11

14.9K 1.5K 53
                                    

Malam harinya, terlihat seorang anak yang sedang ditemani ayahnya di kamar. Ya, anak itu bukan lain adalah Johan. Dia tidur di ranjangnya, dan ayahnya itu mengelus kepalanya dan menunggunya tertidur.

Sebagai seorang ayah, sosok bernama Erik itu terbiasa menidurkan sang anak dengan membawakan dongeng setiap malam untuk anaknya.

"Omong-omong, bagaimana pekerjaanmu di sekolah dan di les piano hari ini?"

"Untuk di sekolah ... semuanya baik-baik saja. Namun, untuk les piano hari ini aku tidak ikut."

Erik mengerutkan dahi. "Kenapa? Apa ada masalah?"

"Tidak. Hanya saja tadi mama membawaku ke taman hiburan. Katanya, aku sesekali harus keluar untuk bermain." Johan menjawab. Dia tidak menatap ayahnya, tetapi dia sedang menatap jam di dinding. Ini sudah jam sembilan malam. Dan waktu akan terus berlalu ...

Erik mengangguk paham. "Baiklah, mama memang ada benarnya. Kalau begitu, apa kau siap untuk dongeng malam ini?"

Johan menggelengkan kepalanya. "Papa, aku rasa ... aku tak ingin mendengarkan dongeng malam ini. Aku ingin bercerita pada ayah tentang sesuatu."

"Apa kau yang akan mendongeng?" tanya Erik.

"Aku ingin bercerita soal mama. Ini bukan dongeng, Papa!"

"Mama? Hm, baik. Papa akan mendengarkan ceritanya. Teruskan!"

***

Sudah jam setengah sepuluh malam, Andrew keluar dari kamarnya dan melihat sang kakak yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Aidan juga melihat sang adik yang mendekatinya.

"Kau sudah bangun?"

"Andrew bangun dari tadi sore. Kakak sedang apa?"

"Tidak banyak. Hanya sedang mengerjakan tugas sekolah. Oh, ya! Bibi sudah menyiapkan makanan. Kau bisa menghangatkannya lagi dan memakannya."

Andrew mengangguk. "Aku akan makan nanti. Hm ... hei, Kak!"

"Ya?"

"Apa ayah akan pulang besok?"

Aidan meletakkan pulpennya di atas meja dan meregangkan kembali otot-otot lengannya yang kaku selama menulis. Dia menatap adiknya. "Ayah akan pulang besok. Kenapa kau menanyakannya?"

"Tidak. Aku ingin bertanya, apa boleh besok kita kembali ke taman hiburan? Aku ingin bertemu dengan ibu lagi."

Aidan tersenyum. "Kakak rasa, tidak bisa. Besok kita akan kena masalah jika pergi ke sana lagi. Dan, ya ... pasti ayah akan memarahimu."

Andrew mengangguk. Dia kemudian menuju meja makan. "Kalau begitu, aku akan makan. Kakak sudah makan?"

"Sudah. Kau habiskan saja makanannya."

***

"Tadi di taman hiburan, ada seorang anak yang memeluk mama. Dia mengaku-ngaku kalau dia adalah anak mama." Johan mulai menceritakan kejadian di taman hiburan tadi siang.

"Oh, ya?"

"Iya! Aku dan mama, tadi rencananya ingin menaiki wahana. Namun, anak itu muncul dan memeluk mama. Dia berteriak, dan mengaku kalau mama adalah ibunya. Mama tadi diam saja. Namun, kemudian mama menyebutnya sebagai anak haram."

"Seorang anak yang mengaku anaknya Adena?" batin Erik. "Anak haram itukah?"

"Aku bertanya apa itu anak yang dulu lahir hanya untuk merusak hubungan papa dan mama. Aku tidak ingin anak itu muncul lagi lalu ia akan menghancurkan semuanya!"

Sepertinya Johan mengalami trauma akan masa lalunya. Masa lalu tentang kelahiran Andrew ke dunia. Masa lalu dimana hubungan ayah dan ibunya renggang. Dan masa lalu dimana ia kehilangan kasih sayang ibu selama bertahun-tahun.

"Papa, aku tak ingin anak itu kembali dan menghancurkan semuanya. Aku benar-benar tak ingin dia mengambil mama lagi dariku."

"Tidak perlu khawatir. Dia tidak akan kembali. Omong-omong, kau akan ke sekolah besok, kan? Sekarang, tidurlah!"

***

Keesokkan harinya, Willie kembali dari luar kota dan menuju rumahnya. Dia tak mendapati siapapun di dalam rumah, sampai akhirnya Andrew datang dan menyambutnya.

"Ayah sudah pulang?"

"Di mana bibi?" tanya Willie kemudian.

"Bibi ke sekolah untuk membawa bekal kakak. Tadi kakak terburu-buru jadi lupa membawa bekalnya." jawab Andrew cepat.

Willie mengangguk lalu meminum segelas air putih dan menuju kamarnya.

"Ayah ingin minum kopi?"

"Buatkan aku teh!" jawab Willie tanpa menoleh ke arah Andrew sedikit pun.

"Baiklah ..."

Andrew kemudian menyeduh segelas teh untuk sang ayah. Dia berpikir, mungkin ia bisa memberitahu tentang ibunya pada Willie setelah ini.

***

Sementara di waktu yang sama, Adena sedang merapikan baju Erik yang akan dipakai Erik ke kantor. Erik yang baru selesai mandi, dan terlihat memakai handuk itu menatap Adena dengan senyuman.

"Apa kau kemarin pergi ke taman hiburan bersama Johan?"

"Ya. Kenapa? Apa kau akan marah karena Johan kemarin tidak mengikuti les?"

Erik menggeleng. "Tidak. Bukan begitu. Hanya saja kemarin Johan menceritakan sesuatu padaku tentang seorang anak yang mengaku kalau kau adalah ibunya."

"Maksudmu Andrew?"

Seringai tipis muncul di wajah Erik. "Jadi, kau berani membohongiku? Bukankah dua tahun yang lalu kau mengatakan padaku kalau dia sudah kau lenyapkan?"

Adena diam sesaat dan menghentikan pekerjaannya yang tengah merapikan sprei. 

"Lalu, sekarang dengan santainya kau membuktikan bahwa anak haram itu masih hidup?"

"Aku berencana melenyapkannya saat dia masih berada dalam kandunganku. Saat ia lahir, aku sempat berencana ingin membunuhnya juga. Namun, Linda saat itu menghentikanku. Aku harus apa? Hah? Linda benar, anak itu tidak bersalah sama sekali. Aku tak bisa melenyapkannya! Bahkan, ia tak pantas mendapat julukan anak haram, karena akulah yang salah!"

"Lalu, kata Johan kemarin, kau menyebutnya anak haram. Apa aku tidak salah dengar?" tanya Erik sembari memakai deodoran di ketiaknya.

"Itu karena aku tak ingin Johan merasa tidak nyaman! Kau tahu, aku sebenarnya menyayangi Andrew dan di sisi lain aku juga menyayangi Johan. Aku tahu, aku salah telah membuang Andrew ke rumah ayah kandungnya. Aku benar-benar merasakan penderitaan itu di matanya."

"Namun, aku akan berusaha membencinya demi anak kita, Johan. Apa kau puas?" lanjut Adena kemudian keluar dari kamar tersebut.

"Tidak sebelum anak haram itu lenyap."




T. B. C.

Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang