Andrew merasa aneh. Dia benar-benar tidak tahu di mana ia berada sekarang. Dia seperti terjebak dalam sebuah ruangan dengan dinding bercat putih. Semua keadaan sunyi di sana.
Andrew melangkahkan kakinya ke depan. Dia benar-benar penasaran di mana dia berada sekarang. Namun, ia tidak menemukan titik terang sama sekali. Ruangan itu sepertinya tidak memiliki dinding atau semacamnya. Andrew terus melangkah, tetapi dia tidak bisa keluar dari tempat itu.
Karena tak tahu harus berbuat apa, Andrew pun putus asa. Dia mengepalkan tangannya lalu menundukkan kepala. Tak lama kemudian, sesosok orang tiba-tiba menaikkan dagu Andrew ke atas dengan tangannya.
Andrew terkejut dan menoleh ke arah orang yang telah menyentuhnya. Dia benar-benar bahagia saat tahu orang yang berada di depannya sekarang adalah kakaknya. Seorang kakak yang senyumannya terlihat masih hangat seperti biasa.
Andrew tidak menyangka sang kakak masih berada di depannya. Dia pikir ... kakaknya sudah tiada. Namun, nyatanya kini sang kakak telah berada di depannya.
Dia menyentuh wajah kakaknya dengan tangannya. Hatinya benar-benar lega mengetahui sang kakak masih berwujud daging, bukan roh. Dia memeluknya dan menangis.
"Kak ... kupikir kakak akan pergi selamanya. Aku pikir aku telah kehilangan kakak. Aku benar-benar takut, Kak! Kenapa kakak melakukan ini padaku? Kenapa kakak suka membuatku ketakutan? Hah? Kakak, kakak ternyata masih di sini bersamaku."
Sang kakak melepaskan pelukan itu. Dia menggeleng dan menghapus air mata adiknya. "Jangan menangis! Kalau kau menangis, kau akan kehilangan kekuatanmu."
"Kakak adalah kekuatanku. Tidak ada selain itu." Andrew menggenggam tangan kakaknya tersebut.
"Kakak bukan kekuatanmu. Kau tahu kalau yang kuat itu adalah dirimu sendiri? Kau tidak perlu beranggapan kalau kakak adalah segalanya bagimu. Dengar, kita tidak akan selamanya bersama. Kakak akan pergi dalam waktu dekat."
Andrew menggelengkan kepalanya. "Maksud kakak? Maksud kakak apa, hah?"
"Kau harus mencari kebahagiaanmu, Andrew. Kakak benar-benar mengingat di mana delapan tahun lamanya kau disakiti oleh ayah. Sekarang, jangan biarkan dirimu disakiti ayah atau siapapun itu. Kakak tidak perlu melindungimu lagi, karena kakak tahu kau adalah anak yang kuat."
Andrew menangis. "Kakak mau pergi ke mana? Hah? Jawab! Kenapa kakak tak memberitahu kemana kakak akan pergi?"
"Aku akan pergi." Aidan membalikkan badannya, dia tersenyum untuk yang terakhir kali walau sudut matanya mengeluarkan setitik air.
"Jika kau bisa ... tolong jaga ibuku. Dan saat kau bertemu bibi, sampaikan rasa terima kasihku padanya. Dia telah berbuat banyak untukku. Apapun yang ia lakukan padaku, apapun yang ia ajari dalam hidupku, aku akan mengenangnya selalu."
Andrew terus menangis. Dia memeluk kakaknya dari belakang. Namun, perlahan takdir mengambil sang kakak dari pelukannya. Aidan menghilang dan sepersekian detik Andrew hanya terlihat memeluk udara di sekitarnya.
"K-kakak?"
***
"Kakak!" Andrew berteriak. Dia terbangun dan merasa lega karena semua yang terjadi hanyalah mimpinya. Dia duduk dari ranjangnya lalu melihat gambarnya yang ia buat kemarin malam. Ia benar-benar bingung kenapa dia berada di sini. Apa yang terjadi?
Andrew mengingat kejadian sebelumnya. Dia langsung bangkit dan keluar dari ruangan itu untuk memastikan bahwa sang kakak baik-baik saja.
Namun, pemandangan yang ia temui saat tiba di ruang rawat kakaknya membuatnya benar-benar ketakutan. Tangannya gemetar saat melihat sosok ibu kandung kakaknya itu masih menangisi anaknya yang tidak bernyawa lagi.
Andrew benar-benar tak tahu harus berkata apa lagi. Dia mengerti bahwa mimpinya tadi adalah pertemuan terakhirnya dengan sang kakak. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa ia dan kakaknya hanya bisa bersama selama delapan tahun.
Andrew melangkah perlahan. Dia tidak memedulikan Willie dan Olivia yang menatapnya. Dia mendekat ke ranjang sang kakak. Dia berbisik, bibirnya gemetar.
"Kak, bangun!"
"Kakak masih mendengar Andrew, kan? Jawab! Kakak harus bangun sekarang!" bentak Andrew.
Andrew pikir, sang kakak akan kembali. Namun, kenyatannya Aidan tetap tak ingin kembali sesuai keinginan Andrew.
Andrew tak kuasa menahan air mata. Lagi-lagi ia menangis. "Kakak tidak boleh pergi, sekarang. Kakak tahu, Andrew sudah menggambar sesuatu untuk kakak. Mungkin gambarnya agak aneh, tetapi Andrew yakin kakak akan suka!"
Dia ingin memeluk sang kakak, tetapi Willie malah menariknya. "Jangan menyentuh putraku! Kau telah membuatnya kehilangan nyawa! Ini semua gara-gara kamu!"
"Kakak ..." Andrew terisak.
"Kau telah melenyapkan putraku! Kau sudah melewati batas, anak sialan! Kau telah membuatku kehilangan kesabaran!" Willie ingin sekali menyakiti Andrew, tetapi tangan Olivia menahannya.
"Aku ingin membunuhmu! Aku tidak ingin melihat wajahmu! Aku benar-benar membencimu sejak pertama kali kau berada di sini! Kau--"
"Kakak!!!" teriak Andrew tiba-tiba. Dia menangis dan langsung memeluk kakaknya. Rasa sakitnya kini tak bisa ditahan lebih lama.
"Kakak harus bangun sekarang! Andrew berjanji akan melakukan apapun jika kakak bangun. Tolong, Kak. Andrew mohon ..."
"Pergi dari sini, sialan!" Willie menarik anak itu. Andrew tak sengaja menjatuhkan gambarnya ke lantai.
Willie dengan cepat mengambilnya lalu menyobeknya menjadi dua bagian. Andrew yang melihat itu gemetar. Itu adalah gambar wajah kakaknya.
"Kenapa ayah menyobeknya, hah? Ini untuk kak Aidan ..."
"Aidan tidak akan mendengar atau melihat siapapun lagi! Dan itu semua gara-gara dirimu!" Willie benar-benar marah sekarang.
"Pergi dari sini! Aku bilang pergi, ya pergi!" Willie berteriak. Ia tidak mempedulikan beberapa dokter yang datang ke sana untuk mengecek keributan yang terjadi.
Andrew mengangguk, lalu memungut sobekan kertas itu. Dia keluar dari ruangan itu dan menghapus air matanya.
T. B. C.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Haram [TERBIT✓]
Ficción General"Apa itu anak haram?" *** Beberapa part dihapus untuk kepentingan penerbitan! Highest ranking: #1 - pelukan (01/08/2021) #1 - coklat (09/08/2021) #18 - ibu (13/09/2021) #12 - ayah (17/09/2021) #5 - sad (23/09/2021) #8 - remaja (25/09/2021) #1 - seny...