24

15.8K 1.3K 30
                                    

Malam harinya, Andrew sedang berbaring di teras  sebuah toko. Dia berbaring di sana dengan satu tasnya yang dijadikan bantalnya. Dia menatap bintang di langit yang perlahan menghilang ditutupi awan. Ah, mungkin saja malam ini akan turun hujan.

Dia selalu terpikirkan akan kakaknya. Apakah kakaknya akan baik-baik saja? Kenapa di hari ulang tahunnya dia mendapat semua masalah ini? Apa karena tekadnya yang ingin menantang takdir membuatnya semakin mengalami banyak masalah?

Andrew sendiri tidak tahu harus berbuat apa lagi.  Dia hanya bisa berharap kakaknya akan segera membaik. Dan kemudian setelah itu, dia akan pergi dari kota ini untuk memulai hidup yang baru.

Dia mengeluarkan buku dan pensil gambarnya. Alat gambar itu adalah hadiah diberikan sang kakak padanya enam tahun yang lalu. Tangannya kini rindu untuk menggambar. Terakhir kali ia menggambar wajah ibu saat itu, tetapi gambarnya hilang entah kemana.

Kini Andrew mencoba menggambar wajah sang kakak. Ia mencoba mengingat setiap detail wajah sang kakak. Dia mulai menggambar. Andrew sepertinya menikmati setiap keindahan warna yang tercoret di kertas putih tersebut.

"Kakak pasti akan menyukainya nanti." Andrew melanjutkan gambarnya ketika terhenti sejenak.

***

Sebuah mobil berhenti di depan toko lain yang berada di seberang tempat Andrew. Andrew menatap mobil itu, dan merasa ada yang tidak asing dengan mobil itu. Dia melihat sosok yang ia kenal keluar dari mobil itu.

"Kak Johan?"

Ya. Benar saja. Yang berada di seberang toko sana adalah Johan. Anak itu sepertinya sedang ingin membeli sesuatu. Andrew tersenyum lebar dan ingin menghampirinya, tetapi ia terkejut saat melihat sosok lain keluar dari mobil itu.

"Johan, kau meninggalkan handphone-mu!" Seorang pria keluar dan mengulurkan sebuah handphone pada Johan. Pria itu adalah pria yang tadi melukai sang kakak, Aidan.

"Terima kasih, Pah!"

Papa? Pria itu adalah ayahnya Johan? Andrew sekarang benar-benar terkejut. Dia semakin mengerti kenapa pria itu ingin melenyapkannya. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam dan tersenyum.

"Sekarang setidaknya aku tahu siapa orang yang telah melukai kakakku tadi."

Andrew kini melanjutkan gambarnya yang hampir siap. Dia ingin memolesnya sedikit lagi agar terlihat lebih baik.

Mobil tadi pun akhirnya pergi. Andrew tersenyum lagi ketika akhirnya gambarnya selesai. Dia memasukkan buku gambar dan pensil warna tersebut dalam tasnya kembali.

Selang beberapa waktu kemudian, hujan turun. Andrew mungkin masih bisa bernaung, tetapi dia tidak bisa melawan rasa dingin yang menghampirinya. Hujan yang disertai dengan angin, membuat Andrew benar-benar kedinginan. Dia membutuhkan selimut, tetapi tak ada seorang pun yang dapat membantunya.

***

Keesokkan harinya, Andrew terbangun dari tidurnya yang telah melewati malam yang sangat dingin. Dia merasa lemas dan pusing sekali. Suhu tubuhnya naik beberapa derajat Celcius. Astaga ... apa dia demam?

Andrew terpaksa harus pergi dari toko itu karena pemiliknya sudah datang dan mengusirnya. Rasanya sangat sulit berjalan dalam kondisi seperti ini. Namun, walaupun begitu Andrew tetap berusaha berjalan untuk menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Andrew langsung berpapasan dengan ayahnya. Willie yang melihat kedatangan anak itu lagi kini mukanya berubah menjadi kesal.

"Kenapa kau kemari, hah?"

"Ayah, aku ingin menjenguk kakak." ucap Andrew sejujurnya. Tapi tetap saja Willie tidak mengijinkannya.

Setelah Andrew memaksa beberapa lama, Andrew tetap saja tak diijinkan oleh ayahnya. Bahkan Willie, ayahnya itu malah menariknya untuk segera keluar dari rumah sakit itu.

"T-tunggu, ayah! Aku ... aku punya alamat pria yang melukai kakak kemarin." ucap Andrew sembari mengulurkan sebuah kertas kecil berisikan alamat rumah Erik, si pria yang kemarin.

"Kau dapat dari mana ini? Oh, jadi benar! Kau bekerja sama dengan orang itu untuk melukai Aidan, kan? Sudah kuduga!"

"Tidak, ayah. Aku sama sekali tidak mungkin ingin melakukan itu. Sebenarnya ini adalah alamat rumah suami ibu kandungku. Pria kemarin adalah suami ibu kandungku." Andrew lagi-lagi berusaha untuk berkata jujur.

Willie menatap Andrew sesaat lalu menoleh ke kertas kecil yang ada di tangannya. "Adena?"

"Permisi, Pak! Saya ingin memberitahu bahwa kondisi anak bapak semakin memburuk." ucap seorang petugas medis tiba-tiba yang membuat Willie terkejut.

Willie menoleh ke arah petugas itu. "Maksudnya ... anakku Aidan?"

***

Willie segera berlari menuju ruangan anaknya. Dia melihat Olivia yang sedang menangis di sana. Dia juga melihat beberapa dokter yang sedang menangani anaknya dengan serius.

Aidan terlihat tidak lagi bernapas. Kondisinya beberapa waktu lalu baik-baik saja dan setelah sudut matanya terlihat meneteskan air mata, kini kondisinya semakin memburuk.

Anak itu tidak lagi menunjukkan tanda-tanda bahwa ia hidup. Masker oksigennya tidak meninggalkan jejak embun sama sekali. Dia kehilangan detak jantungnya.

"Aku tidak ingin ... aku tidak ingin Aidan pergi, Willie!" Olivia menangis di pelukan suaminya.

"Dia tidak boleh pergi!" Olivia marah dan memukul dada Willie.

"Kau tahu, betapa aku sangat merindukannya. Sekarang, aku tidak ingin dia pergi. Lakukan sesuatu Willie!"

Willie mencoba menenangkan istrinya itu. Dia mengelus kepala Olivia dengan tangan yang gemetar. "Dia ... dia pasti akan tetap di sini. Kau tidak boleh menangis dulu. Dia baik-baik saja, pasti! Tenanglah."

Olivia menggeleng ketakutan. Dia terus memeluk suaminya itu dan tak sanggup lagi menatap sang putra. Setelah beberapa lama berusaha, akhirnya salah satu dokter mengucapkan sesuatu.

"Waktu kematian?"

***

Andrew mengintip semua yang terjadi di dalam ruangan. Hatinya berdegup kencang. Tangannya gemetar penuh kebimbangan. Dia menggigit ujung jarinya berharap sang kakak akan baik-baik saja.

Namun, saat mendengar waktu kematian dari dokter, membuat Andrew menggeleng dengan marah. Matanya semakin mengeluarkan banyak air mata yang kini membasahi kedua pipinya. Hatinya benar-benar hancur seketika itu juga.

Tubuhnya semakin lemas, dan kepalanya semakin pusing. Mentalnya melemah ... dan akhirnya Andrew pun jatuh pingsan di depan ruangan tersebut.

























T. B. C.

















Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang