanya perlu menyemangati anak kita. Bukan harus marah-marah dan menyalahkan siapapun."

Olivia mengangguk. Wajahnya terlihat sangat tegar, tetapi sebenarnya hatinya sangat hancur melihat kondisi putranya seperti ini.

"Kenapa? Ini baru hari pertama ibu bertemu denganmu, Nak? Kenapa kau malah menjadi seperti ini? Apakah ibu yang telah membawa nasib buruk padamu? Tolong, cepatlah sadar ... ibu tak ingin kau terluka. Kau tidak boleh pergi apapun yang terjadi." batin Olivia.


















T. B. C.

Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang